PENGHENTIAN
K-13 DAN HARAPAN UNTUK GURU
Mendikbud Dasmen Anies Baswedan resmi menghentikan pelaksanaan Kurikulum
2013 (K-13). Kebijakan ini patut diacungi jempol dan menunjukkan Pak Mentri full confidence menjalankan policy dan
tidak sekadar mengekor. Saat ini K-13 sudah diterapkan bertahap dan terbatas di 6.221 sekolah di 295
kabupaten/kota, meliputi 2.598 SD, 1.437 SMP, 1.165 SMA, dan 1.021 SMK. Rekomendasi
pelaksanaan K-13 hanya di 6.221 sekolah percontohan ini sebelumnya dikemukakan Prof. Dr. Suyanto,
Ketua Tim Kajian K-13.
Penghentian implementasi
K-13 memang mengundang kontroversi. Di tingkat pusat, kontroversi terjadi
terkait pelaksanaan proyek. Di tingkat
bawah pemegang policy menganggap K-13 perlu dipertahankan. Pandangan ini
terkait dengan birokrasi: pelatihan guru, pengadaan buku, dan sistem birokrasi
yang semuanya berorientasi proyek. Pandangan yang didukung PGRI ini intinya
ingin K-13 dipertahankan dengan penyempurnaan.
IGI (Ikatan Guru
Indonesia) mengeluarkan pernyataan tegas, K-13 belum siap diterapkan. Yang
belum siap kurikulumnya, bukan guru dan sekolahnya seperti yang selama ini
menjadi kambing hitam. Faktanya, guru bingung memahami isi K-13 dan kesulitan mengimplementasikan
di kelas. Apalagi buku teks belum tersedia dengan beragam alasan.
Mendikbud menegaskan jika
6.211 sekolah percontohan merasa tidak mampu menerapkan K-13, mereka tidak
perlu memaksakan. Mereka bisa langsung menerapkan K-06. Sekolah jangan merasa
terbebani, tidak menerapkan K-13 tidak apa-apa (Jawa Post, 7 Desember 2014). Mendikbud
benar. Implementasi K-13 dilaksanakan sebelum K-13 dievaluasi. Kurikulum belum
disiapkan secara matang, sehingga masih banyak hal yang harus disempurnakan.
MASALAH
KONKRET
Di lapngan penulis telah
blusukan ke berbagai wilayah dan berinteraksi dengan guru, siswa, dan pelaksana
kebijakan, di antaranya LPMP, pengawas, dan kepala sekolah SD, SMP, SMA dan SMK
baik melalui pelatihan, diskusi, wawancara, PLPG, dan sarasehan. Simpulannya, K-13 memang sulit dan berat untuk
dilaksanakan. Kebijakanlah yang memaksa pelaksanaan K-13 berjalan.
Secara demografi, sekolah di perkotaan hanya
sekolah yang dekat dengan birokrat yang menyatakan “siap”. Di satu kota, antara 20% saja sekolah yang
memiliki akses percepatan penyerapan K-13.
Sekolah dalam kota tetapi lokasinya di pinggiran dan kurang mendapatkan
akses ke birokrasi, mengalami permasalahan yang juga rumit sekali.
Sebanyak 80% sekolah yang berlokasi jauh dari
pusat kota sangat kesulitan. Sekadar contoh:
Sekolah-sekolah di Panggul Trenggalek, Pacitan, Pracimantoro, dan
beberapa wilayah Pantura, termasuk sekolah yang aksesnya jauh dan mengalami
kesulitan besar. Di luar Jawa, sekolah
di kabupaten Nunukan, Malinau, Kutai
Timur, Kutai Barat dan sekolah di perbatasan, adalah contoh yang aksesnya
sangat sulit dan sangat berat melaksanakan K-13. Bahkan tidak sedikit sekolah
yang menyatakan hampir mustahil mampu melaksanakan K-13.
Merujuk pada paradigma
guru dan kebijakan Mendikbud Anies Baswedan, kesulitan sekolah tersebut
bertumpu pada kemampuan guru yang umumnya masih kurang. Empat permasalahan utama muncul sebagai
kendala: (1) guru kurang menguasai kurikulum, (2) guru kurang mampu
mengembangkan bahan ajar, (3) guru kurang mampu menerapkan metode mengajar
berbasis siswa, dan (4) guru kurang mampu mengembangkan evaluasi. Penerapan kurikulum secara formal harus
melibatkan penguasaan: tujuan (paradigma terbaru membagi tujuan menjadi: goal/aim, objective; learning outcomes
dan learning objectives), isi (substansi
bidang ilmu dan pengembangannya dalam design pembelajaran sesuai jenis
kurikulum dan silabus), organisasi (metode mengajar dan pemilihan materi ajar),
dan evaluasi (evaluasi berbasis tes, penilaian otentik, dan manajemen
evaluasi).
Jika paradigma ini direfleksikan pada seberapa
banyak kompetensi guru menguasai kurikulum, maka bisa dipastikan bahwa antara
20% saja dari keseluruhan antara 2,5 juta guru yang menguasai dengan baik. Itupun hanya guru-guru yang mengajar di
kota-kota besar yang memiliki akses birokrasi yang umumnya sudah bergelar
Magister dan Doktor. Jadi, Mendikbud benar, K-13 seharusnya dihentikan
mengingat mayoritas sekolah di seluruh Indonesia memang tidak siap
melaksanakannya. Implementasi kebijakan nasional sudah seharusnya berpihak pada
masyarakat luas.
MASALAH
SUBSTANSI
Pencermatan terhadap
substansi isi buku teks SD dan materi ajar untuk SMP dan SMA menunjukkan
permasalahan yang kompleks untuk refleksi.
Materi SD ialah tematik dan materi ajar diintegrasikan antara bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, dan IPS. Praktiknya,
guru tetap mengelompokkan penilaian hasil belajar siswa menurut bidang studi,
misalnya Bahasa Indonesia, IPA, IPS, matematika. Kondisi ini berdampak buruk.
Pertama, materi ajar yang berupa konsep, contoh, dan
aplikasi tidak ada dalam buku teks.
Sebagai gantinya, murid diminta berdiskusi, ditugasi mencari sumber
sendiri, mengakses internet, atau menggunting dari koran. Buku teks ialah pedoman dan sumber belajar. Seharusnya
buku teks mencantumkan learning outcomes dan learning objectives sebagai
panduan penguasaan materi ajar. Selain murid bingung, guru sendiri juga
kesulitan menemukan definisi suatu tema dan bingung menyiapkan materi ajar yang
cocok dengan tema.
Kedua, guru bingung memilih materi ajar karena guru
juga belum tentu memiliki referensi yang sesuai. Menugasi siswa SD yang belum matang untuk
mengakses internet memiliki potensi negatif, jika tidak diawasi. Akibatnya orang tua ikut kelabakan
mengerjakan tugas anaknya.
Ketiga, guru umumnya tidak menguasai manajemen evaluasi
secara baik. Jika guru kesulitan
mengajarkan tema tertentu, materi dijadikan PR atau tugas, setiap PR atau tugas
diberi nilai dan siswa “diintimidasi” jika tidak mengerjakan atau telat
mengumpulkan tugas.
Keempat, di tingkat SMP dan SMA, pengintegrasian tema ke
dalam mata pelajaran tertentu sering dilakukan hanya dengan menumpangkan
topik. Implememtasinya tetap mengacu
pada K-06. Penilaian otentik, bagi guru SD maupun sekolah menengah dianggap sangat
rumit, ribet, dan menyita banyak energi.
Penyiapan rubrik skill yang mencakup sikap dan perilaku, dianggap sangat
sulit. Penilaian proyek, portofolio, dan
kinerja menjadi unsolved problems. Permasalahan
menjadi semakin rumit karena strategi mengajar guru di kelas harus dibagi
dengan strategi menyukseskan UNAS.
Komplikasi permasalahan ini adalah evidensi sangat kuat bahwa K-13
memang bermasalah.
ALTERNATIF
SOLUSI
Hal utama dan pertama yang
harus digarisbawahi ialah K-13 memang layak dihentikan. Apakah K-13 akan dievaluasi kemudian
diterapkan setelah diperbaiki, adalah persoalan kemudian. Evaluasi kurikulum yang cermat, merekomendasikan
kurikulum lama dimodifikasi atau didiservikasi.
Jadi, kita tidak perlu berharap K-13 yang sekarang ini akan diterapkan
lagi setelah evaluasi selesai. Yang
rasional ialah kita berharap ada kurikulum baru yang humanis, demokratis dan
mencerminkan kondisi masyarakat seluruh Nusantara. Kurikulum itu menjamin bisa diterapkan dengan
penuh kepercayaan diri oleh guru di daerah perbatasan, daerah terpencil, daerah
tertinggal, daerah pedesaan, daerah pinggiran, daerah perkotaan, dan daerah ibu
kota. Hasil penerapan kurikulum tersebut
harus menjamin peningkatan learning
outcomes siswa di seluruh Nusantara secara kurang lebih sama. Tentang apa nama
kurikulum tersebut, bukan persoalan utama sekarang. Biarlah nanti nama diberikan oleh yang
berkuasa; bisa Kurikulum Reformasi atau Kurikulum Kinerja.
Pemberdayaan kemampuan,
kapasitas, dan kualitas guru ialah faktor penting berikutnya. Implikasinya,
target Mendikbud untuk meningkatkan kualitas guru dan meningkatkan
penghasilan guru harus dilaksanakan terintegrasi. Mendikbud menegaskan, gaji guru
tidak manusiawi karena di bawah UMP. Buruh saja ada UMP-nya, tetapi guru tidak
ada. Guru swasta rata-rata menerima gaji
sebulan antara Rp 250.000-Rp 400.000.
Hitungannya sederhana, honor per jam antara Rp 25.000. Jika guru mengajar 24 jam per minggu akan menerima
honor Rp 600.000. Kenyataannya guru mengajar 24 jam seminggu itu sulit. Jam
mengajarnya tidak cukup. Peningkatan
capacity building guru harus serius dan berbasis kinerja. Pelatihan 7 hari disunat menjadi 5 hari dan
materi pelatihan dikurangni adalah hal yang sudah dianggap benar dan wajar.
Penguasaan substansi
materi ajar menjadi permasalahan berikutnya.
Untuk itu, guru harus diberi penguatan bidang ilmu. Peningkatan capacity building tidak boleh
dilakukan secara borongan; bahan pelatihan diberikan, selanjutnya metode
pembelajaran dan evaluasi dianggap bisa dikuasai dengan sendirinya.
Tulisan ini ditutup dengan
argumen bahwa K-13 memang layak untuk dihentikan. Hasil evaluasi K-13 nanti tidak perlu
diharapkan akan diterapkan dalam format K-13 yang disempurnakan. Jadi, guru dan sekolah sebaiknya melakukan
reorientasi kurikulum dan memilih secara mandiri dan percara diri learning
outcomes sesuai kapasitasnya. Birokrasi di pemerintahan hendaknya tidak
memaksakan kehendak melalui proyek-proyek pelatihan. Capaian hasil belajar, manajemen sekolah,
atau prestasi lainnya tetap dipertahankan tetapi tidak harus dipaksanaan dengan
lebel tertentu. (Surakarta, 11 Desember 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar