SIMBOL
LITERAL DAN KONTEKSTUAL
Teguh
Budiharso
Universitas Mulawarman
Jl. Harmonika No. 2 Samarinda
Email: dr_tgh@yahoo.com
Abstract: In this article, the literal and contextual symbols of Aji Seduluran, a Javanese magical
formula were examined. Twelve versions of the ‘mantra’ -Hindu and Islamic- were
analyzed by using discourse analysis. The purpose was to understand the
meanings of the symbols, the relations among them, and interpret those symbols
according to the Javanese social and philosophical contexts. Based on their
scope the symbols may be grouped into: 1) language universal symbols and 2)
language culturally bound symbols. The results indicated that the symbols might
be classified into three categories: a) spiritual symbols; b) social and moral
symbols; 3) symbols of tradition. The symbols were also proven to be universal.
Keywords: Aji Seduluran, mantra, slametan, Javanese religion
Mantra
adalah kata-kata puitis atau bacaan yang digunakan untuk berdoa kepada Yang
Maha Kuasa atau untuk berkomunikasi dengan makhluk halus (Indrajati, 1979).
Sebagian orang percaya kalau kata-kata ini merupakan ilham (wangsit) dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Sebagai perangkat magis, mantra bisa berbentuk tradisi lisan
ataupun teks menurut bahasa di mana mantra itu berada. Sebagai bagian dari
mantra Jawa, kedudukan Aji Seduluran
sangatlah penting dalam ilmu putih (white
magic lawan ilmu hitam, black magic).
Kata “Aji” sendiri berarti “sesuatu yang sangat dihargai” sedangkan
“seduluran” berarti “persaudaraan, kekerabatan.” Secara harfiah Aji Seduluran berarti “menghargai dengan
sangat hubungan persaudaraan.” Dengan melestarikan persaudaraan dan
kekeluargaan keamanan dan harmoni sosial -sebagai ideal sosial masyarakat Jawa
-dapat dicapai.
Simbol dalam Aji Seduluran.
Simbol literal dan kontekstual pada mantra
Aji Seduluran bisa dipahami dalam pengertian abstrak maupun konkretnya
(Koentjaraningrat, 1984). Dalam pengertian abstrak, konsep Sedulur Papat Kalima Pancer (mengendalikan empat keinginan manusia)
merupakan ajaran dasar yang tersirat padanya (Haryanto, 1995). Dalam pengertian
konkret, mantra ini sering dibacakan dalam ritual-seremonial orang Jawa yang
disebut slametan (“slamet” artinya
“sejahtera, dalam kondisi yang baik”) (Pemberton, 1994:241). Slametan dilakukan terutama sebagai
suatu upacara religius yang berlandaskan keyakinan adat. Kebanyakan orang Jawa
tradisional percaya kalau di luar dunia yang kasat mata ini ada
kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi keamanan dan kesejahteraan mereka. Beberapa
hidangan penganan tentunya- selalu akan disajikan. Penganan ini mempunyai
fungsi adat dan religius tertentu. Beberapa jenis slametan disebut oleh Kodiran dalam Koentjaraningrat (1979:341)
semisal: merayakan masa tujuh bulan kehamilan (tingkeban), memperingati hari kelahiran, khitanan; memperingati
kematian; bersih desa, panen padi;
memenuhi nazar (kaul), merayakan
pernikahan, menghindarkan bencana (ngruwat),
dapat pekerjaan baru, pindah ke rumah baru,
tasyakuran) dan lain sebagainya.
Agama Jawa. Agama Jawa pertama
kali diidentifikasi oleh Geertz (1960) ketika membedakan dua varian Islam yang
terdapat pada masyarakat Jawa: “santri” dan “abangan”. “Santri” dalam bahasa
Jawa berarti “pelajar” (lihat juga Koentjaraningrat, 1984:208); atau sekelompok
muslim taat yang memperlihatkan kepatuhan terhadap aturan-aturan agama Islam;
sedangkan “abangan” adalah muslim yang tidak mempraktikkan ajaran Islam. “Santri” -kadang diistilahkan sebagai “putihan”- dipandang sebagai lawan
dari “abangan.” Beberapa pakar berpendapat bahwa bentuk Islam bagi orang Jawa,
yang disebut “Agami Jawi” atau Kejawen adalah
perpaduan yang kompleks antara Hinduisme, Budhisme, dan mistik Islam.
Islam
itulah akhirnya yang dikenal atau diklaim sebagai nama paham campuran tersebut.
Meski ada beberapa pengikut Kejawen itu
yang menjalankan beberapa aspek ajaran Islam, kebanyakan mereka tidak melakukan
shalat lima kali sehari, tidak berpuasa di bulan Ramadhan (bulan suci berpuasa
bagi kaum muslimin), tidak melakukan shalat Jum’at, dan tidak punya niat untuk
berhaji ke tanah suci Makkah. Salah satu aspek penting dalam upacara-upacara
ritual adat Jawa yang dijalankan oleh para pengikut paham Kejawen adalah slametan. Dalam hal ini, acara slametan yang berhubungan dengan Aji Seduluran adalah Slametass Ngampirne Neptu (slametan untuk
memperingati hari kelahiran) atau selapanan
(slametan yang dilaksanakan setiap 35 hari sekali).
METODE
Studi
ini adalah studi kualitatif. Pendekatan etnografis dipergunakan dalam
menghimpun dan menganalisis data. Data bersumber dari pengamatan dan wawancara
(baik wawancara bebas maupun wawancara open-ended)
dengan enam tokoh spiritual Jawa yang disebut pinisepuh. Pinisepuh
adalah dukun yang menguasai ritual-ritual dan mantra-mantra Jawa, dan dianggap
memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan. Para pinisepuh sumber data penelitian
ini tersebar di enam kota: Yogyakarta, Solo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar
dan Malang. Bahan-bahan tertulis (naskah Aji Seduluran) dikumpulkan dari primbon-primbon
semisal Kitab Primbon Adam Makna, Kitab
Primbon Bekti Jamal, Ajijapa Mantra, Yogabrata, Atassadur Adam Makna dan
lain-lain. Secara khusus, wawancara juga dilakukan dengan para pinisepuh untuk
mendapatkan data lisan.
Semua data yang terkumpul lantas dianalisis dengan mempergunakan
analisis wacana (Coulthard, 1993, Brown and Yule, 1983). Analisis itu dilakukan
melalui langkah-langkah berikut:
Pertama,
menuliskan mantra beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Kedua,
mengidentifikasi simbol-simbol literal dan kontekstual yang termuat pada
masing-masing mantra. Simbol literal terdiri dari “kata” dan “frase” yang
digunakan di dalam mantra, sedangkan simbol kontekstual diidentifikasi dengan
menafsir muatan teks secara keseluruhan. Ketiga, menganalisis simbol-simbol
itu. Keempat, menyadur simbol-simbol itu berdasarkan orientasi tradisi Jawa.
HASIL PENELITIAN
Identifikasi Mantra. Ada dua jenis mantra dalam penelitian ini: Hindu dan Islam. Kedua jenis
mantra ini dibedakan dengan melihat kata-kata yang digunakan di dalam bagian
pembukaan dan bagian penutup, juga dengan melihat nama-nama Tuhan atau dewa
yang disebut pada batang tubuh masing-masing mantra. Kalimat-kalimat pembuka
dan penutup dalam mantra versi Hindu biasa tidak menyebut idiom-idiom khusus.
Kata-kata Arab, adalah karakter yang paling mencolok pada mantra versi Islam,
sebagaimana dinyatakan Siwidana (1996). Koentjaraningrat (1984) membenarkan
bahwa Agama Jawa merupakan perpaduan yang kompleks dari budaya-budaya
tradisional (mistisisme, hinduisme, budhisme) serta islamisme yang lantas
disebut sebagai Islam itu sendiri. Perbedaan utama lain antara mantra Hindu dan
Islam adalah penyebutan kata “Allah.”
Mantra-mantra
versi Islam biasanya menyebut empat macam nafsu (jiwa) manusia yang dilambangkan
dengan empat arah mata angin dan warna-warnanya. Timur dilambangkan dengan
warna putih mewakili mutmainah (jiwa yang damai). Selatan dilambangkan
dengan warna merah untuk mewakili nafsu amarah.
Barat dilambangkan dengan warna kuning untuk mewakili shufiyah (sufisme, tasawuf). Sedangkan utara dilambangkan dengan
warna hitam untuk mewakili allawwamah (jiwa
yang penuh sesal). Mantra versi Islam memakai bahasa Arab dalam kalimat pembuka
dan bahasa Jawa dalam kalimat penutupnya. Istilah-istilah Arab menyangkut jiwa
manusia mutmainah, amarah, supiyah,
aluamah dan arah mata angin itu identik dengan Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, Nini Among dan Kaki Among. Pembaca mantra lantas akan menutup mantranya dengan
memohon izin dari Allah.
Terjemahan Mantra. Berikut adalah dua belas mantra Aji
Seduluran. Ada praktik asketik yang
baku (lakon) untuk membuat mantra ini
jadi mujarab. Sebelum mengkomat-kamitkan mantra, seseorang harus menjalankan
amalan puasa tertentu, yakni puasa mutih (puasa tujuh hari berturut) atau
ngelepas (tidak makan dan minum selama tiga hari tiga malam). Jika syarat ini
tidak bisa dipenuhi maka ia diharuskan berpuasa selama 24 jam pada salah satu
hari Jawa tepat mengenai hari kelahirannya. Sesajen yang disajikan sedikitnya
harus terdiri dari bunga tiga warna (mawar merah, melati, kenanga) dan segelas
air bening yang disimpan selama satu malam. Setelah menuliskan masing-masing
mantra, peneliti memberi sedikit catatan
menyangkut praktik-praktik asketik beserta fungsi spiritualnya.
Mantra: Versi Hindu
Identifikasi
berfokus terutama pada bagian pembukaan dan bagian penutupan mantra, pada
nama-nama Tuhan atau dewa-dewi, dan pada cara menyebut nama Tuhan.
Mantra 1
Marmarti
Kakang Kawah Adi Ari-Ari Getih puser,
kadangingsun
papat kalimo pancer
kadangingsun
kang katon lan kang ora katon
kadaningsun
kang kerawatan lan kang ora kerawatan
sarta
kadangingsun kang metu saka ing margaino
lan
kang ora metu saka ing margaino
miwah
kadangingsun kang metu bebarengan sadina kabeh
bapanta
ana ing ngarep, ibunta ana ing mburi
Ayo
podo anu….
Terjemahan
Marmarti
(saudara lelaki dan perempuan yang gaib), selaput kakakku, adikku tali ari-ari,
saudaraku di pusar, empat saudara dan satu saudaraku di tengah, saudaraku yang
gaib dan saudaraku yang tak terawat, saudaraku yang dilahirkan dari kemaluan
ibu dan saudara-saudaraku yang tidak dilahirkan dari kemaluan ibu,
saudara-saudaraku yang dilahirkan bersamaan pada hari yang sama, bapak asuhku
yang ada di depan, ibu asuhku yang ada di belakang, marilah kita...
Mantra
ini menyebut kata marmarti (saudara
gaib) sebagai kata pembuka ketika mulai membacakan mantra. Setelah penyebutan
kata marmarti, kemudian disebut semua
perlambang gaib (dunia halus): kakang
kawah, adi ari-ari, saudara yang terlihat yang tak terlihat (Sedulur Katon lan Ora Katon), saudara
yang lahir dari kemaluan ibu, bapa dan ibu. Semua yang disebut ini dipercaya
dapat membantu seseorang untuk berkonsentrasi sebelum ia melafalkan
permintaannya kepada Tuhan. Dikatakan bahwa mantra ini baru bisa memiliki
pengaruh spiritual ketika dibaca kapan saja ketika seorang mau makan, mandi,
hendak tidur, berangkat kerja dan lain-lain.
Mantra 2
Mar-marti,
Kakang Kawah, Adi Ari-Ari
getih,
otot, puserku
sing
metu soko margo ino lan sing ora metu soko margo ino
sing
metu bareng sedino
Nini
among, Kaki among sing ngemongi jiwo raganingsun
mban-mbanono
aku rinten klawan ndalu
tak
opahi kembang wangi.
Terjemahan
Marmarti
(saudara laki-laki dan perempuan gaib) kakang kawah, adi ariari, darah, otot,
pusarku,
mereka
yang dilahirkan dari kemaluan ibu dan mereka yang dilahirkan bukan dari
kemaluan ibu,
mereka
yang dilahirkan bersamaan pada hari yang sama,
Ibu
Asuh, bapak asuh yang merawat jiwa ragaku,
lindungi
aku sepanjang siang dan malam,
kuserahkan
padamu kembang wangi...
Ini sama dengan mantra (1). Simbol-simbol dan
kata-kata yang digunakan untuk menyebut nama-nama itu masih sama, tapi cara
untuk memanfaatkan mantra ini yang berbeda. Ia juga dibaca kapan saja sebagaimana halnya mantra (1), tapi untuk
membuatnya semakin ampuh dan mujarab, suatu praktik asketik (puasa) harus
dijalankan, yakni dengan melakukan puasa mutih selama 7 hari siang malam tanpa
berbuka dan bergadang selama satu malam.
Mantra 3
Ibu
bumi, Bapo Kuwasa Ibu wengi, Bapa rina
Kakangku
mbarep adiku wuragil
Dinten
pitu pekenan gangsal
kulo
nyuwun ngapura kula nyuwun....
Terjemahan
Ibuku, bumi, ayahku, langit, Ibuku, malam, ayahku siang,
Saudara
tertuaku, saudara termudaku tujuh hari dan lima hari
(Ya
Tuhan) ampuni aku,
ku
mohon agar Kau beri aku...
Adalah
mantra ini yang digunakan untuk meminta rezeki. Nama yang disebut pertama kali
adalah Ibu dan Bapa. Ibu dan Bapa (orang tua) adalah yang bertanggung jawab
dalam menyediakan sandang dan pangan bagi anak-anaknya. Lantas mantra itu
menyebut sinonim bapak dan ibu dengan istilah Ibu Wengi (Ibu Malam) dan Bapa
Rina (Bapa Siang). Dua kekuatan spiritual lainnya yang disebut adalah Kakang
Mbarep (saudara sulung) dan Adi
Wuragil (adik bungsu). Setelah itu, pada salah satu hari dari hari-hari
yang tujuh (masehi) dan lima hari Jawa, mulailah orang itu berdoa. Setelah
kemudian dia ungkapkan hajat kebutuhannya. Mantra ini dipercaya dapat memberi kekuatan
spiritual jika dibaca setiap tengah malam di halaman rumah. Berpuasa mutih tiga
atau tujuh hari juga dianjurkan.
Mantra 4
Bapa kuwasa, ibu pratiwi kulo nyuwun sih pitulungan
sedulurku kang tuwa, kang ana wetan putih rupane,
kedadeane getih putih
sedulurku karig ana kidul, abang rupane
kedadean getih ari-ari
sedulurku kang ana kulon, kuning rupane
kedadean getih kuning
sedulurku kang ana lor, ireng rupane
kedadean puser
aku njaluk derajat lan rejeki agung…
Terjemahan
Bapak langit, Ibu bumi, aku mohon pertolongan
dirimu,
saudaraku yang tua yang ada timur putih rupanya,
kejadiannya dari darah putih
Saudaraku
di Selatan, merah rupanya,
kejadiannya
dari pusar
tolong
beri aku kedudukan dan rezeki yang besar...
Selain
sandang dan pangan (rezeki), orang
Jawa juga mementingkan dan menghajatkan kedudukan yang terhormat. Mantra ini
dibaca misalnya, ketika mendapatkan promosi untuk jabatan yang lebih tinggi.
Keberuntungan atau kekuasaan yang besar juga adalah isi permintaan yang
dimohonkan kepada Tuhan. Selanjutnya mantra itu menyebut secara beraturan
saudara yang empat beserta warnanya dan empat arah mata angin. Setelah
berkonsentrasi diungkapkan apa yang menjadi hajat berupa jabatan yang tinggi
dan peruntungan yang besar. Mantra
ini harus dibaca setiap malam disertai puasa hingga permintaan itu dikabulkan.
Mantra 5
Om tirto dupa, ina yomo suwaha
Om Sri Guru papagam, ina yomo suwaha
Sedulurku papat, lima sejatiningsun
Kakang Kawah, Adi Ari-Ari
Kakangku Mbarep, Adiku wuragil
Dinten pitu pekenan gangsal
Lumunturipun danyang pekarangan ing ...
Sakulawarga ingsun kaliso rubeda
ayem tentrem salaminipun gesang
asal geni bali geni asal bumi bali bumi
asal banyu bali banyu asal angin bali angin
anthung, kayu, watu kutu-kutu, walang ataga
sumilak, sumingkir bali marang mula mulanira
...
Terjemahan
Ya Tuhan, inilah air suci persembahanku,
Wahai Dewa Sriguru, inilah dupa persembahanku,
empat saudaraku, yang kelima diriku sendiri,
Kakakku
Kawah, Adikku ari-ari,
saudara
sulungku saudara bungsuku.…
hari
yang tujuh dan hari yang lima
penjaga
tanah negeri desa.…
Beri keselamatan dan keamanan
untuk seluruh anggota keluargaku
dalam harmoni yang memenuhi seluruh hidup,
saripati cahaya jadilah cahaya,
saripati bumi jadilah bumi,
saripati air jadilah air, cacing, pohon, berbatuan, kutu, belalang.
Kembalilah ke asal...
Penggunaan
mantra ini terutama untuk memohon keamanan dan harmoni dan untuk menghindarkan
bencana dan celaka khususnya yang ditimbulkan dari ilmu hitam. Ia juga dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan “roh pengawal” atau
menyembuhkan penyakit akibat guna-guna (sihir). Mantra ini juga menyebutkan
bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan dari saripati cahaya, bumi, air,
dan udara. Roh-roh jahat ini harus dikembalikan ke alam mereka. Kata-kata
pembuka dalam mantra ini merupakan ungkapan pemberian persembahan (sesajen)
kepada Dewa dan Batara Guru.
Lalu
berturut-turut ia menyebutkan Sedulur
Papat Lima Pancer, Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, saudara sulung dan bungsu,
serta lima hari Jawa. Setelah menyebut roh-roh pengawal (penunggu) desa di mana
seseorang itu tinggal, pembaca mantra pun mengajukan permohonannya kepada
Tuhan. Daya spiritual mantra ini akan muncul apabila seseorang sudah berpuasa
selama 40 hari. Juga dipercaya bahwa setelah melafalkan mantra ini, kata-kata
orang yang membacanya akan sangat ampuh secara magis.
Mantra 6
Matek
ajiku sedulurku papat putih upane,
wetan
panggonane perak lungguhku, perak payungku
Betara
Kamajaya dewaku
Matek
ajiku sedulurku papat abang rupane,
kidul
panggonane
tembaga
lungguhku, tembaga payungku
Betara
Brama dewaku
Matek
ajiku sedulurku papat kuning rupane,
kulon
panggonane
wesi
kuning lungguhku,
wesi
kuning payungku
Bambang
Sakri dewaku
Matek
ajiku sedulurku papat ireng rupane,
lor panggonane
wesi lungguhku, wesi payungku
Wisnu
betaraku
Aku
njaluk …
Terjemahan
Berkat
aji mantraku saudaraku yang empat,
putih
rupanya di timur
perak
tempat dudukku, perak payungku
Betara
Kamajaya Dewaku
Berkat
aji mantraku saudaraku yang empat,
selatan
tembaga adalah tempat dudukku, tembaga payungku,
Betara
Brama dewaku,
berkat
aji mantraku saudaraku yang empat kuning rupanya,
di
barat emas adalah tempat dudukku, emas payungku
Bambang
Sakri dewaku
berkat
aji mantraku saudaraku yang empat hitam rupanya,
utara
besi tempat dudukku, besi payungku,
betara
Wisnu dewaku,
[wahai
dewata] berilah aku...
Tujuan
utama mantra ini ialah agar bisa kebal dari racun, senjata tajam, dan
lain-lain. Cara untuk mengutarakan kepercayaan seseorang ialah dengan
melafalkan karakter logam: perak, tembaga, emas, besi dan juga dewa-dewa pada
empat arah mata angin: Kamajaya, Brama, Bambang Sakri dan Wisnu. Pertama-tama,
mantra itu menyebut warna putih dari empat saudara di Timur, diikuti suatu
imaji (citraan) yang berpaut dengan kesaktian perak dan Dewa Kamajaya. Selanjutnya
mantra menyebut warna merah dari empat saudara di selatan yang dikaitkan dengan
kesaktian tembaga dan dewa Brama. Empat saudara di barat yang dikaitkan dengan
kesaktian emas dan dewa Bambang Sakri, serta empat saudara di utara yang
dikaitkan dengan kesaktian besi dan dewa Wisnu. Agar berhasil seseorang yang
hendak menguasai mantra ini harus melakoni puasa mutih setiap hari Senin dan
Kamis masing-masing sebanyak 40 kali.
Mantra: Versi Islam
Penggunaan
istilah “versi” terutama bertujuan untuk menunjukkan adanya “pengaruh.” Dapat
dikatakan bahwa beberapa kosakata Jawa telah berubah menjadi kosakata yang
terdengar seperti kosakata Arab. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan
Indrajati (1979) proses transformasi mantra-mantra Jawa ke dalam bahasa Arab
(atau kearaban) tidaklah berhasil sepenuhnya.
Mantra 7
Sedulurku
kan ana wetan putih rupane,
kawahiyah
arane bukaken gedong wetan,
jupukno
sandanganku kabeh
sedulurku
kang ana kidul abang rupane,
tihiyah
arena bukaken gedong kidul,
jupuken
panganku kabeh
sedulurku
kang ana kulon kuning rupane,
sarahiyah
arane siro dak kongkon bukaken degong kulon,
jupuken
kamuktenku gawanen mrene
sedulurku
kang ana lor ireng upane, hariyah arane
sira
tak kongkon bukaken gedong lor
jupukno
mas picis rojo brono inten barleyan
podo
gawanen mrene kabeh, saiki…
Terjemahan
Saudaraku
di timur putih rupanya, kawahiyah namanya bukalah dunia Timur, beri segala
sandangku, saudaraku di selatan, merah rupanya, tihiyah namanya bukalah dunia
selatan, beri aku segala pangan, saudaraku di barat kuning rupanya, sarahiyah
namanya kau ada di bawah kuasaku bukalah dunia barat beii aku kekuatan bawa
padaku ke sini saudaraku di utara ' merah warnanya, hariyah namanya kau di
bawah kendaliku, bukalah dunia utara bawalah emas dan berlian bawa padaku
semua, sekarang.....
Mantra
ini ditujukan untuk mendapatkan rezeki yang cukup (sandang, pangan, kekuatan,
dan harta), harmoni, dan keamanan. Isi mantra ini utamanya ialah mengendalikan
saudara yang empat di semua arah mata angina, sehingga mereka dapat memberi
bantuan dalam hal rezeki. Sama dengan mantra (6), langkah pertama untuk memakai
mantra ini ialah dengan menyebutkan saudara putih di timur untuk meminta
sandang. Lalu menyebut selatan untuk meminta makanan, ke barat untuk meminta
kekuatan dan kekuasaan, ke utara untuk meminta emas berlian. Dipercaya bahwa
setiap penjuru mata angin memiliki dunia spiritualnya sendiri-sendiri
misalnya, dunia timur, dunia selatan, dunia barat, dan dunia utara. Agar
berhasil seseorang harus berpuasa mutih selama tujuh hari, atau 40 hari pada
setiap hari Jawa kelahirannya (neptu kelahiran).
Mantra
8
Bapa, Adam, Ibu Kawa
Kula nyuwun sandang,
nyuwun tedha sarinane, sawengine,
salawase gesang, sajeg kula
gesang
saking
kersaning Allah
ya
hu Allah 3x.
Terjemahan
Bapak Adam, Ibu Hawa, aku minta sandang, minta pangan seharian,
semalaman, selamanya sepanjang hidup saja kapan saja dengan izin kehendak
Allah, ya hu Allah, ya hu Allah...
Jika
dibandingkan dengan mantra (6) dan (7) mantra yang satu ini lebih singkat dan
sederhana. Secara langsung, mantra ini menyebut Adam, bapak, dan Hawa, ibu.
Lantas ia menyebutkan apa yang diminta seseorang” pakaian dan makanan, untuk
satu hari, satu malam dan sepanjang hidup. Kata-kata “dengan izin kehendak
Allah dan ya hu Allah” menunjukkan bahwa mantra ini dipengaruhi tata cara
berdoa ala Islam. Mantra ini dipercaya umumnya oleh orang awam, yakni bahwa
mereka bukan pinisepuh dan orientasi doa mereka umumnya berdasarkan Islam
santri. Cara berpuasa untuk membuat mantra ini jadi berfungsi ialah dengan
berpuasa setiap Senin dan Kamis masing-masing tujuh kali).
Mantra 9
Kakang
kawah kang rumeksa awak mami tekakna sedyaku
Adi
ari-ari kang mayungi ngenakake pengarah
ponang
getih ing rahina wengi rewangana aku
Allah
kang kuwasa, keparengna penyuwun kula
puser
turutana panjalukku
sedulurku
papat kalima pancer kang lair bareng sedina
sing
metu margo ina, sing ora metu marga ina
sing
kerawatan kumpul ingsun ora pisah.
Terjemahan
Saudara
tuaku yang melindungi hidupku penuhi doaku adi ari-ari yang memenuhi maksud
(jiwa dalam) darah di siang dan malam hari Bantu aku Allah Yang Kuasa kabulkan
doaku, pusar mohon penuhi harapanku, saudaraku yang empat dan lima yang tengah
mereka yang lahir berbarengan dalam satu hari mereka yang lahir melalui vagina
dan mereka yang terlahir tidak melalui vagina mereka yang terawat kalian tak
terpisah dariku...
Mantra
ini menyebutkan Sedulur Papat yang
tidak terpisahkan dengan Lima Pancer
dan tubuh manusia. Sebagai kesatuan, Sedulur
Papat dapat memberikan dan membantu mengabulkan harapan apa saja.
Sebagaimana dinyatakan pada mantra lainnya, ia menyebutkan Kakang Kawah, Adi Ar-Ari, saudara yang lahir dari vagina maupun
yang bukan dari vagina diikuti dengan posisi mereka di darah dan pusar.
Menyadari situasi, maka seseorang itu mengungkapkan doanya kepada Allah. Agar
sukses, ia bisa menjalankan puasa mutih tujuh hari atau puasa Senin Kamis
selama empat puluh hari (berpuasa setiap Senin dan Kamis dalam jangka waktu 40
hari)
Mantra 10
Bismillah
hirohmanirahim
Sedulurku kang
ana wetan putih rupane, mutmainah
sedulurku kang
putih rupane, mutmainah
sedulurku kang
ana kidul abang rupane, amarah
sedulurku kang
ana kulon kuning rupane, supiyah
sedulurku kang
ana lor ireng upane, aluamah
Siro cedako
lan ngatono
aku njaluk
tulung…
saking kersane
Allah.
Terjemahan
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saudaraku yang ada
di timur putih rupanya, mutmainah saudaraku yang ada di selatan merah warnanya,
amarah saudaraku yang ada di barat kuning rupanya, sufiah saudaraku yang ada di
utara hitam warnanya, allawamah Mendekat dan menampaklah ku mohon bantuanmu
dengan seizin Allah...
Mantra
ini menekankan kendali yang kuat terhadap empat keinginan manusia dengan menyebutkan
warna saudara-saudara putih berturut-turut berkonsentrasi ke merah, kuning, dan
hitam. Mantra versi Islam menekankan apa yang ada di balik warna saudara-saudara
sebagai posisi keinginan manusia. Oleh karena itu, ketika mantra mengatakan
warna putih, ia langsung diikuti dengan mutmainah, dan berturut-turut merah
dengan amarah, kuning dengan sufiah, dan hitam dengan aluamah. Dengan seizin
Allah, dan setelah mengendalikan keinginan-keinginan itu, mantra mengungkapkan
kepada Allah apa yang dimintakan. Dipercaya bahwa mantra itu akan efektif jika
dibaca setiap tengah malam diikuti dengan tidur di bawah atap serambi rumah (tritis).
Mantra 11
Bismillahirahmanirahim
Allahu khak 800x
Allahu sirullah 500x
Allahu datullah 900x
Allahu sifatullah 700x
Allahu wujudullah 400x
Terjemahan
Bismillahirahmanirahim
Allah
Haq 800x
Allah
Rahasia Allah 500x
Allah
Zat Allah 900x
Allah
Sifat Allah 700x
Allah
Wujud Allah 400x
Mantra
ini dibaca ketika seseorang menghadapi masalah penting dan serius, misalnya
mendapat pekerjaan baru, atau naik pangkat, atau ketika menghadapi masalah yang
pelik dan berat. Teknik-teknik berpuasa yang digunakan di sini merupakan
kombinasi dari beberapa sistem tatacara puasa. Mantra dibaca satu kalimat per
hari berdasarkan lima hari Jawa selama selapan
dina (35 hari non-stop)
sesudah atau tepat tengah malam. Ketika tiba hari Kliwon baca Allahu Khak
(Allahu Haq) karena Kliwon punya nilai angka sebesar 8 dalam perhitungan orang
Jawa. Kepala kita mendongak ke atas 400 kali dan menunduk ke bawah 400 kali.
Hari berikutnya, Legi, kalimat kedua dibaca lima ratus kali, karena Legi punya
nilai 5 kepala menghadap ke timur. Hari-hari lain Pahing, Pon, Wage dibaca
menurut nilai-nilai matematika hari-hari ini serta arah mata anginnya. Agar
lebih meyakinkan, disarankan berpuasa biasa (yakni sekitar 12 jam seperti dalam
puasa Ramadhan), tidur di bawah atap di luar rumah, tidak berhubungan badan dan
lebih sering bergadang malam. Jika hal ini betul-betul diamalkan Allah akan
mengabulkan doanya dalam jangka waktu 35 hari.
Mantra 12
Bismillahirahmanirrahim
Niat ingsun adus, ngedusi sedulurku papat
lima pancer suksma, nem panutan,
serut perkutut, gagak siwalan
keturunan cahyaku, cahya nurbuwat.
Terjemahan
Bismillahirahmirrahim
Niatku mandi, memandikan empat saudaraku lima yang tengah, enam panutan,
burung perkutut dan gagak siwalan keturunan cahyaku, cahaya nubuat.
Mantra
ini adalah doa yang dibaca ketika mau mandi setiap hari yang disebut Penganoman (mandi supaya awet muda).
Tidak ada tata cara puasa tertentu yang disyaratkan sebelum membaca mantra ini.
Gagasan tentang agar tetap awet muda berkaitan dengan penyebutan cahaya nubuat
(cahaya kenabian Rasul Muhammad). Perlambangan perkutut dan siwalan
adalah untuk merepresentasikan kekuatan cahaya itu. Mantra itu harus dibaca
sebelum seseorang menyiramkan air ke tubuhnya.
BAHASAN
Semua
mantra memiliki sistem kepercayaan tradisional yang serupa, meski beberapa kata
yang digunakan untuk mengungkapkan simbol dalam masing-masing mantra itu
terkadang berbeda. Dalam perspektif agama, Aji
Seduluran menyiratkan adanya hubungan religius antara Tuhan dan makhluk
manusia. Sebagaimana tersurat dalam kata-kata: “Om Tirta Dupa, Allah Kang
Kuasa, Ya Hu Allah,” dan tersirat dengan katakata: “Ibu Bumi, Bapa Kuasa, Ibu
Wengi, Bapa Rina, dan lain-lain.” Sebagai sebuah ajaran moral Aji Seduluran
menyatakan bahwa orang memiliki empat jiwa (nafsu) mutmainah, amarah, sufiah, dan aluamah
yang mempengaruhi seseorang sehingga dia bisa bertindak baik atau buruk.
Keamanan dan harmoni sosial akan tercipta dengan menguasai empat jiwa (nafsu)
itu dan dengan memelihara komunikasi yang baik dengan Tuhan. Ia juga menyiratkan bahwa sangatlah penting bagi orang Jawa untuk menjaga
keseimbangan antara dimensi jasmani dan rohani dalam kehidupan mereka.
Dalam
sistem kepercayaan kekuatan spiritual sangatlah diakui keberadaannya. Kekuatan
itu yang berada di bawah kendali seseorang dalam aktivitas sehari-harinya dilambangkan
dengan Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, Nini Among dan Kaki Among. Dalam orientasi
sosial mereka merefleksikan asosiasi pasangan antara kealamiahan di dunia: dua,
empat, pria-wanita, baik-buruk, siang-malam, dan seterusnya.
Simbol
Spiritual. Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan alam
spiritual diklasifikasikan ke dalam simbol bahasa universal antara lain Bapanta-Ibunta;
Nini Among-Kaki Among; Ibu Bumi Bapa Kuwasa; Ibu Wengi-Bapa Rina; Bapa
Kuwasa-Ibu Pratiwi; Bapa Adam Ibu Kawa. Simbol-simbol bahasa yang terikat
budaya antara lain: Mar-marti; Kakang Kawah-Adi Ari-Ari; Kakang Mbarep-Adi
Wuragil; Kadangingsun Papat-Kalima Pancer; Sedulur Sing Metu Marga Ina-Sing Ora
Metu Margo Ina; Betara Kamajaya, Betara Brama, Betara Bambang Sakri, Betara
Wisnu. Yang paling menonjol dalam simbol-simbol bahasa universal adalah ayah
dan ibu. Cirlot (1962:97) menyatakan bahwa citraan ayah sangat erat terkait
dengan simbolisme prinsip maskulinitas yang bersesuaian dengan alam sadar
(kesadaran) sebagai lawan implikasi maternal yang tidak-sadar. Representasi
simbolik ayah itu didasarkan pada unsur-unsur udara dan api, surga, cahaya,
guntur, dan senjata. Sebagaimana kepahlawanan itu merupakan aktivitas spiritual
yang sesuai untuk anak, demikian pula dominasi (kekuasaan) itu merupakan kuasa
ayah. Dalam sistem kosmologi, ayah diasosiasikan dengan langit, api, dan hari.
Dalam agama Islam dan Kristen, ayah disebut Adam. Orang Jawa menyebut Bapa
Kuwasa (ayah yang berkuasa), Bapak Angkasa (ayah, langit), Bapa Adam, dan Kaki
Among. Masing-masing menunjukkan karakter kekuatan. Kata "ayah" tidak
diragukan lagi merupakan konsep yang universal.
Sebaliknya,
sebagaimana dinyatakan Cirlot (hal. 207) simbol ibu dikarakterkan dengan
ambivalensi yang menarik: ibu terkadang tampil sebagai citra alam, dan
sebaliknya. Ibu yang jahat merupakan simbol seorang figur yang menandai
kematian. Untuk analisis ini, doktrin pertapaan menyatakan bahwa “kembali ke
ibu” sama artinya dengan “mati.” Ibu merupakan simbol alam tak sadar kolektif,
sisi yang terabaikan dan sisi gelap eksistensi sumber Air Kehidupan.
Di
dalam Islam ibu disebut sebagai Hawa, dan Kristen menyebutnya Eva. Cirlot (hal.
94) menyebutkan bahwa dari sudut pandang spiritual, Eva merupakan kebalikan
dari Perawan Maria, atau induk jiwa. Orang Jawa mempergunakan beberapa sinonim
untuk kata ini: Nini Among, Ibu Hawa, Ibu Bumi, Pratiwi, Ibu Wengi, Ibu Toya.
Sebagai konsekuensinya, kata “ibu” merupakan bagian dari simbol-simbol bahasa
universal.
Makna
yang diinginkan dari simbol bahasa terikat budaya yaitu Sedulur Papat Lima
Pancer merupakan prinsip asosiasi sistem pemikiran pra-logika Jawa.
F.D.E. van Ossen Bruggen dalam Koentjaraningrat
(1984:412) menjabarkan asosiasi pra-logika menjadi lima aspek, yang ditentukan
dengan empat arah mata angin dan pusatnya. Empat angka yang sama dinyatakan
juga oleh Cirlot (hal. 222) sebagai simbolisasi bumi, ruang bumi tanah, dan
situasi manusiawi yang eksternal, batasan-batasan alam dari kesadaran yang
sempit hingga akhirnya pengaturan rasional. Ia disarankan dengan segi empat dan
kubus, dan tanda silang merepresentasikan empat musim dan empat arah mata angin. Ia merupakan jumlah yang terkait dengan unsur-unsur.
Masih
berhubungan dengan sistem ini, orang Jawa yakin bahwa di dalam setiap tubuh
manusia, ada empat kuasa spiritual dan satu pusatnya. Empat kuasa (kekuatan)
itu adalah Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, Kaki Among, Nini Among dan orang itu
sendiri yang masing-masing merepresentasikan selaput janin, plasenta, langit,
bumi, dan tubuh manusia.
Empat
saudara yang dimaksud berkaitan dengan lingkungan dan pengalaman Jawa. Oleh
karena itu, maknanya sangat terikat budaya, dan ia dipahami hanya oleh orang
Jawa. Kakang Kawah sejak ia dilahirkan sebelum sang bayi disebut Kakang Mbarep,
dan plasenta, yang keluar setelah bayi itu lahir disebut Adi Wuragil.
Istilah-istilah lain yang digunakan untuk memperlihatkan kuasa spiritual adalah
Sedulur Kang Metu Margo Ina (saudara yang terlahir dari kemaluan ibu atau
vagina), dan Sedulur Kang Ora Metu Margo Ina (saudara yang terlahir bukan dari kemaluan
ibu atau vagina). Ini mengkonotasikan urusan pribadi ayah dan ibu ketika mereka
melakukan hubungan seksual.
Simbol-simbol Sosial dan
Moral. Simbol-simbol bahasa universal: Sedulur
Wetan-Kidul-Kulon-Lor Tengah; Sedulur Putih-Kuning-Abang Ireng-Manca Warna:
Perak-Tembaga Emas-Besi. Simbol-simbol yang terikat budaya;
pakaian-makanan-kekuatan emas dan berlian, Mutmainah-Amarah
Sufiah-Aluamah-Ingsun; lima hari kalender Jawa: Legi-Pahing-Pon-Wage-Kliwon;
Kawahiyah-Tihiyah-Sarahiyah-Hariyah-Ingsun; Khak-Sir-Dat-Sifat Wujud.
Dalam
perspektif sosial dan moral, konsep Sedulur Papat Lima Pancer dilambangkan
dengan arah mata angin, warna dan logam. Tiga konsep ini juga dapat ditemukan
dalam hampir semua kebudayaan di dunia, sehingga konsep-konsep ini bersifat
universal.
Orang
Jawa percaya bahwa Timur merupakan permulaan aktivitas dunia. Cahaya itu putih
warnanya sehingga ia dijadikan oleh orang Jawa identik dengan Timur, Timur itu
putih dan putih itu laksana perak. Selanjutnya adalah Selatan ketika posisi matahari
lebih tinggi dan tinggi. Warna merah identik dengan tembaga. Kini ketika
matahari terbenam di barat Kuning warnanya dan kuning itu identik dengan emas.
Mata angin terakhir diwakili warna hitam yang identik dengan malam. Warna hitam
adalah warna besi. Cirlot menyatakan bahwa arah mata angin, warna, dan logam
adalah simbolisme yang kerap dipakai pada banyak kebudayaan dunia. Jadi
simbol-simbol semacam ini dalam Aji Seduluran adalah universal sifatnya.
Empat
arah mata angin yang dikaitkan dengan empat macam jiwa (nafsu) manusia,
masing-masing dengan warnanya sendiri. Putih adalah representasi Timur, hasrat
mutmainah atau kawahiyah; merah merupakan representasi Selatan, amarah atau
tihiyah, kuning identik dengan barat, sufiah atau sarahiyah, dan hitam identik
dengan utara, aluamah atau hariyah.
Dihubungkan
dengan lima hari dalam kalender Jawa masing-masing warna direpresentasikan
dengan Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Lima hari Jawa dihitung menurut cahaya
matahari dan asalnya dinyatakan sebagai petakan (Legi, putih, timur), arbitral
(Pahing, merah, selatan), jenean (Pon, kuning, barat) dan cemengan (wage,
hitam, utara). Dalam versi Islam, hari-hari Jawa dan arah mata angin
diasosiasikan dengan sifat Allah.
Selanjutnya, Legi itu sir, Pahing adalah dat (zat), Pon itu sifat, wage
adalah wujud. Satu representasi lagi ialah Kliwon
(mancawarnan, multi-warna) dan khak. Kedua kata itu digunakan untuk
merepresentasikan ingsun atau Lima Pancer sentral di mana Tuhan bersemayam.
Gagasan tentang empat arah mata angin dan dengan satu titik pusatnya dapat
dihubungkan dengan ayat Al-Qur’an: “wa’lamu
anna Allahu yahulu baina al mar wa qalbihi,” yang artinya: “ketahuilah bahwa Allah berada di antara
manusia dengan hatinya.” Ingsun sebagai representasi dari angka satu itu
dinyatakan oleh Cirlot (ha1. 221) sebagai satu simbolisme keberadaan dan wahyu
kepada manusia. Ia merupakan prinsip aktif yang bisa dibagi menjadi beberapa
fragmen, ia makin bertambah banyak dan disamakan dengan pusat mistik, Titik
Sumber Cahaya dan Kekuatan Maha Kuasa. Satu juga disamakan dengan cahaya.
Lebih
khusus lagi, dalam kehidupan sosial, arah mata angin itu diidentikkan dengan
dunia nyata, dunia yang memenuhi kebutuhan manusia. Dunia timur diidentikkan
dengan tempat pakaian diperoleh, selatan adalah tempat sandang itu diambil,
selatan adalah tempat makanan diperoleh, barat adalah tempat kekuasaan diambil;
dan utara adalah tempat untuk mendapatkan emas, berlian, dan kemakmuran.
Makna orientasi
itu juga disebutkan oleh Cirlot (hal. 233). Ia menyatakan bahwa arah oriental
(timur) karena ia merupakan arah matahari terbit, melambangkan penerangan dan
sumber kehidupan, untuk berpaling ke timur berarti kembali ke ruh titik cahaya
spiritual yang penting ini. Namun demikian, tidak semua orientasi mistik
menjadikan arah timur sebagai titik rujukan mereka. Titik alternatif lainnya
ialah geografi langit, simbol lubang dalam ruang-waktu dan dari penggerak yang
tak bergerak, itulah Bintang Utara. Bintang Etruscan terletak di atas dewa-dewi
di utara, dan karenanya para tukang ramal ketika hendak bicara akan beralih
menghadap ke selatan -yaitu mereka menghadap ke posisi yang membuat mereka sama
secara ideologis dengan para dewa. Menghadap ke arah utara berarti mengajukan
pertanyaan. Berpaling ke arah barat berarti bersiap mati, karena adalah
kedalaman air di barat yang membuat matahari mengakhiri perjalanannya.
Simbol-Simbol Tradisi. Simbol-simbol yang
berkaitan dengan tradisi Jawa adalah simbol-simbol yang digunakan dalam
slametan khususnya slametan ngampirne
neptu (slametan memperingati hari ulang tahun), meskipun kebanyakan
slametan mempergunakan simbol-simbol yang sama. Simbol-simbol bahasa universal
adalah bunga tiga warna atau lima warna. Simbol-simbol bahasa universal
terdiri dari bunga tiga atau lima warna. Simbol-simbol yang terikat budaya
terdiri dari bubur merah, bubur putih, minyak wangi, tumpeng, sego golong (nasi berbentuk kotak di daun pisang),
kemenyan dan dupa.
Universalitas
pemakaian bunga dan air dalam tradisi dapat dijelaskan sebagai berikut.
Jenis-jenis bunga dengan tiga atau lima warna yaitu: mawar merah atau putih,
melati, kenanga, pandan, magnolia. Cirlot (ha1.263) mengatakan sebatang mawar
pada hakikatnya merupakan simbol kesempurnaan, pencapaian yang sempurna dan
perfeksi.
Gagasan-gagasan
ini diidentikkan dengan kualitas-kualitas ini: pusat mistik, hati, taman eros,
Surga Dante, the beloved, simbol Venus. Makna bunga secara umum ditandai dengan
sari dan bentuknya. Cirlot (hal. 104) menyebutkan orang keenam dari “Delapan
Yang Tak Terkalahkan” di Cina, Lan Ts’ai-ho, secara umum digambarkan berpakaian
warna biru dan membawa sekeranjang bunga, dikatakan bahwa ia diharuskan
menyanyikan pendeknya umur dunia dan fananya kenikmatan. Orang Yunani dan
Romawi, pada semua festival dan perayaan mereka, selalu mengenakan mahkota
bunga. Dan mereka akan menaburkan bunga di atas jenazah ketika mereka mengubur
jenazah itu dan juga di atas kuburannya sesudah itu. Arti bebungaan itu ialah
menurut warna masing-masing bunga.
Sehingga,
sebagai misal, bunga-bunga berwarna oranye atau kuning mewakili suatu
simbolisme mentari; bunga berwarna merah merepresentasikan hubungan dengan
kehidupan hewan, darah, dan gairah. Bunga berwarna biru merupakan simbol
legenda ketidakmustahilan dan mungkin merupakan suatu kiasan terhadap pusat
mistik sebagaimana direpresentasikan oleh sesajian dan simbol semacam itu.
Tentang angka tiga dan lima pernah disinggung Cirlot (hal. 222). Tiga
melambangkan sintesis spiritual, dan merupakan formula penciptaan masing-masing
dunia. Ia menunjukkan jalan
keluar konflik akibat dualisme. Ia mengambil bentuk sebagai setengah lingkaran yang terdiri dari kelahiran,
titik zenith dan nadir. Ia diidentikkan dengan konsep surga dan trinitas.
Angka
lima merupakan perlambangan manusia, kesehatan, dan cinta dan inti tindakan
terhadap materi. Ia terdiri dari empat cabang tubuh ditambah kepala sebagai
bagian yang mengontrol anggota tubuh itu, dan demikian juga empat jari dengan
ibu jari dan empat poin angka utama bersama dengan pusatnya. Hieros gamos ditandakan dengan angka
lima, karena ia merepresentasikan persatuan prinsip surga (tiga) dengan Magna Mater (dua). Simbol-simbol yang
terikat budaya bubur merah dan bubur putih merepresentasikan watak kehidupan
spiritual dari satu pasangan. Bubur merah diidentikkan dengan darah ibu atau
air susunya. Itulah unsur kehidupan. Bubur putih diidentikkan dengan sperma
ayah. Interaksi pria dan wanita mengandung dan melahirkan. Itulah konsep Sangkan
Paraning Dumadi di mana orang Jawa sangat menghormati kedua orang tua.
Simbol-simbol lainnya, yakni minyak wangi dan dupa atau kemenyan sama saja esensinya. Kedua
simbol beraroma wangi dan diidentikkan dengan aroma jiwa atau surga.
Harum-haruman merepresentasikan kebersihan dan kesucian. Pada praktiknya,
kondisi sakral itu dihadirkan lewat bebauan sehingga orang yang turut andil
dalam suatu acara slametan menjadi
segan dan hormat. Disajikan pula sego
tumpeng dan sego golong. Dalam
analogi asosiasi sego tumpeng itu
mirip bentuknya dengan gunung dan sego
golong itu mirip bentuknya dengan lembah. Kedua simbol merepresentasikan
kuatnya motivasi seseorang. Ia juga diidentikkan dengan kemakmuran, rezeki, dan
harta.
SIMPULAN
Secara
literal, Tuhan Yang Maha Kuasa dilambangkan sebagai “ingsun, pancer” (Aku,
sentral) dan Allah. Secara kontekstual, ada nama-nama dikotomis untuk
merepresentasikan kemahakuasaan Allah yang dinyatakan sebagai pasangan.
Simbol-simbol semacam itu ialah Bapa Adam-Ibu Kawa, Bapa Rina-Ibu Wengi, Bapa
Kuwasa-Ibu Bumi, Bapa Angkasa-Ibu Pratiwi. Simbol dewa-dewa antara lain Betara
Kamajaya, Betara Brahma, dan Betara Bambang Sakri dan juga Betara Wisnu.
Simbol-simbol
hawa nafsu manusia dinyatakan sebagai: Kakang
Kawah-Adi Ari-Ari, Nini Among-Kaki Among, mar and marti, Kakang Mbarep-Adi Wuragil, sedulur metu marga ino-sedulur ora
metu marga ino (saudara yang lahir dari kemaluan ibu dan saudara yang
terlahir bukan dari kemaluan ibu, bayangan),
mutmainah-amarah-sufiah-aluamah-ingsun, dan sir-dat-sifat-wujud-khak.
Dalam
kaitannya dengan nilai-nilai sosial dan moral, simbol-simbol itu diungkapkan
dalam istilah-istilah: (1) arah mata angin: timur, selatan, barat, utara dan
pusat; (2) warna-warni: putih, merah, kuning, hitam, multi-warna; (3) hari
Jawa: pahing, pon, wage, kliwon; (4) sandang, pangan, kamukten, mas picis raja brana (sandang, pakan,
kekuasaan, emas dan berlian); (5) unsur-unsur semisal cahaya, bumi, air, udara;
(6) jenis logam: perak, tembaga, emas, dan besi. Simbolisme itu
dimanifestasikan dalam sesajian semisal bunga tiga atau lima warna (mawar
merah, melati, kenangan, pandan, magnolia); dupa dan kemenyan, bubur merah
putih, sego golong dan tumpeng, jajan pasar. Diterapkan dalam
kehidupan sosial sehari-hari, peran ajaran moral Aji Seduluran ditemukan dalam
usaha untuk mencapai keamanan dan harmoni; tradisi mengadakan slametan dan
“perhitungan hari baik” (untuk mencari hari baik) ketika orang mau mengadakan
akad nikah, dapat kerja, pindah rumah, dan lain-lain. Karena itulah maka peran
pinisepuh (dukun) di kalangan masyarakat Jawa menjadi sangat penting.
Dapat
disimpulkan bahwa simbol-simbol dalam mantra Jawa Aji Seduluran juga dapat
ditemukan dalam kebudayaan dunia lainnya. Karena itu simbol-simbol ini juga
universal. Simbol literal dan kontekstual yang terdapat pada Aji Seduluran
dapat diklasifikasikan menjadi (1) simbol spiritual, (2) simbol sosial dan
moral dan (3) simbol tradisi.
DAFTAR PUSTAKA
Achen, Sven Tito. 1978. Symbols Around Us. New York: Reinhold Company.
Any, Anjar. 1986. Menyingkap
Serat Wedotomo. Semarang: Aneka Ilmu.
Arifin, Imron. 1993. Dabus
Ilmu Kekebalan dan Kesaktian dalam Tarekat Rifa’iyyah. Malang: Kalimasahada
Press.
Brown, Gillian and George Yule. 1983. Discourse Analysis. New York: Cambridge
University Press.
Cirlot, J.E. 1962. A
Dictionary of Symbols. New York: Philosophical Library.
Coulthard, Malcolm. 1993. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman. Haryanto S.
1995. Bayang-Bayang Adiluhung.
Semarang: Dahara Prize.
Kitab
Primbon Atassadur Adammakna. 1990. Yogyakarta:
Soemodidjojo Mahadewa.
Kitab
Primbon Betaljemur Adammakna. 1994. Yogyakarta:
Soemodidjojo Mahadewa.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Pemberton, John. 1994. On the Subject of Java.
Itacha and London: Cornel University Press.
Primbon Jawa Bekti Jamal. (n.d.). Solo: Sadubudi.
Primbon Aji
Mantrawara, Yogabrata, Rajah Yogamantra. 1980. Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa.
Ranggawarsita, R. Ng. 1994. Serat Pustakaraja Purwa: Vol I, II, III. Translated by Kamajaya.
Surakarta: Yayasan Mangadeg.
Sang Indrajati. 1979. Kitab
Wedha Mantra. Solo: Sadu Budi.
Siwidana. 1996. Japa
Mantra Manut Agama Islam. Jaya Baya: No. 39, 26
May, 1996, p.46-47.
Stubbs, Michael. 1985. Discourse Analysis. Oxford: Basic Blackwell.
Sujamto. 1993. Sadba Pandita Ratu.
Semarang: Dahara Prize.
Sujamto. 1992. Reorientasi
dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang:
Dahara Prize.
Wahab, Abdul. 1986. Javanese Metaphors in Discourse Analysis. Ph.D’s Dissertation.
Urbana Illinois.
Widodo, Wisnu Sri. 1995. Mungkaring Nafsu. Panyebar Semangat. No.
11, March, 1995, p. 23-25.
Memiliki kemampuan menurunkan keilmuan Portal Energy, Master Portal Energy,Mediumisasi, mampu berkomunikasi dengan pendamping gaib diri dan Mampu Memanggil Sedulur Papat Kelima Pancer
BalasHapushttp://pelatihanintienergi.com/grand-master-portal-energy.php
Telepon : 0812 8202 7639 / 085 777 269 266
sedulurku seng tuo seng ono ngarep seng ragil seng ono mburi sekabehing nabi podo ngayuti walituo seng njogo kulo sak lebete ing alam ndunyo mugomugo penjaluk kulo piturutono.
BalasHapus