ASPEK LOGIS PENGHENTIAN KURIKULUM
2013
Teguh Budiharso
Penghentian Kurikulum 2013 (K-13) oleh Mendikbud
Anies Baswedan terus menjadi kontroversi.
Mantan Mendikbud, bejabat birokrasi Diknas, praktisi, Kepala Sekolah,
guru, dan lapisan masyarakat ambil bagian.
Simpulan kontroversi itu, bisa diringkas dalam dua pandangan.
Pertama, K-13 tidak seharusnya dihentikan. Banyak kerugian yang
diderita masyarakat dan sekolah. Alasannya,
K-13 sudah terbangun melalui sistem, sekolah sudah mulai move on dan anggaran menghabiskan dana besar. Pandangan ini
didukung oleh sekolah-sekolah yang memperoleh akses luas. Sekolah ini umumnya sudah
mapan, berada di pusat kota dan mendapat akses luas secara material, sarana dan
prasarana untuk mengimplementasikan K-13.
Kedua, K-13 layak
dihentikan. Pandangan ini diwakili sekolah
dengan sumber daya yang relatif
terbatas, akses kurang, sarana, dan prasarana terbatas, berada di pinggiran,
pedesaaan, pedalaman, dan perbatasan suatu kabupaten atau provinsi. Jika pandangan pertama bisa dianggap diwakili
oleh 6.221 sekolah percontohan versi Mendikbud lama, pandangan kedua mewakili
realitas lapangan yang dirasakan oleh hampir 80% sekolah dan guru se
Nusantara. Pandangan ini menekankan pada
tuntutan pemenuhan logistik dasar pendidikan, peningkatan dan pemberdayaan
kualitas guru yang justru merupakan potret sesungguhnya dunia persekolahan
Indonesia.
Tulisan ini menyuguhkan
argumentasi bahwa K-13 memang semestinya dihentikan. Keputusan Mendikbud Anies Baswedan tepat dan
perlu mendapat dukungan secara luas.
Selanjutnya, mari kita hentikan kontroversi dan debat dan kita fokus
untuk melaksanakan perbaikan.
Refleksi
Kurikulum di Indonesia
dalam dasa warsa terakhir telah berubah dari Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi,
KBK), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, KTSP), dan Kurikulum
2013. Bersamaan dengan itu, dipopulerkan pendekatan Students-Centered Learning dan Contextual-Based
Teaching dengan model mengajar kreatif, inovatif, dan menarik
(PAKEM/PAIKEM), cooperative learning,
collaborative learning, dan quantum
teaching sebagai landasan menyusun desain pembelajaran.
Pendekatan tersebut telah mengubah paradigma
pembelajaran di Indonesia ditandai dengan pelaksanaan proyek-proyek pelatihan
guru yang luar biasa. Pelaksanaan
pembelajaran berubah drastis dan nyaris seluruh sekolah dan guru “terjual habis”. Guru didorong intensif
melakukan perubahan, tetapi substansi penguasaan dan pengembangan kurikulum
relatif tidak berkembang.
Pelatihan guru, PLPG melalui perguruan tinggi, dan
proyek-proyek lain tidak mampu menjawab permasalahan inti. Empat masalah besar tetap muncul: (1) guru
kurang mampu menguasai kurikulum, (2) guru tidak mampu mengembangkan materi dan
bahan ajar, (3) guru tidak mampu melaksanakan metode pembalajaran di kelas, dan
(4) guru tidak mempu mengembangkan penilaian hasil belajar dengan baik. Penilaian
berbasis kelas atau penilaian otentik bahkan menjadi permasalahan kompleks bagi
hampir semua guru.
Permasalahan kurikulum, yaitu: penyusunan tujuan
pembalajaran, pengembangan materi ajar, penerapan metode mengajar, dan
pengembangan asesmen hasil belajar diperoleh secara copy paste dari contoh yang disediakan pemerintah yang dikembangkan
dari pelatihan satu ke pelatihan lain yang bobot dan kualitasnya juga belum
tentu standar dan belum tentu benar. Implementasi K-04 dan K-06 tidak pernah
mantap. Kemampuan dan pemahaman guru terhadap substansi kurikulum dan
komponennya, bukan terjadi karena proses pelatihan atau praktik yang matang,
tetapi akibat tekanan harus menyelesaikan administrasi sekolah atau portofolio
yang harus dikumpulkan.
Masalah Tak Terpecahkan
Konteks ini menegaskan
bahwa implementasi kurikulum sejauh ini jelas lebih bermuara pada kebijakan
proyek. Permasalahan guru dan kinerja di
lapangan tidak diserap dengan baik. Hanya sekolah-sekolah di perkotaan yang SDM
dan aksesnya kuat yang cenderung dijadikan ukuran keberhasilan. Bagaimana sekolah pinggiran terlebih lagi di
pedalaman dan perbatasan misalnya di Kalimantan Utara, atau di pedalaman di beberapa
daerah Pacitan, Probilonggo, Temanggung, dan daerah-daerah pesisir dan
pegunungan, tidak mendapat perhatian.
Kebijakan Mendikbud Baswedan bisa dimaknai radikal mengarah pada
pemberdayaan pendidikan mayoritas di Indonesia dengan misi luhur meningkatkan
kualitas guru.
Penyusunan tujuan
pembelajaran menjadi Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator
menurut K-04 dan K-06, kemudian berubah menjadi Learning Outcomes, Learning Objectives dan bagaimana menjabarkan ke
dalam materi ajar, adalah permasalahan utama. Penyusunan asesmen hasil belajar,
perangkat tes dan rubrik penilaiannya sesuai dengan penilaian otentik, menjadi
masalah berikutnya. Semua sudah
disampaikan melalui PLPG, PPG, dan pelatihan guru yang bersifat training,
tetapi guru tetap mengalami kendala besar karena yang diperoleh cenderung
bersifat tekstual dan tidak mendorong kreatifitas mandiri.
Jadi, perubahan K-04 dan
K-06 tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan berhasil. Guru masih tetap belum
mampu memahami dan mengimplementasikan di lapangan. “Keberhasilan” guru terjadi
karena kurikulum diganti dan permasalahan di lapangan berganti dengan masalah
baru. Proyeksi yang sama juga akan terjadi
terhadap K-13. K-13 berjalan, tetapi masalah substansial yang dihadapi guru
tidak berubah bahkan semakin kompleks pemecahannya. Jika kita memotret permasalahan sekolah
seluruh Nusantara, penghentian K-13 memang sesuai. Peningkatan kualitas guru perlu format lebih
konkret. Sekolah percontohan yang
diklaim sudah siap melaksanakan K-13, tetap dipersilakan jalan, karena best practices sekolah percontohan bisa
menjadi bahan adaptasi, modifikasi, dan diversifikasi kurikulum lanjutan
walaupun namanya tidak harus tetap Kurikulum 2013. (Surakarta,
11 Desember 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar