Selasa, 30 Desember 2014

NILAI STRATEGIS PENGHENTIAN K-13



VISI STRATEGIS PENGHENTIAN K-13

Teguh Budiharso
(Email: dr_tgh@yahoo.com)


Sikap tegas Mendikbud Anies Baswedan menghentikan Kurikulum 2013 (K-13) patut dihargai amat tinggi. Baswedan secara cermat dan konsisten menujukkan  alasan kuat bahwa pembelajaran di sekolah harus dipersiapkan matang.  Penulis mencatat ada tiga hal yang patut digarisbawahi dalam permasalahan K-13 ini.
            Pertama, K-13 telah dilaksanakan di sekolah percontohan di seluruh wilayah Indonesia terhadap 6.221 sekolah di 295 kabupaten/kota, meliputi 2.598 SD, 1.437 SMP, 1.165 SMA, dan 1.021 SMK. Jumlah ini baru 3% dari seluruh sekolah di Indonesia. Jumlah ini tentu terlalu sedikit, dan kluster demografi sekolah yang dipilih hanya berada di perkotaan, seperti ibu kota provinsi atau ibukota kabupaten.  Jumlah sekolah percontohan pun berkisar antara 2-3 sekolah di satu wilayah.  Jadi coverage sekolah percontohan tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk landasan kebijakan implementasi  K-13 secara menyeluruh.
            Kedua,  K-13 dilaksanakan terlalu terburu-buru dan kurang sesuai denan amanah  PP 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.  Pasal 94 PP 32/2013 menegaskan bahwa penyesuaian implementasi kurikulum baru dilaksanakan paling lambat selama tujuh tahun.  Hingga saat ini, K-13 sudah berjalan selama tiga semester, yaitu semester ganjil 2013, semester genap 2013 dan semester ganjil 2014. Terbuka kemungkinan bahwa K-13 belum siap secara design, isi, dan persiapan di lapangan dan dilakukan berbagai teknik untuk mendongkrak proyek implementasinya.
            Ketiga, implementasi K-13 lebih berorientasi proyek.  Umumnya, pemegang kebijakan di daerah menganggap proyek pengadaan buku K-13 sudah terlanjur jalan dan harus dibayar. Pengusaha percetakan juga mengalami kerugian besar karena proyek tidak dibayar dan terpaksa memberhentikan karyawan.  Pemda yang merasa siap akan terus melanjutkan K-13.   
            Tulisan ini berargumen bahwa Mendikbud Baswedan benar.  Terdapat nilai strategis menghentikan K-13 saat ini. Selama proses penghentian, akan dilakukan uji-coba lapangan lebih mendalam, mematangkan desain, mempersiapkan kompetensi guru, mempersiapkan perangkat di sekolah-sekolah sesuai kluster dan wilayah.  Kebijakan ini harus didukung dengan segala resiko dan penuh tanggung jawab oleh semua pihak.
            Pertama, sampel sekolah di pilot project masih harus dikembangkan secara snowball menjadi lebih luas.  Baswedan benar, jumlah 3% (6.221 sekolah) akan dikembangkan menjadi 10% setiap semester.  Jumlah guru yang dimagangkan juga ditambah setiap semesternya.   Jika kebijakan ini dilaksanakan mulai 2015 sampai 2019, akan diperoleh 50% dari total sekolah dan guru yang dipersiapkan.  Angka ini masih bisa disesuaikan dengan sekurang-kurangnya usia Mas Mentri menjabat di Kabinet Kerja.
Rencana ini tentu menghadapi tantangan.  Tantangan pertama, proyek pelatihan guru untuk mempersiapkan K-13 akan membanjir bak jamur di musim hujan.  Hal ini akan menimbulkan masalah klasik yang sama dengan kebijakan sebelumnya, pelatihan kejar tayang.  Quality assurance dan total quality management menjadi persoalan dasar. Tantangan kedua, sekolah pilot project yang dijadikan tempat magang akan menghadapi permasalahan besar baik terhadap kualitas hasil belajar maupun manajemen sekolah.  Yang terakhir,  percepatan bisa dilaksanakan melalui PLPG atau PPG di LPTK seluruh Indonesia, namun tidak semua LPTK memiliki kompetensi yang diharapkan dan konsisten dengan jaminan mutu yang  diarapkan. Kebijakan pemerataan dan tuntutan daerah sering mengaburkan nilai ideal dan bersifat kompromistis.    
            Kedua, terdapat perbedaan amat mencolok mutu sekolah di Indonesia di berbagai wilayah.  Penulis menginventarisir lokasi sekolah sebenarnya berbada antara  kota provinsi, kotamadya, kota kabupaten, kota kecamatan, pedesaan, pinggiran, pedalaman, dan perbatasan.  Dipastikan bahwa hanya sekolah di kota provinsi, kotamadya, dan kota kabupaten yang memiliki akses dan kesiapan pengembangan yang memungkinkan dengan proyeksi antara 30% dari total sekolah yang ada.  Sisanya 70% kondisinya terseok-seok, kurang dan bahkan memprihatinkan. 
Dalam konteks inilah kebijakan Mendikbud Baswedan memiliki visi tajam dan tepat.  Sebagai pendiri Indonesia Mengajar yang telah mengirimkan banyak fresh graduate ke pelosok-pelosok bisa merasakan betapa masih sangat kurangnya pendidikan di Indonesia.  Mengenai wilayah, pemegang kebijakan cenderung melihat sekolah di wilayah kota dan kabupaten di Jawa yang sudah maju saja. Pandangan visioner untuk melihat sekolah-sekolah di pulau lain yang masih jauh seperti Nunukan, Malinau, Krayan perbatasan Kaltara dan Malaysia; perdesaan di Ngawi, Pacitan, Panggul, Madura, berbagai wilayah di Jawa Tengah pesisir, pedesaan di berbagai wilayah di Jawa Barat; dan di wilayah Timur Indonesia di NTT, Papua, Maluku, Sulawesi Utara, dsb terlalu banyak yang belum standar. 
Tradisi implementasi kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan dianggap valid dan cocok setelah percontohan selesai diterapkan dan diberlakukan menyeluruh tanpa perbaikan berarti.  Implementasi K-13 untuk wilayah percontohan saja, masih jauh mencerminkan kesiapan sekolah-sekolah yang belum layak.  Contoh kecil, nilai UNAS di wilayah-wilayah yang “tak terjangkau” sudah bukan rahasia lagi bahwa kelulusannya “disesuaikan” dengan kebijakan.   
            Ketiga, pada tataran implementasi terdapat permasalahan yang rumit.   Perubahan K-13 dari KTSP (2006) dan KBK (2004) tidak didasarkan pada hasil analisis komprehensif bahwa KBK dan KTSP memiliki kelemahan yang secara mendasar harus disempurnakan secara terencana dan cermat dan ditunjukkan pada guru bagaimana memperbaikinya.  Penguasaan guru dan hasil beralajar siswa berdasar KBK dan KTSP lebih dilihat dari aspek kebijakan dan proyek.  Ketika guru sedang “terjual habis” pada KBK; dan aspek-aspek desain dan implementasi kurikulum ke dalam perumusan tujuan pembelajaran, pengembangan materi ajar, pelaksanaan metode mengajar dan asesmen hasil belajar masih remang-remang, KBK diubah menjadi KTSP.  Permasalahan dalam KBK belum dijawab dengan baik, ketika KTSP mewajibkan guru harus menguasai paradigma baru KTSP yang juga belum tuntas.  KTSP belum tuntas dan menambah permasalahan baru karena guru belum sepenuhnya menguasai KBK, datanglah K-13 yang secara sangat fundamental mengubah paradigma KTSP.  Jadi wajar jika K-13 bersifat tergesa-gesa dan dipaksakan dalam perspektif kebijakan Mendikbud Baswedan.
            Penghentian K-13 dengan demikian tidak bisa hanya dilihat dari aspek kerugian proyek, pencitraan, atau kemauan sekolah atau pemegang kebijakan.  Kebijakan Mendikbud memiliki nilai amat strategis.  Tulisan ini berkeyakinan bahwa Mendikbud sudah benar.  Kita mendukung penuh implementasi kebijakan tersebut sampai kita mendapatkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan sejauh mana K-13 akan diadaptasi, dimodifikasi, dan didiversifikasi untuk sekolah di seluruh Nusantara tanpa diskriminasi.  (Surakarta, 14 Desember 2014)             


 





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar