Jumat, 19 Desember 2014

Artikel Aji Sedulur Papat Limo Pancer



SIMBOL LITERAL DAN KONTEKSTUAL
DALAM MANTRA JAWA “AJI SEDULURAN”

Teguh Budiharso
Universitas Mulawarman
Jl. Harmonika No. 2 Samarinda


Abstract: In this article, the literal and contextual symbols of Aji Seduluran, a Javanese magical formula were examined. Twelve versions of the ‘mantra’ -Hindu and Islamic- were analyzed by using discourse analysis. The purpose was to understand the meanings of the symbols, the relations among them, and interpret those symbols according to the Javanese social and philosophical contexts. Based on their scope the symbols may be grouped into: 1) language universal symbols and 2) language culturally bound symbols. The results indicated that the symbols might be classified into three categories: a) spiritual symbols; b) social and moral symbols; 3) symbols of tradition. The symbols were also proven to be universal.

Keywords: Aji Seduluran, mantra, slametan, Javanese religion

Mantra adalah kata-kata puitis atau bacaan yang digunakan untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa atau untuk berkomunikasi dengan makhluk halus (Indrajati, 1979). Sebagian orang percaya kalau kata-kata ini merupakan ilham (wangsit) dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai perangkat magis, mantra bisa berbentuk tradisi lisan ataupun teks menurut bahasa di mana mantra itu berada. Sebagai bagian dari mantra Jawa, kedudukan Aji Seduluran sangatlah penting dalam ilmu putih (white magic lawan ilmu hitam, black magic). Kata “Aji” sendiri berarti “sesuatu yang sangat dihargai” sedangkan “seduluran” berarti “persaudaraan, kekerabatan.” Secara harfiah Aji Seduluran berarti “menghargai dengan sangat hubungan persaudaraan.” Dengan melestarikan persaudaraan dan kekeluargaan keamanan dan harmoni sosial -sebagai ideal sosial masyarakat Jawa -dapat dicapai.
Simbol dalam Aji Seduluran. Simbol literal dan kontekstual pada mantra Aji Seduluran bisa dipahami dalam pengertian abstrak maupun konkretnya (Koentjaraningrat, 1984). Dalam pengertian abstrak, konsep Sedulur Papat Kalima Pancer (mengendalikan empat keinginan manusia) merupakan ajaran dasar yang tersirat padanya (Haryanto, 1995). Dalam pengertian konkret, mantra ini sering dibacakan dalam ritual-seremonial orang Jawa yang disebut slametan (“slamet” artinya “sejahtera, dalam kondisi yang baik”) (Pemberton, 1994:241). Slametan dilakukan terutama sebagai suatu upacara religius yang berlandaskan keyakinan adat. Kebanyakan orang Jawa tradisional percaya kalau di luar dunia yang kasat mata ini ada kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi keamanan dan kesejahteraan mereka. Beberapa hidangan penganan tentunya- selalu akan disajikan. Penganan ini mempunyai fungsi adat dan religius tertentu. Beberapa jenis slametan disebut oleh Kodiran dalam Koentjaraningrat (1979:341) semisal: merayakan masa tujuh bulan kehamilan (tingkeban), memperingati hari kelahiran, khitanan; memperingati kematian; bersih desa, panen padi; memenuhi nazar (kaul), merayakan pernikahan, menghindarkan bencana (ngruwat), dapat pekerjaan baru, pindah ke rumah baru,  tasyakuran) dan lain sebagainya.
Agama Jawa. Agama Jawa pertama kali diidentifikasi oleh Geertz (1960) ketika membedakan dua varian Islam yang terdapat pada masyarakat Jawa: “santri” dan “abangan”. “Santri” dalam bahasa Jawa berarti “pelajar” (lihat juga Koentjaraningrat, 1984:208); atau sekelompok muslim taat yang memperlihatkan kepatuhan terhadap aturan-aturan agama Islam; sedangkan “abangan” adalah muslim yang tidak mempraktikkan ajaran Islam. “Santri” -kadang diistilahkan sebagai “putihan”- ­dipandang sebagai lawan dari “abangan.” Beberapa pakar berpendapat bahwa bentuk Islam bagi orang Jawa, yang disebut “Agami Jawi” atau Kejawen adalah perpaduan yang kompleks antara Hinduisme, Budhisme, dan mistik Islam.
Islam itulah akhirnya yang dikenal atau diklaim sebagai nama paham campuran tersebut. Meski ada beberapa pengikut Kejawen itu yang menjalankan beberapa aspek ajaran Islam, kebanyakan mereka tidak melakukan shalat lima kali sehari, tidak berpuasa di bulan Ramadhan (bulan suci berpuasa bagi kaum muslimin), tidak melakukan shalat Jum’at, dan tidak punya niat untuk berhaji ke tanah suci Makkah. Salah satu aspek penting dalam upacara-upacara ritual adat Jawa yang dijalankan oleh para pengikut paham Kejawen adalah slametan. Dalam hal ini, acara slametan yang berhubungan dengan Aji Seduluran adalah Slametass Ngampirne Neptu (slametan untuk memperingati hari kelahiran) atau selapanan (slametan yang dilaksanakan setiap 35 hari sekali).

METODE

Studi ini adalah studi kualitatif. Pendekatan etnografis dipergunakan dalam menghimpun dan menganalisis data. Data bersumber dari pengamatan dan wawancara (baik wawancara bebas maupun wawancara open-ended) dengan enam tokoh spiritual Jawa yang disebut pinisepuh. Pinisepuh adalah dukun yang menguasai ritual-ritual dan mantra-mantra Jawa, dan dianggap memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan. Para pinisepuh sumber data penelitian ini tersebar di enam kota: Yogyakarta, Solo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Malang. Bahan-bahan tertulis (naskah Aji Seduluran) dikumpulkan dari primbon-primbon semisal Kitab Primbon Adam Makna, Kitab Primbon Bekti Jamal, Ajijapa Mantra, Yogabrata, Atassadur Adam Makna dan lain-lain. Secara khusus, wawancara juga dilakukan dengan para pinisepuh untuk mendapatkan data lisan.
Semua data yang terkumpul lantas dianalisis dengan mempergunakan analisis wacana (Coulthard, 1993, Brown and Yule, 1983). Analisis itu dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
Pertama, menuliskan mantra beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Kedua, mengidentifikasi simbol-simbol literal dan kontekstual yang termuat pada masing-masing mantra. Simbol literal terdiri dari “kata” dan “frase” yang digunakan di dalam mantra, sedangkan simbol kontekstual diidentifikasi dengan menafsir muatan teks secara keseluruhan. Ketiga, menganalisis simbol-simbol itu. Keempat, menyadur simbol-simbol itu berdasarkan orientasi tradisi Jawa.

HASIL PENELITIAN
Identifikasi Mantra. Ada dua jenis mantra dalam penelitian ini: Hindu dan Islam. Kedua jenis mantra ini dibedakan dengan melihat kata-kata yang digunakan di dalam bagian pembukaan dan bagian penutup, juga dengan melihat nama-nama Tuhan atau dewa yang disebut pada batang tubuh masing-masing mantra. Kalimat-­kalimat pembuka dan penutup dalam mantra versi Hindu biasa tidak menyebut idiom-idiom khusus. Kata­-kata Arab, adalah karakter yang paling mencolok pada mantra versi Islam, sebagaimana dinyatakan Siwidana (1996). Koentjaraningrat (1984) membenarkan bahwa Agama Jawa merupakan perpaduan yang kompleks dari budaya-budaya tradisional (mistisisme, hinduisme, budhisme) serta islamisme yang lantas disebut sebagai Islam itu sendiri. Perbedaan utama lain antara mantra Hindu dan Islam adalah penyebutan kata “Allah.”
Mantra-mantra versi Islam biasanya menyebut empat macam nafsu (jiwa) manusia yang dilambangkan dengan empat arah mata angin dan warna-­warnanya. Timur dilambangkan dengan warna putih mewakili mutmainah (jiwa yang damai). Selatan dilambangkan dengan warna merah untuk mewakili nafsu amarah. Barat dilambangkan dengan warna kuning  untuk mewakili shufiyah (sufisme, tasawuf). Sedangkan utara dilambangkan dengan warna hitam untuk mewakili allawwamah (jiwa yang penuh sesal). Mantra versi Islam memakai bahasa Arab dalam kalimat pembuka dan bahasa Jawa dalam kalimat penutupnya. Istilah-istilah Arab menyangkut jiwa manusia mutmainah, amarah, supiyah, aluamah dan arah mata angin itu identik dengan Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, Nini Among dan Kaki Among. Pembaca mantra lantas akan menutup mantranya dengan memohon izin dari Allah.
Terjemahan Mantra. Berikut adalah dua belas mantra Aji Seduluran. Ada praktik asketik yang baku (lakon) untuk membuat mantra ini jadi mujarab. Sebelum mengkomat-kamitkan mantra, seseorang harus menjalankan amalan puasa tertentu, yakni puasa mutih (puasa tujuh hari berturut) atau ngelepas (tidak makan dan minum selama tiga hari tiga malam). Jika syarat ini tidak bisa dipenuhi maka ia diharuskan berpuasa selama 24 jam pada salah satu hari Jawa tepat mengenai hari kelahirannya. Sesajen yang disajikan sedikitnya harus terdiri dari bunga tiga warna (mawar merah, melati, kenanga) dan segelas air bening yang disimpan selama satu malam. Setelah menuliskan masing-masing mantra, peneliti  memberi sedikit catatan menyangkut praktik-praktik asketik beserta fungsi spiritualnya.

Mantra: Versi Hindu
Identifikasi berfokus terutama pada bagian pembukaan dan bagian penutupan mantra, pada nama-nama Tuhan atau dewa-dewi, dan pada cara menyebut nama Tuhan.

Mantra 1
Marmarti Kakang Kawah Adi Ari-Ari Getih puser,
kadangingsun papat kalimo pancer
kadangingsun kang katon lan kang ora katon
kadaningsun kang kerawatan lan kang ora kerawatan
sarta kadangingsun kang metu saka ing margaino
lan kang ora metu saka ing margaino
miwah kadangingsun kang metu bebarengan sadina kabeh
bapanta ana ing ngarep, ibunta ana ing mburi
Ayo podo anu….

Terjemahan

Marmarti (saudara lelaki dan perempuan yang gaib), selaput kakakku, adikku tali ari-ari, saudaraku di pusar, empat saudara dan satu saudaraku di tengah, saudaraku yang gaib dan saudaraku yang tak terawat, saudaraku yang dilahirkan dari kemaluan ibu dan saudara-saudaraku yang tidak dilahirkan dari kemaluan ibu, saudara-saudaraku yang dilahirkan bersamaan pada hari yang sama, bapak asuhku yang ada di depan, ibu asuhku yang ada di belakang, marilah kita...

Mantra ini menyebut kata marmarti (saudara gaib) sebagai kata pembuka ketika mulai membacakan mantra. Setelah penyebutan kata marmarti, kemudian disebut semua perlambang gaib (dunia halus): kakang kawah, adi ari-ari, saudara yang terlihat yang tak terlihat (Sedulur Katon lan Ora Katon), saudara yang lahir dari kemaluan ibu, bapa dan ibu. Semua yang disebut ini dipercaya dapat membantu seseorang untuk berkonsentrasi sebelum ia melafalkan permintaannya kepada Tuhan. Dikatakan bahwa mantra ini baru bisa memiliki pengaruh spiritual ketika dibaca kapan saja ketika seorang mau makan, mandi, hendak tidur, berangkat kerja dan lain-lain.

Mantra 2

Mar-marti, Kakang Kawah, Adi Ari-­Ari
getih, otot, puserku
sing metu soko margo ino lan sing ora metu soko margo ino
sing metu bareng sedino
Nini among, Kaki among sing ngemongi jiwo raganingsun
mban-mbanono aku rinten klawan ndalu
tak opahi kembang wangi.

Terjemahan

Marmarti (saudara laki-laki dan perempuan gaib) kakang kawah, adi ari­ari, darah, otot, pusarku,
mereka yang dilahirkan dari kemaluan ibu dan mereka yang dilahirkan bukan dari kemaluan ibu,
mereka yang dilahirkan bersamaan pada hari yang sama,
Ibu Asuh, bapak asuh yang merawat jiwa ragaku,
lindungi aku sepanjang siang dan malam,
kuserahkan padamu kembang wangi...

Ini sama dengan mantra (1). Simbol-­simbol dan kata-kata yang digunakan untuk menyebut nama-nama itu masih sama, tapi cara untuk memanfaatkan mantra ini yang berbeda. Ia juga dibaca kapan saja sebagaimana halnya mantra (1), tapi untuk membuatnya semakin ampuh dan mujarab, suatu praktik asketik (puasa) harus dijalankan, yakni dengan melakukan puasa mutih selama 7 hari siang malam tanpa berbuka dan bergadang selama satu malam.

 

Mantra 3

Ibu bumi, Bapo Kuwasa Ibu wengi, Bapa rina
Kakangku mbarep adiku wuragil
Dinten pitu pekenan gangsal 
kulo nyuwun ngapura kula nyuwun....

Terjemahan

Ibuku, bumi, ayahku, langit, Ibuku, malam, ayahku siang,
Saudara tertuaku, saudara termudaku tujuh hari dan lima hari
(Ya Tuhan) ampuni aku,
ku mohon agar Kau beri aku...

Adalah mantra ini yang digunakan untuk meminta rezeki. Nama yang disebut pertama kali adalah Ibu dan Bapa. Ibu dan Bapa (orang tua) adalah yang bertanggung jawab dalam menyediakan sandang dan pangan bagi anak-anaknya. Lantas mantra itu menyebut sinonim bapak dan ibu dengan istilah Ibu Wengi (Ibu Malam) dan Bapa Rina (Bapa Siang). Dua kekuatan spiritual lainnya yang disebut adalah Kakang Mbarep (saudara sulung) dan Adi Wuragil (adik bungsu). Setelah itu, pada salah satu hari dari hari-hari yang tujuh (masehi) dan lima hari Jawa, mulailah orang itu berdoa. Setelah kemudian dia ungkapkan hajat kebutuhannya.  Mantra ini dipercaya dapat memberi kekuatan spiritual jika dibaca setiap tengah malam di halaman rumah. Berpuasa mutih tiga atau tujuh hari juga dianjurkan.

Mantra 4

Bapa kuwasa, ibu pratiwi kulo nyuwun sih pitulungan
sedulurku kang tuwa, kang ana wetan putih rupane,
kedadeane getih putih
sedulurku karig ana kidul, abang rupane
kedadean getih ari-ari
sedulurku kang ana kulon, kuning rupane
kedadean getih kuning
sedulurku kang ana lor, ireng rupane
kedadean puser
aku njaluk derajat lan rejeki agung…

Terjemahan

Bapak langit, Ibu bumi, aku mohon pertolongan dirimu,
saudaraku yang tua yang ada timur putih rupanya,
kejadiannya dari darah putih
Saudaraku di Selatan, merah rupanya,
kejadiannya dari pusar
tolong beri aku kedudukan dan rezeki yang besar...

Selain sandang dan pangan (rezeki), orang Jawa juga mementingkan dan menghajatkan kedudukan yang terhormat. Mantra ini dibaca misalnya, ketika mendapatkan promosi untuk jabatan yang lebih tinggi. Keberuntungan atau kekuasaan yang besar juga adalah isi permintaan yang dimohonkan kepada Tuhan. Selanjutnya mantra itu menyebut secara beraturan saudara yang empat beserta warnanya dan empat arah mata angin. Setelah berkonsentrasi diungkapkan apa yang menjadi hajat berupa jabatan yang tinggi dan peruntungan yang besar. Mantra ini harus dibaca setiap malam disertai puasa hingga permintaan itu dikabulkan.


 Mantra 5
Om tirto dupa, ina yomo suwaha
Om Sri Guru papagam, ina yomo suwaha
Sedulurku papat, lima sejatiningsun
Kakang Kawah, Adi Ari-Ari
Kakangku Mbarep, Adiku wuragil
Dinten pitu pekenan gangsal
Lumunturipun danyang pekarangan ing ...
Sakulawarga ingsun kaliso rubeda
ayem tentrem salaminipun gesang
asal geni bali geni asal bumi   bali bumi
asal banyu bali banyu asal angin bali angin
anthung, kayu, watu kutu-kutu, walang ataga
sumilak, sumingkir bali marang mula­ mulanira ...

Terjemahan

Ya Tuhan, inilah air suci persembahanku,
Wahai Dewa Sriguru, inilah dupa persembahanku,
empat saudaraku, yang kelima diriku sendiri,
Kakakku Kawah, Adikku ari-ari,
saudara sulungku saudara bungsuku.…
hari yang tujuh dan hari yang lima
penjaga tanah negeri desa.…
Beri keselamatan dan keamanan
untuk seluruh anggota keluargaku
dalam harmoni yang memenuhi seluruh hidup,
saripati cahaya jadilah cahaya,
saripati bumi jadilah bumi,
saripati air jadilah air, cacing, pohon, berbatuan, kutu, belalang. Kembalilah ke asal...

Penggunaan mantra ini terutama untuk memohon keamanan dan harmoni dan untuk menghindarkan bencana dan celaka khususnya yang ditimbulkan dari ilmu hitam. Ia juga dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan “roh pengawal” atau menyembuhkan penyakit akibat guna-­guna (sihir). Mantra ini juga menyebutkan bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan dari saripati cahaya, bumi, air, dan udara. Roh-roh jahat ini harus dikembalikan ke alam mereka. Kata-kata pembuka dalam mantra ini merupakan ungkapan pemberian persembahan (sesajen) kepada Dewa dan Batara Guru.
Lalu berturut-turut ia menyebutkan Sedulur Papat Lima Pancer, Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, saudara sulung dan bungsu, serta lima hari Jawa. Setelah menyebut roh-roh pengawal (penunggu) desa di mana seseorang itu tinggal, pembaca mantra pun mengajukan permohonannya kepada Tuhan. Daya spiritual mantra ini akan muncul apabila seseorang sudah berpuasa selama 40 hari. Juga dipercaya bahwa setelah melafalkan mantra ini, kata-kata orang yang membacanya akan sangat ampuh secara magis.

 Mantra 6
Matek ajiku sedulurku papat putih upane,
wetan panggonane perak lungguhku, perak payungku
Betara Kamajaya dewaku
Matek ajiku sedulurku papat abang rupane,
kidul panggonane
tembaga lungguhku, tembaga payungku
Betara Brama dewaku
Matek ajiku sedulurku papat kuning rupane,
kulon panggonane
wesi kuning lungguhku,
wesi kuning payungku
Bambang Sakri dewaku
Matek ajiku sedulurku papat ireng rupane,
lor panggonane
wesi lungguhku, wesi payungku
Wisnu betaraku
Aku njaluk …

Terjemahan

Berkat aji mantraku saudaraku yang empat,
putih rupanya di timur
perak tempat dudukku, perak  payungku
Betara Kamajaya Dewaku
Berkat aji mantraku saudaraku yang empat,
selatan tembaga adalah tempat dudukku, tembaga payungku,
Betara Brama dewaku,
berkat aji mantraku saudaraku yang empat kuning rupanya,
di barat emas adalah tempat dudukku, emas payungku
Bambang Sakri dewaku
berkat aji mantraku saudaraku yang empat hitam rupanya,
utara besi tempat dudukku, besi payungku,
betara Wisnu dewaku,
[wahai dewata] berilah aku...

Tujuan utama mantra ini ialah agar bisa kebal dari racun, senjata tajam, dan lain-lain. Cara untuk mengutarakan kepercayaan seseorang ialah dengan melafalkan karakter logam: perak, tembaga, emas, besi dan juga dewa-­dewa pada empat arah mata angin: Kamajaya, Brama, Bambang Sakri dan Wisnu. Pertama-tama, mantra itu menyebut warna putih dari empat saudara di Timur, diikuti suatu imaji (citraan) yang berpaut dengan kesaktian perak dan Dewa Kamajaya. Selanjutnya mantra menyebut warna merah dari empat saudara di selatan yang dikaitkan dengan kesaktian tembaga dan dewa Brama. Empat saudara di barat yang dikaitkan dengan kesaktian emas dan dewa Bambang Sakri, serta empat saudara di utara yang dikaitkan dengan kesaktian besi dan dewa Wisnu. Agar berhasil seseorang yang hendak menguasai mantra ini harus melakoni puasa mutih setiap hari Senin dan Kamis masing-masing sebanyak 40 kali.

 Mantra: Versi Islam
Penggunaan istilah “versi” terutama bertujuan untuk menunjukkan adanya “pengaruh.” Dapat dikatakan bahwa beberapa kosakata Jawa telah berubah menjadi kosakata yang terdengar seperti kosakata Arab. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan Indrajati (1979) proses transformasi mantra-mantra Jawa ke dalam bahasa Arab (atau kearaban) tidaklah berhasil sepenuhnya.

Mantra 7

Sedulurku kan ana wetan putih rupane,
kawahiyah arane bukaken gedong wetan,
jupukno sandanganku kabeh
sedulurku kang ana kidul abang rupane,
tihiyah arena bukaken gedong kidul,
jupuken panganku kabeh
sedulurku kang ana kulon kuning rupane,
sarahiyah arane siro dak kongkon bukaken degong kulon,
jupuken kamuktenku gawanen mrene
sedulurku kang ana lor ireng upane, hariyah arane
sira tak kongkon bukaken gedong lor
jupukno mas picis rojo brono inten barleyan
podo gawanen mrene kabeh, saiki…

Terjemahan

Saudaraku di timur putih rupanya, kawahiyah namanya bukalah dunia Timur, beri segala sandangku, saudaraku di selatan, merah rupanya, tihiyah namanya bukalah dunia selatan, beri aku segala pangan, saudaraku di barat kuning rupanya, sarahiyah namanya kau ada di bawah kuasaku bukalah dunia barat beii aku kekuatan bawa padaku ke sini saudaraku di utara ' merah warnanya, hariyah namanya kau di bawah kendaliku, bukalah dunia utara bawalah emas dan berlian bawa padaku semua, sekarang.....

Mantra ini ditujukan untuk mendapatkan rezeki yang cukup (sandang, pangan, kekuatan, dan harta), harmoni, dan keamanan. Isi mantra ini utamanya ialah mengendalikan saudara yang empat di semua arah mata angina, sehingga mereka dapat memberi bantuan dalam hal rezeki. Sama dengan mantra (6), langkah pertama untuk memakai mantra ini ialah dengan menyebutkan saudara putih di timur untuk meminta sandang. Lalu menyebut selatan untuk meminta makanan, ke barat untuk meminta kekuatan dan kekuasaan, ke utara untuk meminta emas berlian. Dipercaya bahwa setiap penjuru mata angin memiliki dunia spiritualnya sendiri-­sendiri misalnya, dunia timur, dunia selatan, dunia barat, dan dunia utara. Agar berhasil seseorang harus berpuasa mutih selama tujuh hari, atau 40 hari pada setiap hari Jawa kelahirannya (neptu kelahiran).

Mantra 8
Bapa, Adam, Ibu Kawa
Kula nyuwun sandang,
nyuwun tedha sarinane, sawengine,
salawase gesang,  sajeg kula gesang
saking kersaning Allah
ya hu Allah 3x.

Terjemahan

Bapak Adam, Ibu Hawa, aku minta sandang, minta pangan seharian, semalaman, selamanya sepanjang hidup saja kapan saja dengan izin kehendak Allah, ya hu Allah, ya hu Allah...

Jika dibandingkan dengan mantra (6) dan (7) mantra yang satu ini lebih singkat dan sederhana. Secara langsung, mantra ini menyebut Adam, bapak, dan Hawa, ibu. Lantas ia menyebutkan apa yang diminta seseorang” pakaian dan makanan, untuk satu hari, satu malam dan sepanjang hidup. Kata-kata “dengan izin kehendak Allah dan ya hu Allah” menunjukkan bahwa mantra ini dipengaruhi tata cara berdoa ala Islam. Mantra ini dipercaya umumnya oleh orang awam, yakni bahwa mereka bukan pinisepuh dan orientasi doa mereka umumnya berdasarkan Islam santri. Cara berpuasa untuk membuat mantra ini jadi berfungsi ialah dengan berpuasa setiap Senin dan Kamis masing-masing tujuh kali).

Mantra 9

Kakang kawah kang rumeksa awak mami tekakna sedyaku
Adi ari-ari kang mayungi ngenakake pengarah
ponang getih ing rahina wengi rewangana aku
Allah kang kuwasa, keparengna penyuwun kula
puser turutana panjalukku
sedulurku papat kalima pancer kang lair bareng sedina
sing metu margo ina, sing ora metu marga ina
sing kerawatan kumpul ingsun ora pisah.

Terjemahan
Saudara tuaku yang melindungi hidupku penuhi doaku adi ari-ari yang memenuhi maksud (jiwa dalam) darah di siang dan malam hari Bantu aku Allah Yang Kuasa kabulkan doaku, pusar mohon penuhi harapanku, saudaraku yang empat dan lima yang tengah mereka yang lahir berbarengan dalam satu hari mereka yang lahir melalui vagina dan mereka yang terlahir tidak melalui vagina mereka yang terawat kalian tak terpisah dariku...

Mantra ini menyebutkan Sedulur Papat yang tidak terpisahkan dengan Lima Pancer dan tubuh manusia. Sebagai kesatuan, Sedulur Papat dapat memberikan dan membantu mengabulkan harapan apa saja. Sebagaimana dinyatakan pada mantra lainnya, ia menyebutkan Kakang Kawah, Adi Ar-Ari, saudara yang lahir dari vagina maupun yang bukan dari vagina diikuti dengan posisi mereka di darah dan pusar. Menyadari situasi, maka seseorang itu mengungkapkan doanya kepada Allah. Agar sukses, ia bisa menjalankan puasa mutih tujuh hari atau puasa Senin Kamis selama empat puluh hari (berpuasa setiap Senin dan Kamis dalam jangka waktu 40 hari)

Mantra 10

Bismillah hirohmanirahim
Sedulurku kang ana wetan putih rupane, mutmainah
sedulurku kang putih rupane, mutmainah
sedulurku kang ana kidul abang rupane, amarah
sedulurku kang ana kulon kuning rupane, supiyah
sedulurku kang ana lor ireng upane, aluamah
Siro cedako lan ngatono
aku njaluk tulung…
saking kersane Allah.

