Teguh Budiharso
(Email: dr_tgh@yahoo.com)
Sikap tegas Mendikbud Anies Baswedan menghentikan Kurikulum 2013 (K-13)
patut dihargai amat tinggi. Baswedan secara cermat dan konsisten menujukkan alasan kuat bahwa pembelajaran di sekolah harus
dipersiapkan matang. Penulis mencatat ada
tiga hal yang patut digarisbawahi dalam permasalahan K-13 ini.
Pertama, K-13 telah dilaksanakan di sekolah percontohan di seluruh
wilayah Indonesia terhadap 6.221 sekolah di 295
kabupaten/kota, meliputi 2.598 SD, 1.437 SMP, 1.165 SMA, dan 1.021 SMK. Jumlah ini baru 3% dari seluruh sekolah di
Indonesia. Jumlah ini tentu terlalu sedikit, dan kluster demografi sekolah yang
dipilih hanya berada di perkotaan, seperti ibu kota provinsi atau ibukota kabupaten. Jumlah sekolah percontohan pun berkisar antara
2-3 sekolah di satu wilayah. Jadi coverage sekolah percontohan tersebut masih
memerlukan kajian lebih lanjut untuk landasan kebijakan implementasi K-13 secara menyeluruh.
Kedua, K-13 dilaksanakan
terlalu terburu-buru dan kurang sesuai denan amanah PP 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 94 PP 32/2013 menegaskan bahwa
penyesuaian implementasi kurikulum baru dilaksanakan paling lambat selama tujuh
tahun. Hingga saat ini, K-13 sudah
berjalan selama tiga semester, yaitu semester ganjil 2013, semester genap 2013
dan semester ganjil 2014. Terbuka kemungkinan bahwa K-13 belum siap secara
design, isi, dan persiapan di lapangan dan dilakukan berbagai teknik untuk
mendongkrak proyek implementasinya.
Ketiga, implementasi K-13 lebih berorientasi proyek. Umumnya, pemegang kebijakan di daerah
menganggap proyek pengadaan buku K-13 sudah terlanjur jalan dan harus dibayar.
Pengusaha percetakan juga mengalami kerugian besar karena proyek tidak dibayar
dan terpaksa memberhentikan karyawan.
Pemda yang merasa siap akan terus melanjutkan K-13.
Tulisan ini berargumen bahwa
Mendikbud Baswedan benar. Terdapat nilai
strategis menghentikan K-13 saat ini. Selama proses penghentian, akan dilakukan
uji-coba lapangan lebih mendalam, mematangkan desain, mempersiapkan kompetensi
guru, mempersiapkan perangkat di sekolah-sekolah sesuai kluster dan wilayah. Kebijakan ini harus didukung dengan segala
resiko dan penuh tanggung jawab oleh semua pihak.
Pertama, sampel sekolah di pilot
project masih harus dikembangkan secara snowball
menjadi lebih luas. Baswedan benar,
jumlah 3% (6.221 sekolah) akan dikembangkan menjadi 10% setiap semester. Jumlah guru yang dimagangkan juga ditambah
setiap semesternya. Jika kebijakan ini
dilaksanakan mulai 2015 sampai 2019, akan diperoleh 50% dari total sekolah dan
guru yang dipersiapkan. Angka ini masih
bisa disesuaikan dengan sekurang-kurangnya usia Mas Mentri menjabat di Kabinet
Kerja.
Rencana ini tentu menghadapi tantangan. Tantangan
pertama, proyek pelatihan guru untuk mempersiapkan K-13 akan membanjir bak
jamur di musim hujan. Hal ini akan
menimbulkan masalah klasik yang sama dengan kebijakan sebelumnya, pelatihan
kejar tayang. Quality assurance dan total
quality management menjadi persoalan dasar. Tantangan kedua, sekolah pilot
project yang dijadikan tempat magang akan menghadapi permasalahan besar
baik terhadap kualitas hasil belajar maupun manajemen sekolah. Yang
terakhir, percepatan bisa
dilaksanakan melalui PLPG atau PPG di LPTK seluruh Indonesia, namun tidak semua
LPTK memiliki kompetensi yang diharapkan dan konsisten dengan jaminan mutu
yang diarapkan. Kebijakan pemerataan dan
tuntutan daerah sering mengaburkan nilai ideal dan bersifat kompromistis.
Kedua, terdapat perbedaan amat mencolok mutu sekolah di
Indonesia di berbagai wilayah. Penulis
menginventarisir lokasi sekolah sebenarnya berbada antara kota provinsi, kotamadya, kota kabupaten, kota
kecamatan, pedesaan, pinggiran, pedalaman, dan perbatasan. Dipastikan bahwa hanya sekolah di kota
provinsi, kotamadya, dan kota kabupaten yang memiliki akses dan kesiapan
pengembangan yang memungkinkan dengan proyeksi antara 30% dari total sekolah
yang ada. Sisanya 70% kondisinya terseok-seok,
kurang dan bahkan memprihatinkan.
Dalam konteks inilah kebijakan Mendikbud Baswedan
memiliki visi tajam dan tepat. Sebagai pendiri
Indonesia Mengajar yang telah mengirimkan banyak fresh graduate ke pelosok-pelosok bisa merasakan betapa masih
sangat kurangnya pendidikan di Indonesia.
Mengenai wilayah, pemegang kebijakan cenderung melihat sekolah di
wilayah kota dan kabupaten di Jawa yang sudah maju saja. Pandangan visioner
untuk melihat sekolah-sekolah di pulau lain yang masih jauh seperti Nunukan,
Malinau, Krayan perbatasan Kaltara dan Malaysia; perdesaan di Ngawi, Pacitan,
Panggul, Madura, berbagai wilayah di Jawa Tengah pesisir, pedesaan di berbagai
wilayah di Jawa Barat; dan di wilayah Timur Indonesia di NTT, Papua, Maluku,
Sulawesi Utara, dsb terlalu banyak yang belum standar.
Tradisi implementasi kebijakan menunjukkan bahwa
kebijakan dianggap valid dan cocok setelah percontohan selesai diterapkan dan
diberlakukan menyeluruh tanpa perbaikan berarti. Implementasi K-13 untuk wilayah percontohan
saja, masih jauh mencerminkan kesiapan sekolah-sekolah yang belum layak. Contoh kecil, nilai UNAS di wilayah-wilayah
yang “tak terjangkau” sudah bukan rahasia lagi bahwa kelulusannya “disesuaikan”
dengan kebijakan.
Ketiga, pada tataran implementasi terdapat permasalahan
yang rumit. Perubahan K-13 dari KTSP
(2006) dan KBK (2004) tidak didasarkan pada hasil analisis komprehensif bahwa
KBK dan KTSP memiliki kelemahan yang secara mendasar harus disempurnakan secara
terencana dan cermat dan ditunjukkan pada guru bagaimana memperbaikinya. Penguasaan guru dan hasil beralajar siswa
berdasar KBK dan KTSP lebih dilihat dari aspek kebijakan dan proyek. Ketika guru sedang “terjual habis” pada KBK;
dan aspek-aspek desain dan implementasi kurikulum ke dalam perumusan tujuan
pembelajaran, pengembangan materi ajar, pelaksanaan metode mengajar dan asesmen
hasil belajar masih remang-remang, KBK diubah menjadi KTSP. Permasalahan dalam KBK belum dijawab dengan
baik, ketika KTSP mewajibkan guru harus menguasai paradigma baru KTSP yang juga
belum tuntas. KTSP belum tuntas dan
menambah permasalahan baru karena guru belum sepenuhnya menguasai KBK,
datanglah K-13 yang secara sangat fundamental mengubah paradigma KTSP. Jadi wajar jika K-13 bersifat tergesa-gesa
dan dipaksakan dalam perspektif kebijakan Mendikbud Baswedan.
Penghentian K-13 dengan
demikian tidak bisa hanya dilihat dari aspek kerugian proyek, pencitraan, atau
kemauan sekolah atau pemegang kebijakan.
Kebijakan Mendikbud memiliki nilai amat strategis. Tulisan ini berkeyakinan bahwa Mendikbud
sudah benar. Kita mendukung penuh
implementasi kebijakan tersebut sampai kita mendapatkan hasil yang bisa
dipertanggungjawabkan sejauh mana K-13 akan diadaptasi, dimodifikasi, dan
didiversifikasi untuk sekolah di seluruh Nusantara tanpa diskriminasi. (Surakarta, 14 Desember 2014)