Selasa, 30 Desember 2014

K-13 DIHENTIKAN HARAPAN BAIK UNTUK GURU



ASPEK LOGIS PENGHENTIAN KURIKULUM 2013

Teguh Budiharso



Penghentian Kurikulum 2013 (K-13) oleh Mendikbud Anies Baswedan terus menjadi kontroversi.  Mantan Mendikbud, bejabat birokrasi Diknas, praktisi, Kepala Sekolah, guru, dan lapisan masyarakat ambil bagian.  Simpulan kontroversi itu, bisa diringkas dalam dua pandangan.
            Pertama, K-13 tidak seharusnya dihentikan. Banyak kerugian yang diderita masyarakat dan sekolah.  Alasannya, K-13 sudah terbangun melalui sistem, sekolah sudah mulai move on dan anggaran menghabiskan dana besar. Pandangan ini didukung oleh sekolah-sekolah yang memperoleh akses luas. Sekolah ini umumnya sudah mapan, berada di pusat kota dan mendapat akses luas secara material, sarana dan prasarana untuk mengimplementasikan K-13.  
            Kedua,  K-13 layak dihentikan.  Pandangan ini diwakili sekolah dengan  sumber daya yang relatif terbatas, akses kurang, sarana, dan prasarana terbatas, berada di pinggiran, pedesaaan, pedalaman, dan perbatasan suatu kabupaten atau provinsi.  Jika pandangan pertama bisa dianggap diwakili oleh 6.221 sekolah percontohan versi Mendikbud lama, pandangan kedua mewakili realitas lapangan yang dirasakan oleh hampir 80% sekolah dan guru se Nusantara.  Pandangan ini menekankan pada tuntutan pemenuhan logistik dasar pendidikan, peningkatan dan pemberdayaan kualitas guru yang justru merupakan potret sesungguhnya dunia persekolahan Indonesia.
            Tulisan ini menyuguhkan argumentasi bahwa K-13 memang semestinya dihentikan.  Keputusan Mendikbud Anies Baswedan tepat dan perlu mendapat dukungan secara luas.  Selanjutnya, mari kita hentikan kontroversi dan debat dan kita fokus untuk melaksanakan perbaikan.

Refleksi
            Kurikulum di Indonesia dalam dasa warsa terakhir telah berubah dari  Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi, KBK), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, KTSP), dan Kurikulum 2013. Bersamaan dengan itu, dipopulerkan pendekatan Students-Centered Learning dan Contextual-Based Teaching dengan model mengajar kreatif, inovatif, dan menarik (PAKEM/PAIKEM), cooperative learning, collaborative learning, dan quantum teaching sebagai landasan menyusun desain pembelajaran.    
Pendekatan tersebut telah mengubah paradigma pembelajaran di Indonesia ditandai dengan pelaksanaan proyek-proyek pelatihan guru yang luar biasa.  Pelaksanaan pembelajaran berubah drastis dan nyaris seluruh sekolah dan guru  “terjual habis”. Guru didorong intensif melakukan perubahan, tetapi substansi penguasaan dan pengembangan kurikulum relatif tidak berkembang.
Pelatihan guru, PLPG melalui perguruan tinggi, dan proyek-proyek lain tidak mampu menjawab permasalahan inti.  Empat masalah besar tetap muncul: (1) guru kurang mampu menguasai kurikulum, (2) guru tidak mampu mengembangkan materi dan bahan ajar, (3) guru tidak mampu melaksanakan metode pembalajaran di kelas, dan (4) guru tidak mempu mengembangkan penilaian hasil belajar dengan baik. Penilaian berbasis kelas atau penilaian otentik bahkan menjadi permasalahan kompleks bagi hampir semua guru. 
Permasalahan kurikulum, yaitu: penyusunan tujuan pembalajaran, pengembangan materi ajar, penerapan metode mengajar, dan pengembangan asesmen hasil belajar diperoleh secara copy paste dari contoh yang disediakan pemerintah yang dikembangkan dari pelatihan satu ke pelatihan lain yang bobot dan kualitasnya juga belum tentu standar dan belum tentu benar. Implementasi K-04 dan K-06 tidak pernah mantap. Kemampuan dan pemahaman guru terhadap substansi kurikulum dan komponennya, bukan terjadi karena proses pelatihan atau praktik yang matang, tetapi akibat tekanan harus menyelesaikan administrasi sekolah atau portofolio yang harus dikumpulkan.

Masalah Tak Terpecahkan
            Konteks ini menegaskan bahwa implementasi kurikulum sejauh ini jelas lebih bermuara pada kebijakan proyek.  Permasalahan guru dan kinerja di lapangan tidak diserap dengan baik. Hanya sekolah-sekolah di perkotaan yang SDM dan aksesnya kuat yang cenderung dijadikan ukuran keberhasilan.  Bagaimana sekolah pinggiran terlebih lagi di pedalaman dan perbatasan misalnya di Kalimantan Utara, atau di pedalaman di beberapa daerah Pacitan, Probilonggo, Temanggung, dan daerah-daerah pesisir dan pegunungan, tidak mendapat perhatian.  Kebijakan Mendikbud Baswedan bisa dimaknai radikal mengarah pada pemberdayaan pendidikan mayoritas di Indonesia dengan misi luhur meningkatkan kualitas guru.
            Penyusunan tujuan pembelajaran menjadi Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator menurut K-04 dan K-06, kemudian berubah menjadi Learning Outcomes, Learning Objectives dan bagaimana menjabarkan ke dalam materi ajar, adalah permasalahan utama. Penyusunan asesmen hasil belajar, perangkat tes dan rubrik penilaiannya sesuai dengan penilaian otentik, menjadi masalah berikutnya.  Semua sudah disampaikan melalui PLPG, PPG, dan pelatihan guru yang bersifat training, tetapi guru tetap mengalami kendala besar karena yang diperoleh cenderung bersifat tekstual dan tidak mendorong kreatifitas mandiri.
            Jadi, perubahan K-04 dan K-06 tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan berhasil. Guru masih tetap belum mampu memahami dan mengimplementasikan di lapangan. “Keberhasilan” guru terjadi karena kurikulum diganti dan permasalahan di lapangan berganti dengan masalah baru.  Proyeksi yang sama juga akan terjadi terhadap K-13. K-13 berjalan, tetapi masalah substansial yang dihadapi guru tidak berubah bahkan semakin kompleks pemecahannya.  Jika kita memotret permasalahan sekolah seluruh Nusantara, penghentian K-13 memang sesuai.  Peningkatan kualitas guru perlu format lebih konkret.  Sekolah percontohan yang diklaim sudah siap melaksanakan K-13, tetap dipersilakan jalan, karena best practices sekolah percontohan bisa menjadi bahan adaptasi, modifikasi, dan diversifikasi kurikulum lanjutan walaupun namanya tidak harus tetap Kurikulum 2013.  (Surakarta, 11 Desember 2014).
                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar