Selasa, 30 Desember 2014

NILAI STRATEGIS PENGHENTIAN K-13



VISI STRATEGIS PENGHENTIAN K-13

Teguh Budiharso
(Email: dr_tgh@yahoo.com)


Sikap tegas Mendikbud Anies Baswedan menghentikan Kurikulum 2013 (K-13) patut dihargai amat tinggi. Baswedan secara cermat dan konsisten menujukkan  alasan kuat bahwa pembelajaran di sekolah harus dipersiapkan matang.  Penulis mencatat ada tiga hal yang patut digarisbawahi dalam permasalahan K-13 ini.
            Pertama, K-13 telah dilaksanakan di sekolah percontohan di seluruh wilayah Indonesia terhadap 6.221 sekolah di 295 kabupaten/kota, meliputi 2.598 SD, 1.437 SMP, 1.165 SMA, dan 1.021 SMK. Jumlah ini baru 3% dari seluruh sekolah di Indonesia. Jumlah ini tentu terlalu sedikit, dan kluster demografi sekolah yang dipilih hanya berada di perkotaan, seperti ibu kota provinsi atau ibukota kabupaten.  Jumlah sekolah percontohan pun berkisar antara 2-3 sekolah di satu wilayah.  Jadi coverage sekolah percontohan tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk landasan kebijakan implementasi  K-13 secara menyeluruh.
            Kedua,  K-13 dilaksanakan terlalu terburu-buru dan kurang sesuai denan amanah  PP 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.  Pasal 94 PP 32/2013 menegaskan bahwa penyesuaian implementasi kurikulum baru dilaksanakan paling lambat selama tujuh tahun.  Hingga saat ini, K-13 sudah berjalan selama tiga semester, yaitu semester ganjil 2013, semester genap 2013 dan semester ganjil 2014. Terbuka kemungkinan bahwa K-13 belum siap secara design, isi, dan persiapan di lapangan dan dilakukan berbagai teknik untuk mendongkrak proyek implementasinya.
            Ketiga, implementasi K-13 lebih berorientasi proyek.  Umumnya, pemegang kebijakan di daerah menganggap proyek pengadaan buku K-13 sudah terlanjur jalan dan harus dibayar. Pengusaha percetakan juga mengalami kerugian besar karena proyek tidak dibayar dan terpaksa memberhentikan karyawan.  Pemda yang merasa siap akan terus melanjutkan K-13.   
            Tulisan ini berargumen bahwa Mendikbud Baswedan benar.  Terdapat nilai strategis menghentikan K-13 saat ini. Selama proses penghentian, akan dilakukan uji-coba lapangan lebih mendalam, mematangkan desain, mempersiapkan kompetensi guru, mempersiapkan perangkat di sekolah-sekolah sesuai kluster dan wilayah.  Kebijakan ini harus didukung dengan segala resiko dan penuh tanggung jawab oleh semua pihak.
            Pertama, sampel sekolah di pilot project masih harus dikembangkan secara snowball menjadi lebih luas.  Baswedan benar, jumlah 3% (6.221 sekolah) akan dikembangkan menjadi 10% setiap semester.  Jumlah guru yang dimagangkan juga ditambah setiap semesternya.   Jika kebijakan ini dilaksanakan mulai 2015 sampai 2019, akan diperoleh 50% dari total sekolah dan guru yang dipersiapkan.  Angka ini masih bisa disesuaikan dengan sekurang-kurangnya usia Mas Mentri menjabat di Kabinet Kerja.
Rencana ini tentu menghadapi tantangan.  Tantangan pertama, proyek pelatihan guru untuk mempersiapkan K-13 akan membanjir bak jamur di musim hujan.  Hal ini akan menimbulkan masalah klasik yang sama dengan kebijakan sebelumnya, pelatihan kejar tayang.  Quality assurance dan total quality management menjadi persoalan dasar. Tantangan kedua, sekolah pilot project yang dijadikan tempat magang akan menghadapi permasalahan besar baik terhadap kualitas hasil belajar maupun manajemen sekolah.  Yang terakhir,  percepatan bisa dilaksanakan melalui PLPG atau PPG di LPTK seluruh Indonesia, namun tidak semua LPTK memiliki kompetensi yang diharapkan dan konsisten dengan jaminan mutu yang  diarapkan. Kebijakan pemerataan dan tuntutan daerah sering mengaburkan nilai ideal dan bersifat kompromistis.    
            Kedua, terdapat perbedaan amat mencolok mutu sekolah di Indonesia di berbagai wilayah.  Penulis menginventarisir lokasi sekolah sebenarnya berbada antara  kota provinsi, kotamadya, kota kabupaten, kota kecamatan, pedesaan, pinggiran, pedalaman, dan perbatasan.  Dipastikan bahwa hanya sekolah di kota provinsi, kotamadya, dan kota kabupaten yang memiliki akses dan kesiapan pengembangan yang memungkinkan dengan proyeksi antara 30% dari total sekolah yang ada.  Sisanya 70% kondisinya terseok-seok, kurang dan bahkan memprihatinkan. 
Dalam konteks inilah kebijakan Mendikbud Baswedan memiliki visi tajam dan tepat.  Sebagai pendiri Indonesia Mengajar yang telah mengirimkan banyak fresh graduate ke pelosok-pelosok bisa merasakan betapa masih sangat kurangnya pendidikan di Indonesia.  Mengenai wilayah, pemegang kebijakan cenderung melihat sekolah di wilayah kota dan kabupaten di Jawa yang sudah maju saja. Pandangan visioner untuk melihat sekolah-sekolah di pulau lain yang masih jauh seperti Nunukan, Malinau, Krayan perbatasan Kaltara dan Malaysia; perdesaan di Ngawi, Pacitan, Panggul, Madura, berbagai wilayah di Jawa Tengah pesisir, pedesaan di berbagai wilayah di Jawa Barat; dan di wilayah Timur Indonesia di NTT, Papua, Maluku, Sulawesi Utara, dsb terlalu banyak yang belum standar. 
Tradisi implementasi kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan dianggap valid dan cocok setelah percontohan selesai diterapkan dan diberlakukan menyeluruh tanpa perbaikan berarti.  Implementasi K-13 untuk wilayah percontohan saja, masih jauh mencerminkan kesiapan sekolah-sekolah yang belum layak.  Contoh kecil, nilai UNAS di wilayah-wilayah yang “tak terjangkau” sudah bukan rahasia lagi bahwa kelulusannya “disesuaikan” dengan kebijakan.   
            Ketiga, pada tataran implementasi terdapat permasalahan yang rumit.   Perubahan K-13 dari KTSP (2006) dan KBK (2004) tidak didasarkan pada hasil analisis komprehensif bahwa KBK dan KTSP memiliki kelemahan yang secara mendasar harus disempurnakan secara terencana dan cermat dan ditunjukkan pada guru bagaimana memperbaikinya.  Penguasaan guru dan hasil beralajar siswa berdasar KBK dan KTSP lebih dilihat dari aspek kebijakan dan proyek.  Ketika guru sedang “terjual habis” pada KBK; dan aspek-aspek desain dan implementasi kurikulum ke dalam perumusan tujuan pembelajaran, pengembangan materi ajar, pelaksanaan metode mengajar dan asesmen hasil belajar masih remang-remang, KBK diubah menjadi KTSP.  Permasalahan dalam KBK belum dijawab dengan baik, ketika KTSP mewajibkan guru harus menguasai paradigma baru KTSP yang juga belum tuntas.  KTSP belum tuntas dan menambah permasalahan baru karena guru belum sepenuhnya menguasai KBK, datanglah K-13 yang secara sangat fundamental mengubah paradigma KTSP.  Jadi wajar jika K-13 bersifat tergesa-gesa dan dipaksakan dalam perspektif kebijakan Mendikbud Baswedan.
            Penghentian K-13 dengan demikian tidak bisa hanya dilihat dari aspek kerugian proyek, pencitraan, atau kemauan sekolah atau pemegang kebijakan.  Kebijakan Mendikbud memiliki nilai amat strategis.  Tulisan ini berkeyakinan bahwa Mendikbud sudah benar.  Kita mendukung penuh implementasi kebijakan tersebut sampai kita mendapatkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan sejauh mana K-13 akan diadaptasi, dimodifikasi, dan didiversifikasi untuk sekolah di seluruh Nusantara tanpa diskriminasi.  (Surakarta, 14 Desember 2014)             


 





















K-13 DIHENTIKAN HARAPAN BAIK UNTUK GURU



ASPEK LOGIS PENGHENTIAN KURIKULUM 2013

Teguh Budiharso



Penghentian Kurikulum 2013 (K-13) oleh Mendikbud Anies Baswedan terus menjadi kontroversi.  Mantan Mendikbud, bejabat birokrasi Diknas, praktisi, Kepala Sekolah, guru, dan lapisan masyarakat ambil bagian.  Simpulan kontroversi itu, bisa diringkas dalam dua pandangan.
            Pertama, K-13 tidak seharusnya dihentikan. Banyak kerugian yang diderita masyarakat dan sekolah.  Alasannya, K-13 sudah terbangun melalui sistem, sekolah sudah mulai move on dan anggaran menghabiskan dana besar. Pandangan ini didukung oleh sekolah-sekolah yang memperoleh akses luas. Sekolah ini umumnya sudah mapan, berada di pusat kota dan mendapat akses luas secara material, sarana dan prasarana untuk mengimplementasikan K-13.  
            Kedua,  K-13 layak dihentikan.  Pandangan ini diwakili sekolah dengan  sumber daya yang relatif terbatas, akses kurang, sarana, dan prasarana terbatas, berada di pinggiran, pedesaaan, pedalaman, dan perbatasan suatu kabupaten atau provinsi.  Jika pandangan pertama bisa dianggap diwakili oleh 6.221 sekolah percontohan versi Mendikbud lama, pandangan kedua mewakili realitas lapangan yang dirasakan oleh hampir 80% sekolah dan guru se Nusantara.  Pandangan ini menekankan pada tuntutan pemenuhan logistik dasar pendidikan, peningkatan dan pemberdayaan kualitas guru yang justru merupakan potret sesungguhnya dunia persekolahan Indonesia.
            Tulisan ini menyuguhkan argumentasi bahwa K-13 memang semestinya dihentikan.  Keputusan Mendikbud Anies Baswedan tepat dan perlu mendapat dukungan secara luas.  Selanjutnya, mari kita hentikan kontroversi dan debat dan kita fokus untuk melaksanakan perbaikan.

Refleksi
            Kurikulum di Indonesia dalam dasa warsa terakhir telah berubah dari  Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi, KBK), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, KTSP), dan Kurikulum 2013. Bersamaan dengan itu, dipopulerkan pendekatan Students-Centered Learning dan Contextual-Based Teaching dengan model mengajar kreatif, inovatif, dan menarik (PAKEM/PAIKEM), cooperative learning, collaborative learning, dan quantum teaching sebagai landasan menyusun desain pembelajaran.    
Pendekatan tersebut telah mengubah paradigma pembelajaran di Indonesia ditandai dengan pelaksanaan proyek-proyek pelatihan guru yang luar biasa.  Pelaksanaan pembelajaran berubah drastis dan nyaris seluruh sekolah dan guru  “terjual habis”. Guru didorong intensif melakukan perubahan, tetapi substansi penguasaan dan pengembangan kurikulum relatif tidak berkembang.
Pelatihan guru, PLPG melalui perguruan tinggi, dan proyek-proyek lain tidak mampu menjawab permasalahan inti.  Empat masalah besar tetap muncul: (1) guru kurang mampu menguasai kurikulum, (2) guru tidak mampu mengembangkan materi dan bahan ajar, (3) guru tidak mampu melaksanakan metode pembalajaran di kelas, dan (4) guru tidak mempu mengembangkan penilaian hasil belajar dengan baik. Penilaian berbasis kelas atau penilaian otentik bahkan menjadi permasalahan kompleks bagi hampir semua guru. 
Permasalahan kurikulum, yaitu: penyusunan tujuan pembalajaran, pengembangan materi ajar, penerapan metode mengajar, dan pengembangan asesmen hasil belajar diperoleh secara copy paste dari contoh yang disediakan pemerintah yang dikembangkan dari pelatihan satu ke pelatihan lain yang bobot dan kualitasnya juga belum tentu standar dan belum tentu benar. Implementasi K-04 dan K-06 tidak pernah mantap. Kemampuan dan pemahaman guru terhadap substansi kurikulum dan komponennya, bukan terjadi karena proses pelatihan atau praktik yang matang, tetapi akibat tekanan harus menyelesaikan administrasi sekolah atau portofolio yang harus dikumpulkan.

Masalah Tak Terpecahkan
            Konteks ini menegaskan bahwa implementasi kurikulum sejauh ini jelas lebih bermuara pada kebijakan proyek.  Permasalahan guru dan kinerja di lapangan tidak diserap dengan baik. Hanya sekolah-sekolah di perkotaan yang SDM dan aksesnya kuat yang cenderung dijadikan ukuran keberhasilan.  Bagaimana sekolah pinggiran terlebih lagi di pedalaman dan perbatasan misalnya di Kalimantan Utara, atau di pedalaman di beberapa daerah Pacitan, Probilonggo, Temanggung, dan daerah-daerah pesisir dan pegunungan, tidak mendapat perhatian.  Kebijakan Mendikbud Baswedan bisa dimaknai radikal mengarah pada pemberdayaan pendidikan mayoritas di Indonesia dengan misi luhur meningkatkan kualitas guru.
            Penyusunan tujuan pembelajaran menjadi Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator menurut K-04 dan K-06, kemudian berubah menjadi Learning Outcomes, Learning Objectives dan bagaimana menjabarkan ke dalam materi ajar, adalah permasalahan utama. Penyusunan asesmen hasil belajar, perangkat tes dan rubrik penilaiannya sesuai dengan penilaian otentik, menjadi masalah berikutnya.  Semua sudah disampaikan melalui PLPG, PPG, dan pelatihan guru yang bersifat training, tetapi guru tetap mengalami kendala besar karena yang diperoleh cenderung bersifat tekstual dan tidak mendorong kreatifitas mandiri.
            Jadi, perubahan K-04 dan K-06 tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan berhasil. Guru masih tetap belum mampu memahami dan mengimplementasikan di lapangan. “Keberhasilan” guru terjadi karena kurikulum diganti dan permasalahan di lapangan berganti dengan masalah baru.  Proyeksi yang sama juga akan terjadi terhadap K-13. K-13 berjalan, tetapi masalah substansial yang dihadapi guru tidak berubah bahkan semakin kompleks pemecahannya.  Jika kita memotret permasalahan sekolah seluruh Nusantara, penghentian K-13 memang sesuai.  Peningkatan kualitas guru perlu format lebih konkret.  Sekolah percontohan yang diklaim sudah siap melaksanakan K-13, tetap dipersilakan jalan, karena best practices sekolah percontohan bisa menjadi bahan adaptasi, modifikasi, dan diversifikasi kurikulum lanjutan walaupun namanya tidak harus tetap Kurikulum 2013.  (Surakarta, 11 Desember 2014).
                       

KURIKULUM 2013 DIHENTIKAN



PENGHENTIAN K-13 DAN HARAPAN UNTUK GURU

Prof. Dr. Teguh Budiharso, M.Pd


Mendikbud Dasmen Anies Baswedan resmi menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13). Kebijakan ini patut diacungi jempol dan menunjukkan Pak Mentri full confidence menjalankan policy dan tidak sekadar mengekor.  Saat ini K-13 sudah diterapkan bertahap dan terbatas di 6.221 sekolah di 295 kabupaten/kota, meliputi 2.598 SD, 1.437 SMP, 1.165 SMA, dan 1.021 SMK. Rekomendasi pelaksanaan K-13 hanya di 6.221 sekolah percontohan ini sebelumnya dikemukakan Prof. Dr. Suyanto, Ketua Tim Kajian K-13.    
            Penghentian implementasi K-13 memang mengundang kontroversi. Di tingkat pusat, kontroversi terjadi terkait pelaksanaan proyek.  Di tingkat bawah pemegang policy menganggap K-13 perlu dipertahankan. Pandangan ini terkait dengan birokrasi: pelatihan guru, pengadaan buku, dan sistem birokrasi yang semuanya berorientasi proyek. Pandangan yang didukung PGRI ini intinya ingin K-13 dipertahankan dengan  penyempurnaan.    
            IGI (Ikatan Guru Indonesia) mengeluarkan pernyataan tegas, K-13 belum siap diterapkan. Yang belum siap kurikulumnya, bukan guru dan sekolahnya seperti yang selama ini menjadi kambing hitam. Faktanya, guru bingung memahami isi K-13 dan kesulitan mengimplementasikan di kelas. Apalagi buku teks belum tersedia dengan beragam alasan.    
            Mendikbud menegaskan jika 6.211 sekolah percontohan merasa tidak mampu menerapkan K-13, mereka tidak perlu memaksakan. Mereka bisa langsung menerapkan K-06. Sekolah jangan merasa terbebani, tidak menerapkan K-13 tidak apa-apa (Jawa Post, 7 Desember 2014). Mendikbud benar. Implementasi K-13 dilaksanakan sebelum K-13 dievaluasi. Kurikulum belum disiapkan secara matang, sehingga masih banyak hal yang harus disempurnakan.   

MASALAH KONKRET
            Di lapngan penulis telah blusukan ke berbagai wilayah dan berinteraksi dengan guru, siswa, dan pelaksana kebijakan, di antaranya LPMP, pengawas, dan kepala sekolah SD, SMP, SMA dan SMK baik melalui pelatihan, diskusi, wawancara, PLPG, dan sarasehan.  Simpulannya, K-13 memang sulit dan berat untuk dilaksanakan. Kebijakanlah yang memaksa pelaksanaan K-13 berjalan.
Secara demografi, sekolah di perkotaan hanya sekolah yang dekat dengan birokrat yang menyatakan “siap”.  Di satu kota, antara 20% saja sekolah yang memiliki akses percepatan penyerapan K-13.  Sekolah dalam kota tetapi lokasinya di pinggiran dan kurang mendapatkan akses ke birokrasi, mengalami permasalahan yang juga rumit sekali. 
Sebanyak 80% sekolah yang berlokasi jauh dari pusat kota sangat kesulitan. Sekadar contoh:  Sekolah-sekolah di Panggul Trenggalek, Pacitan, Pracimantoro, dan beberapa wilayah Pantura, termasuk sekolah yang aksesnya jauh dan mengalami kesulitan besar.  Di luar Jawa, sekolah di kabupaten Nunukan, Malinau,  Kutai Timur, Kutai Barat dan sekolah di perbatasan, adalah contoh yang aksesnya sangat sulit dan sangat berat melaksanakan K-13. Bahkan tidak sedikit sekolah yang menyatakan hampir mustahil mampu melaksanakan K-13. 
            Merujuk pada paradigma guru dan kebijakan Mendikbud Anies Baswedan, kesulitan sekolah tersebut bertumpu pada kemampuan guru yang umumnya masih kurang.  Empat permasalahan utama muncul sebagai kendala: (1) guru kurang menguasai kurikulum, (2) guru kurang mampu mengembangkan bahan ajar, (3) guru kurang mampu menerapkan metode mengajar berbasis siswa, dan (4) guru kurang mampu mengembangkan evaluasi.  Penerapan kurikulum secara formal harus melibatkan penguasaan: tujuan (paradigma terbaru membagi tujuan menjadi: goal/aim, objective; learning outcomes dan learning objectives), isi (substansi bidang ilmu dan pengembangannya dalam design pembelajaran sesuai jenis kurikulum dan silabus), organisasi (metode mengajar dan pemilihan materi ajar), dan evaluasi (evaluasi berbasis tes, penilaian otentik, dan manajemen evaluasi). 
Jika paradigma ini direfleksikan pada seberapa banyak kompetensi guru menguasai kurikulum, maka bisa dipastikan bahwa antara 20% saja dari keseluruhan antara 2,5 juta guru yang menguasai dengan baik.  Itupun hanya guru-guru yang mengajar di kota-kota besar yang memiliki akses birokrasi yang umumnya sudah bergelar Magister dan Doktor. Jadi, Mendikbud benar, K-13 seharusnya dihentikan mengingat mayoritas sekolah di seluruh Indonesia memang tidak siap melaksanakannya. Implementasi kebijakan nasional sudah seharusnya berpihak pada masyarakat luas.

MASALAH SUBSTANSI
            Pencermatan terhadap substansi isi buku teks SD dan materi ajar untuk SMP dan SMA menunjukkan permasalahan yang kompleks untuk refleksi.  Materi SD ialah tematik dan materi ajar diintegrasikan antara bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS.  Praktiknya, guru tetap mengelompokkan penilaian hasil belajar siswa menurut bidang studi, misalnya Bahasa Indonesia, IPA, IPS, matematika.  Kondisi ini berdampak buruk. 
Pertama, materi ajar yang berupa konsep, contoh, dan aplikasi tidak ada dalam buku teks.  Sebagai gantinya, murid diminta berdiskusi, ditugasi mencari sumber sendiri, mengakses internet, atau menggunting dari koran.  Buku teks ialah pedoman dan sumber belajar. Seharusnya buku teks mencantumkan learning outcomes dan learning objectives sebagai panduan penguasaan materi ajar. Selain murid bingung, guru sendiri juga kesulitan menemukan definisi suatu tema dan bingung menyiapkan materi ajar yang cocok dengan tema.   
Kedua, guru bingung memilih materi ajar karena guru juga belum tentu memiliki referensi yang sesuai.  Menugasi siswa SD yang belum matang untuk mengakses internet memiliki potensi negatif, jika tidak diawasi.  Akibatnya orang tua ikut kelabakan mengerjakan tugas anaknya. 
Ketiga, guru umumnya tidak menguasai manajemen evaluasi secara baik.  Jika guru kesulitan mengajarkan tema tertentu, materi dijadikan PR atau tugas, setiap PR atau tugas diberi nilai dan siswa “diintimidasi” jika tidak mengerjakan atau telat mengumpulkan tugas.       
Keempat, di tingkat SMP dan SMA, pengintegrasian tema ke dalam mata pelajaran tertentu sering dilakukan hanya dengan menumpangkan topik.  Implememtasinya tetap mengacu pada K-06. Penilaian otentik, bagi guru SD maupun sekolah menengah dianggap sangat rumit, ribet, dan menyita banyak energi.  Penyiapan rubrik skill yang mencakup sikap dan perilaku, dianggap sangat sulit.  Penilaian proyek, portofolio, dan kinerja menjadi unsolved problems. Permasalahan menjadi semakin rumit karena strategi mengajar guru di kelas harus dibagi dengan strategi menyukseskan UNAS.  Komplikasi permasalahan ini adalah evidensi sangat kuat bahwa K-13 memang bermasalah.

ALTERNATIF SOLUSI
            Hal utama dan pertama yang harus digarisbawahi ialah K-13 memang layak dihentikan.  Apakah K-13 akan dievaluasi kemudian diterapkan setelah diperbaiki, adalah persoalan kemudian.  Evaluasi kurikulum yang cermat, merekomendasikan kurikulum lama dimodifikasi atau didiservikasi.  Jadi, kita tidak perlu berharap K-13 yang sekarang ini akan diterapkan lagi setelah evaluasi selesai.  Yang rasional ialah kita berharap ada kurikulum baru yang humanis, demokratis dan mencerminkan kondisi masyarakat seluruh Nusantara.  Kurikulum itu menjamin bisa diterapkan dengan penuh kepercayaan diri oleh guru di daerah perbatasan, daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah pedesaan, daerah pinggiran, daerah perkotaan, dan daerah ibu kota.  Hasil penerapan kurikulum tersebut harus menjamin peningkatan learning outcomes siswa di seluruh Nusantara secara kurang lebih sama. Tentang apa nama kurikulum tersebut, bukan persoalan utama sekarang.  Biarlah nanti nama diberikan oleh yang berkuasa; bisa Kurikulum Reformasi atau Kurikulum Kinerja.
            Pemberdayaan kemampuan, kapasitas, dan kualitas guru ialah faktor penting berikutnya.  Implikasinya,  target Mendikbud untuk meningkatkan kualitas guru dan meningkatkan penghasilan guru harus dilaksanakan terintegrasi. Mendikbud menegaskan, gaji guru tidak manusiawi karena di bawah UMP. Buruh saja ada UMP-nya, tetapi guru tidak ada.  Guru swasta rata-rata menerima gaji sebulan antara Rp 250.000-Rp 400.000.  Hitungannya sederhana, honor per jam antara Rp 25.000.  Jika guru mengajar 24 jam per minggu akan menerima honor Rp 600.000. Kenyataannya guru mengajar 24 jam seminggu itu sulit. Jam mengajarnya tidak cukup.   Peningkatan capacity building guru harus serius dan berbasis kinerja.  Pelatihan 7 hari disunat menjadi 5 hari dan materi pelatihan dikurangni adalah hal yang sudah dianggap benar dan wajar.
            Penguasaan substansi materi ajar menjadi permasalahan berikutnya.  Untuk itu, guru harus diberi penguatan bidang ilmu.  Peningkatan capacity building tidak boleh dilakukan secara borongan; bahan pelatihan diberikan, selanjutnya metode pembelajaran dan evaluasi dianggap bisa dikuasai dengan sendirinya.
            Tulisan ini ditutup dengan argumen bahwa K-13 memang layak untuk dihentikan.  Hasil evaluasi K-13 nanti tidak perlu diharapkan akan diterapkan dalam format K-13 yang disempurnakan.  Jadi, guru dan sekolah sebaiknya melakukan reorientasi kurikulum dan memilih secara mandiri dan percara diri learning outcomes sesuai kapasitasnya. Birokrasi di pemerintahan hendaknya tidak memaksakan kehendak melalui proyek-proyek pelatihan.  Capaian hasil belajar, manajemen sekolah, atau prestasi lainnya tetap dipertahankan tetapi tidak harus dipaksanaan dengan lebel tertentu.  (Surakarta, 11 Desember 2014).