Terjemahan

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saudaraku yang ada di timur putih rupanya, mutmainah saudaraku yang ada di selatan merah warnanya, amarah saudaraku yang ada di barat kuning rupanya, sufiah saudaraku yang ada di utara hitam warnanya, allawamah Mendekat dan menampaklah ku mohon bantuanmu dengan seizin Allah...

Mantra ini menekankan kendali yang kuat terhadap empat keinginan manusia dengan menyebutkan warna saudara-saudara putih berturut-turut berkonsentrasi ke merah, kuning, dan hitam. Mantra versi Islam menekankan apa yang ada di balik warna saudara-­saudara sebagai posisi keinginan manusia. Oleh karena itu, ketika mantra mengatakan warna putih, ia langsung diikuti dengan mutmainah, dan berturut-turut merah dengan amarah, kuning dengan sufiah, dan hitam dengan aluamah. Dengan seizin Allah, dan setelah mengendalikan keinginan-­keinginan itu, mantra mengungkapkan kepada Allah apa yang dimintakan. Dipercaya bahwa mantra itu akan efektif jika dibaca setiap tengah malam diikuti dengan tidur di bawah atap serambi rumah (tritis).

Mantra 11
Bismillahirahmanirahim
Allahu khak 800x
Allahu sirullah 500x
Allahu datullah 900x
Allahu sifatullah 700x
Allahu wujudullah 400x

Terjemahan
Bismillahirahmanirahim
Allah Haq 800x
Allah Rahasia Allah 500x
Allah Zat Allah 900x
Allah Sifat Allah 700x
Allah Wujud Allah 400x

Mantra ini dibaca ketika seseorang menghadapi masalah penting dan serius, misalnya mendapat pekerjaan baru, atau naik pangkat, atau ketika menghadapi masalah yang pelik dan berat. Teknik-teknik berpuasa yang digunakan di sini merupakan kombinasi dari beberapa sistem tatacara puasa. Mantra dibaca satu kalimat per hari berdasarkan lima hari Jawa selama selapan dina (35 hari non-stop) sesudah atau tepat tengah malam. Ketika tiba hari Kliwon baca Allahu Khak (Allahu Haq) karena Kliwon punya nilai angka sebesar 8 dalam perhitungan orang Jawa. Kepala kita mendongak ke atas 400 kali dan menunduk ke bawah 400 kali. Hari berikutnya, Legi, kalimat kedua dibaca lima ratus kali, karena Legi punya nilai 5 kepala menghadap ke timur. Hari-hari lain Pahing, Pon, Wage dibaca menurut nilai-nilai matematika hari-hari ini serta arah mata anginnya. Agar lebih meyakinkan, disarankan berpuasa biasa (yakni sekitar 12 jam seperti dalam puasa Ramadhan), tidur di bawah atap di luar rumah, tidak berhubungan badan dan lebih sering bergadang malam. Jika hal ini betul-betul diamalkan Allah akan mengabulkan doanya dalam jangka waktu 35 hari.

 Mantra 12

Bismillahirahmanirrahim
Niat ingsun adus, ngedusi sedulurku papat
lima pancer suksma, nem panutan,
serut perkutut, gagak siwalan
keturunan cahyaku, cahya nurbuwat.

Terjemahan

Bismillahirahmirrahim
Niatku mandi, memandikan empat saudaraku lima yang tengah, enam panutan, burung perkutut dan gagak siwalan keturunan cahyaku, cahaya nubuat.

Mantra ini adalah doa yang dibaca ketika mau mandi setiap hari yang disebut Penganoman (mandi supaya awet muda). Tidak ada tata cara puasa tertentu yang disyaratkan sebelum membaca mantra ini. Gagasan tentang agar tetap awet muda berkaitan dengan penyebutan cahaya nubuat (cahaya kenabian Rasul Muhammad). Perlambangan perkutut dan siwalan adalah untuk merepresentasikan kekuatan cahaya itu. Mantra itu harus dibaca sebelum seseorang menyiramkan air ke tubuhnya.

BAHASAN
Semua mantra memiliki sistem kepercayaan tradisional yang serupa, meski beberapa kata yang digunakan untuk mengungkapkan simbol dalam masing-masing mantra itu terkadang berbeda. Dalam perspektif agama, Aji Seduluran menyiratkan adanya hubungan religius antara Tuhan dan makhluk manusia. Sebagaimana tersurat dalam kata-kata: “Om Tirta Dupa, Allah Kang Kuasa, Ya Hu Allah,” dan tersirat dengan kata­kata: “Ibu Bumi, Bapa Kuasa, Ibu Wengi, Bapa Rina, dan lain-lain.” Sebagai sebuah ajaran moral Aji Seduluran menyatakan bahwa orang memiliki empat jiwa (nafsu) mutmainah, amarah, sufiah, dan aluamah yang mempengaruhi seseorang sehingga dia bisa bertindak baik atau buruk. Keamanan dan harmoni sosial akan tercipta dengan menguasai empat jiwa (nafsu) itu dan dengan memelihara komunikasi yang baik dengan Tuhan. Ia juga menyiratkan bahwa sangatlah penting bagi orang Jawa untuk menjaga keseimbangan antara dimensi jasmani dan rohani dalam kehidupan mereka.
Dalam sistem kepercayaan kekuatan spiritual sangatlah diakui keberadaannya. Kekuatan itu yang berada di bawah kendali seseorang dalam aktivitas sehari-harinya dilambangkan dengan Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, Nini Among dan Kaki Among. Dalam orientasi sosial mereka merefleksikan asosiasi pasangan antara kealamiahan di dunia: dua, empat, pria-wanita, baik-buruk, siang-malam, dan seterusnya.
Simbol Spiritual. Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan alam spiritual diklasifikasikan ke dalam simbol bahasa universal antara lain Bapanta­-Ibunta; Nini Among-Kaki Among; Ibu Bumi Bapa Kuwasa; Ibu Wengi-Bapa Rina; Bapa Kuwasa-Ibu Pratiwi; Bapa Adam­ Ibu Kawa. Simbol-simbol bahasa yang terikat budaya antara lain: Mar-marti; Kakang Kawah-Adi Ari-Ari; Kakang Mbarep-Adi Wuragil; Kadangingsun Papat-Kalima Pancer; Sedulur Sing Metu Marga Ina-Sing Ora Metu Margo Ina; Betara Kamajaya, Betara Brama, Betara Bambang Sakri, Betara Wisnu. Yang paling menonjol dalam simbol-­simbol bahasa universal adalah ayah dan ibu. Cirlot (1962:97) menyatakan bahwa citraan ayah sangat erat terkait dengan simbolisme prinsip maskulinitas yang bersesuaian dengan alam sadar (kesadaran) sebagai lawan implikasi maternal yang tidak-sadar. Representasi simbolik ayah itu didasarkan pada unsur-unsur udara dan api, surga, cahaya, guntur, dan senjata. Sebagaimana kepahlawanan itu merupakan aktivitas spiritual yang sesuai untuk anak, demikian pula dominasi (kekuasaan) itu merupakan kuasa ayah. Dalam sistem kosmologi, ayah diasosiasikan dengan langit, api, dan hari. Dalam agama Islam dan Kristen, ayah disebut Adam. Orang Jawa menyebut Bapa Kuwasa (ayah yang berkuasa), Bapak Angkasa (ayah, langit), Bapa Adam, dan Kaki Among. Masing-masing menunjukkan karakter kekuatan. Kata "ayah" tidak diragukan lagi merupakan konsep yang universal.
Sebaliknya, sebagaimana dinyatakan Cirlot (hal. 207) simbol ibu dikarakterkan dengan ambivalensi yang menarik: ibu terkadang tampil sebagai citra alam, dan sebaliknya. Ibu yang jahat merupakan simbol seorang figur yang menandai kematian. Untuk analisis ini, doktrin pertapaan menyatakan bahwa “kembali ke ibu” sama artinya dengan “mati.” Ibu merupakan simbol alam tak sadar kolektif, sisi yang terabaikan dan sisi gelap eksistensi sumber Air Kehidupan.
Di dalam Islam ibu disebut sebagai Hawa, dan Kristen menyebutnya Eva. Cirlot (hal. 94) menyebutkan bahwa dari sudut pandang spiritual, Eva merupakan kebalikan dari Perawan Maria, atau induk jiwa. Orang Jawa mempergunakan beberapa sinonim untuk kata ini: Nini Among, Ibu Hawa, Ibu Bumi, Pratiwi, Ibu Wengi, Ibu Toya. Sebagai konsekuensinya, kata “ibu” merupakan bagian dari simbol-simbol bahasa universal.
Makna yang diinginkan dari simbol bahasa terikat budaya yaitu Sedulur Papat Lima Pancer merupakan prinsip asosiasi sistem pemikiran pra-logika Jawa. F.D.E. van Ossen Bruggen dalam Koentjaraningrat (1984:412) menjabarkan asosiasi pra-logika menjadi lima aspek, yang ditentukan dengan empat arah mata angin dan pusatnya. Empat angka yang sama dinyatakan juga oleh Cirlot (hal. 222) sebagai simbolisasi bumi, ruang bumi­ tanah, dan situasi manusiawi yang eksternal, batasan-batasan alam dari kesadaran yang sempit hingga akhirnya pengaturan rasional. Ia disarankan dengan segi empat dan kubus, dan tanda silang merepresentasikan empat musim dan empat arah mata angin. Ia merupakan jumlah yang terkait dengan unsur-unsur.
Masih berhubungan dengan sistem ini, orang Jawa yakin bahwa di dalam setiap tubuh manusia, ada empat kuasa spiritual dan satu pusatnya. Empat kuasa (kekuatan) itu adalah Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, Kaki Among, Nini Among dan orang itu sendiri yang masing-masing merepresentasikan selaput janin, plasenta, langit, bumi, dan tubuh manusia.
Empat saudara yang dimaksud berkaitan dengan lingkungan dan pengalaman Jawa. Oleh karena itu, maknanya sangat terikat budaya, dan ia dipahami hanya oleh orang Jawa. Kakang Kawah sejak ia dilahirkan sebelum sang bayi disebut Kakang Mbarep, dan plasenta, yang keluar setelah bayi itu lahir disebut Adi Wuragil. Istilah-istilah lain yang digunakan untuk memperlihatkan kuasa spiritual adalah Sedulur Kang Metu Margo Ina (saudara yang terlahir dari kemaluan ibu atau vagina), dan Sedulur Kang Ora Metu Margo Ina (saudara yang terlahir bukan dari kemaluan ibu atau vagina). Ini mengkonotasikan urusan pribadi ayah dan ibu ketika mereka melakukan hubungan seksual.
Simbol-simbol Sosial dan Moral. Simbol-simbol bahasa universal: Sedulur Wetan-Kidul-Kulon-Lor Tengah; Sedulur Putih-Kuning-Abang Ireng-Manca Warna: Perak-Tembaga ­Emas-Besi. Simbol-simbol yang terikat budaya; pakaian-makanan-kekuatan­ emas dan berlian, Mutmainah-Amarah­ Sufiah-Aluamah-Ingsun; lima hari kalender Jawa: Legi-Pahing-Pon-Wage-­Kliwon; Kawahiyah-Tihiyah-Sarahiyah­-Hariyah-Ingsun; Khak-Sir-Dat-Sifat ­Wujud.
Dalam perspektif sosial dan moral, konsep Sedulur Papat Lima Pancer dilambangkan dengan arah mata angin, warna dan logam. Tiga konsep ini juga dapat ditemukan dalam hampir semua kebudayaan di dunia, sehingga konsep-konsep ini bersifat universal.
Orang Jawa percaya bahwa Timur merupakan permulaan aktivitas dunia. Cahaya itu putih warnanya sehingga ia dijadikan oleh orang Jawa identik dengan Timur, Timur itu putih dan putih itu laksana perak. Selanjutnya adalah Selatan ketika posisi matahari lebih tinggi dan tinggi. Warna merah identik dengan tembaga. Kini ketika matahari terbenam di barat Kuning warnanya dan kuning itu identik dengan emas. Mata angin terakhir diwakili warna hitam yang identik dengan malam. Warna hitam adalah warna besi. Cirlot menyatakan bahwa arah mata angin, warna, dan logam adalah simbolisme yang kerap dipakai pada banyak kebudayaan dunia. Jadi simbol-simbol semacam ini dalam Aji Seduluran adalah universal sifatnya.
Empat arah mata angin yang dikaitkan dengan empat macam jiwa (nafsu) manusia, masing-masing dengan warnanya sendiri. Putih adalah representasi Timur, hasrat mutmainah atau kawahiyah; merah merupakan representasi Selatan, amarah atau tihiyah, kuning identik dengan barat, sufiah atau sarahiyah, dan hitam identik dengan utara, aluamah atau hariyah.
Dihubungkan dengan lima hari dalam kalender Jawa masing-masing warna direpresentasikan dengan Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Lima hari Jawa dihitung menurut cahaya matahari dan asalnya dinyatakan sebagai petakan (Legi, putih, timur), arbitral (Pahing, merah, selatan), jenean (Pon, kuning, barat) dan cemengan (wage, hitam, utara). Dalam versi Islam, hari-hari Jawa dan arah mata angin diasosiasikan dengan sifat Allah.
Selanjutnya, Legi itu sir, Pahing adalah dat (zat), Pon itu sifat, wage adalah wujud. Satu representasi lagi ialah Kliwon (mancawarnan, multi-warna) dan khak. Kedua kata itu digunakan untuk merepresentasikan ingsun atau Lima Pancer sentral di mana Tuhan bersemayam. Gagasan tentang empat arah mata angin dan dengan satu titik pusatnya dapat dihubungkan dengan ayat Al-Qur’an: “wa’lamu anna Allahu yahulu baina al mar wa qalbihi,” yang artinya: “ketahuilah bahwa Allah berada di antara manusia dengan hatinya.” Ingsun sebagai representasi dari angka satu itu dinyatakan oleh Cirlot (ha1. 221) sebagai satu simbolisme keberadaan dan wahyu kepada manusia. Ia merupakan prinsip aktif yang bisa dibagi menjadi beberapa fragmen, ia makin bertambah banyak dan disamakan dengan pusat mistik, Titik Sumber Cahaya dan Kekuatan Maha Kuasa. Satu juga disamakan dengan cahaya.
Lebih khusus lagi, dalam kehidupan sosial, arah mata angin itu diidentikkan dengan dunia nyata, dunia yang memenuhi kebutuhan manusia. Dunia timur diidentikkan dengan tempat pakaian diperoleh, selatan adalah tempat sandang itu diambil, selatan adalah tempat makanan diperoleh, barat adalah tempat kekuasaan diambil; dan utara adalah tempat untuk mendapatkan emas, berlian, dan kemakmuran.
Makna orientasi itu juga disebutkan oleh Cirlot (hal. 233). Ia menyatakan bahwa arah oriental (timur) karena ia merupakan arah matahari terbit, melambangkan penerangan dan sumber kehidupan, untuk berpaling ke timur berarti kembali ke ruh titik cahaya spiritual yang penting ini. Namun demikian, tidak semua orientasi mistik menjadikan arah timur sebagai titik rujukan mereka. Titik alternatif lainnya ialah geografi langit, simbol lubang dalam ruang-waktu dan dari penggerak yang tak bergerak, itulah Bintang Utara. Bintang Etruscan terletak di atas dewa­-dewi di utara, dan karenanya para tukang ramal ketika hendak bicara akan beralih menghadap ke selatan -yaitu mereka menghadap ke posisi yang membuat mereka sama secara ideologis dengan para dewa. Menghadap ke arah utara berarti mengajukan pertanyaan. Berpaling ke arah barat berarti bersiap mati, karena adalah kedalaman air di barat yang membuat matahari mengakhiri perjalanannya.
Simbol-Simbol Tradisi. Simbol-simbol yang berkaitan dengan tradisi Jawa adalah simbol-simbol yang digunakan dalam slametan khususnya slametan ngampirne neptu (slametan memperingati hari ulang tahun), meskipun kebanyakan slametan mempergunakan simbol-simbol yang sama. Simbol-­simbol bahasa universal adalah bunga tiga warna atau lima warna. Simbol­-simbol bahasa universal terdiri dari bunga tiga atau lima warna. Simbol­-simbol yang terikat budaya terdiri dari bubur merah, bubur putih, minyak wangi, tumpeng, sego golong (nasi berbentuk kotak di daun pisang), kemenyan dan dupa.
Universalitas pemakaian bunga dan air dalam tradisi dapat dijelaskan sebagai berikut. Jenis-jenis bunga dengan tiga atau lima warna yaitu: mawar merah atau putih, melati, kenanga, pandan, magnolia. Cirlot (ha1.263) mengatakan sebatang mawar pada hakikatnya merupakan simbol kesempurnaan, pencapaian yang sempurna dan perfeksi.
Gagasan-gagasan ini diidentikkan dengan kualitas-kualitas ini: pusat mistik, hati, taman eros, Surga Dante, the beloved, simbol Venus. Makna bunga secara umum ditandai dengan sari dan bentuknya. Cirlot (hal. 104) menyebutkan orang keenam dari “Delapan Yang Tak Terkalahkan” di Cina, Lan Ts’ai-ho, secara umum digambarkan berpakaian warna biru dan membawa sekeranjang bunga, dikatakan bahwa ia diharuskan menyanyikan pendeknya umur dunia dan fananya kenikmatan. Orang Yunani dan Romawi, pada semua festival dan perayaan mereka, selalu mengenakan mahkota bunga. Dan mereka akan menaburkan bunga di atas jenazah ketika mereka mengubur jenazah itu dan juga di atas kuburannya sesudah itu. Arti bebungaan itu ialah menurut warna masing-masing bunga.
Sehingga, sebagai misal, bunga-bunga berwarna oranye atau kuning mewakili suatu simbolisme mentari; bunga berwarna merah merepresentasikan hubungan dengan kehidupan hewan, darah, dan gairah. Bunga berwarna biru merupakan simbol legenda ketidakmustahilan dan mungkin merupakan suatu kiasan terhadap pusat mistik sebagaimana direpresentasikan oleh sesajian dan simbol semacam itu. Tentang angka tiga dan lima pernah disinggung Cirlot (hal. 222). Tiga melambangkan sintesis spiritual, dan merupakan formula penciptaan masing-masing dunia. Ia menunjukkan jalan keluar konflik akibat dualisme. Ia mengambil bentuk sebagai setengah lingkaran yang terdiri dari kelahiran, titik zenith dan nadir. Ia diidentikkan dengan konsep surga dan trinitas.
Angka lima merupakan perlambangan manusia, kesehatan, dan cinta dan inti tindakan terhadap materi. Ia terdiri dari empat cabang tubuh ditambah kepala sebagai bagian yang mengontrol anggota tubuh itu, dan demikian juga empat jari dengan ibu jari dan empat poin angka utama bersama dengan pusatnya. Hieros gamos ditandakan dengan angka lima, karena ia merepresentasikan persatuan prinsip surga (tiga) dengan Magna Mater (dua). Simbol-simbol yang terikat budaya bubur merah dan bubur putih merepresentasikan watak kehidupan spiritual dari satu pasangan. Bubur merah diidentikkan dengan darah ibu atau air susunya. Itulah unsur kehidupan. Bubur putih diidentikkan dengan sperma ayah. Interaksi pria dan wanita mengandung dan melahirkan. Itulah konsep Sangkan Paraning Dumadi di mana orang Jawa sangat menghormati kedua orang tua.
Simbol-simbol lainnya, yakni minyak wangi dan dupa atau kemenyan sama saja esensinya. Kedua simbol beraroma wangi dan diidentikkan dengan aroma jiwa atau surga. Harum-haruman merepresentasikan kebersihan dan kesucian. Pada praktiknya, kondisi sakral itu dihadirkan lewat bebauan sehingga orang yang turut andil dalam suatu acara slametan menjadi segan dan hormat. Disajikan pula sego tumpeng dan sego golong. Dalam analogi asosiasi sego tumpeng itu mirip bentuknya dengan gunung dan sego golong itu mirip bentuknya dengan lembah. Kedua simbol merepresentasikan kuatnya motivasi seseorang. Ia juga diidentikkan dengan kemakmuran, rezeki, dan harta.

SIMPULAN

Secara literal, Tuhan Yang Maha Kuasa dilambangkan sebagai “ingsun, pancer” (Aku, sentral) dan Allah. Secara kontekstual, ada nama-nama dikotomis untuk merepresentasikan kemahakuasaan Allah yang dinyatakan sebagai pasangan. Simbol-simbol semacam itu ialah Bapa Adam-Ibu Kawa, Bapa Rina-Ibu Wengi, Bapa Kuwasa-Ibu Bumi, Bapa Angkasa-Ibu Pratiwi. Simbol dewa-dewa antara lain Betara Kamajaya, Betara Brahma, dan Betara Bambang Sakri dan juga Betara Wisnu.
Simbol-simbol hawa nafsu manusia dinyatakan sebagai: Kakang Kawah-Adi Ari-Ari, Nini Among-Kaki Among, mar and marti, Kakang Mbarep-Adi Wuragil, sedulur metu marga ino-sedulur ora metu marga ino (saudara yang lahir dari kemaluan ibu dan saudara yang terlahir bukan dari kemaluan ibu, bayangan), mutmainah-amarah-sufiah-aluamah-ingsun, dan sir-dat-sifat-wujud-khak.
Dalam kaitannya dengan nilai-nilai sosial dan moral, simbol-simbol itu diungkapkan dalam istilah-istilah: (1) arah mata angin: timur, selatan, barat, utara dan pusat; (2) warna-warni: putih, merah, kuning, hitam, multi-warna; (3) hari Jawa: pahing, pon, wage, kliwon; (4) sandang, pangan, kamukten, mas picis raja brana (sandang, pakan, kekuasaan, emas dan berlian); (5) unsur-unsur semisal cahaya, bumi, air, udara; (6) jenis logam: perak, tembaga, emas, dan besi. Simbolisme itu dimanifestasikan dalam sesajian semisal bunga tiga atau lima warna (mawar merah, melati, kenangan, pandan, magnolia); dupa dan kemenyan, bubur merah putih, sego golong dan tumpeng, jajan pasar. Diterapkan dalam kehidupan sosial sehari-hari, peran ajaran moral Aji Seduluran ditemukan dalam usaha untuk mencapai keamanan dan harmoni; tradisi mengadakan slametan dan “perhitungan hari baik” (untuk mencari hari baik) ketika orang mau mengadakan akad nikah, dapat kerja, pindah rumah, dan lain-lain. Karena itulah maka peran pinisepuh (dukun) di kalangan masyarakat Jawa menjadi sangat penting.
Dapat disimpulkan bahwa simbol-­simbol dalam mantra Jawa Aji Seduluran juga dapat ditemukan dalam kebudayaan dunia lainnya. Karena itu simbol-simbol ini juga universal. Simbol literal dan kontekstual yang terdapat pada Aji Seduluran dapat diklasifikasikan menjadi (1) simbol spiritual, (2) simbol sosial dan moral dan (3) simbol tradisi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Achen, Sven Tito. 1978. Symbols Around Us. New York: Reinhold Company.
Any, Anjar. 1986. Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: Aneka Ilmu.
Arifin, Imron. 1993. Dabus Ilmu Kekebalan dan Kesaktian dalam Tarekat Rifa’iyyah. Malang: Kalimasahada Press.
Brown, Gillian and George Yule. 1983. Discourse Analysis. New York: Cambridge University Press.
Cirlot, J.E. 1962. A Dictionary of Symbols. New York: Philosophical Library.
Coulthard, Malcolm. 1993. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman. Haryanto S. 1995. Bayang-Bayang Adiluhung. Semarang: Dahara Prize.
Kitab Primbon Atassadur Adammakna. 1990. Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa.
Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. 1994. Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Pemberton, John. 1994. On the Subject of Java. Itacha and London: Cornel University Press.
Primbon Jawa Bekti Jamal. (n.d.). Solo: Sadubudi.
Primbon Aji Mantrawara, Yogabrata, Rajah Yogamantra. 1980. Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa.
Ranggawarsita, R. Ng. 1994. Serat Pustakaraja Purwa: Vol I, II, III. Translated by Kamajaya. Surakarta: Yayasan Mangadeg.
Sang Indrajati. 1979. Kitab Wedha Mantra. Solo: Sadu Budi.
Siwidana. 1996. Japa Mantra Manut Agama Islam. Jaya Baya: No. 39, 26 May, 1996, p.46-47.
Stubbs, Michael. 1985. Discourse Analysis. Oxford: Basic Blackwell.
Sujamto. 1993. Sadba Pandita Ratu. Semarang: Dahara Prize.
Sujamto. 1992. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahara Prize.
Wahab, Abdul. 1986. Javanese Metaphors in Discourse Analysis. Ph.D’s Dissertation. Urbana Illinois.
Widodo, Wisnu Sri. 1995. Mungkaring Nafsu. Panyebar Semangat. No. 11, March, 1995, p. 23-25.

2 komentar:

  1. Memiliki kemampuan menurunkan keilmuan Portal Energy, Master Portal Energy,Mediumisasi, mampu berkomunikasi dengan pendamping gaib diri dan Mampu Memanggil Sedulur Papat Kelima Pancer

    http://pelatihanintienergi.com/grand-master-portal-energy.php



    Telepon : 0812 8202 7639 / 085 777 269 266

    BalasHapus
  2. sedulurku seng tuo seng ono ngarep seng ragil seng ono mburi sekabehing nabi podo ngayuti walituo seng njogo kulo sak lebete ing alam ndunyo mugomugo penjaluk kulo piturutono.

    BalasHapus