Minggu, 08 Juni 2014

Sejarah Gaplek I



MELURUSKAN SEJARAH TRENGGALEK PENGHASIL GAPLEK
(Bagian I)
                                                                                                             
Teguh Budiharso
Available at: budiharsoteguh.blogspot.com

PENGANTAR
            Tulisan ini bertujuan untuk memberi urun rembug mengenai sejarah Trenggalek, salah satu kabupaten di Jawa Timur,  yang telah banyak ditulis baik secara resmi maupun tidak resmi.  Berbagai tulisan yang muncul tersebut, ternyata tidak menunjukkan simpulan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga versi sejarah Trenggalek beraneka ragam. 
            Sejauh yang bisa penulis gali, tulisan-tulisan tersebut didasarkan pada cerita tutur yang pangkal sejarahnya ialah Menak Sopal (1498-1568), tokoh Agama Islam di Trenggalek pada zaman Kerajaan Pajang dipimpin Sultan Hadiwijoyo (1549-1582).  Kisah ini diinterpretasi oleh banyak pihak menggunakan berbagai versi dan menjadi simpang siur.  Pemerintah Kabupaten Trenggalek sendiri juga “kurang peka” pada situasi ini sehingga sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Trenggalek hanya berpatokan pada cerita dongeng sebagai pedoman menetapkan sejarah Trenggalek.  Padepokan Dewadaru menjelaskan kata Trenggalek sebagai lintang trenggono yang hilang dan jatuh di wilayah Trenggalek. 
            Satu-satunya buku sumber yang memiliki bobot ilmiah cukup ialah Babon Sejarah Trenggalek yang disusun pada 1982 oleh tim penyusun sejarah Trenggalek bersama-sama konsultan sejarah dari IKIP Malang.  Babon Sejarah Trenggalek ini memuat keterangan yang akurat pada sisi tertentu.  Secara panjang lebar, penulis sejarah Trenggalek, termasuk Pemkab Trenggalek, blogger, dan penulis lain mendasarkan pada uraian tersebut.  Dengan bangga, mereka mengutip deskripsi sejarah Trenggalek dikelompokkan ke dalam tiga periodisasi: pra-sejarah, perdikan, dan keemasan. 
            Trenggalek dibanggakan sebagai daerah yang cukup tua dalam sejarah tetapi para penulis menjadi tidak kritis ketika Trenggalek disebut sebagai daerah “di bawah naungan” wilayah lain.  Penulis yang dengan bangga menyebut Trenggalek sebagai bagian Tulungagung ialah yang menyebut dirinya Siwi Sang.  Penulis lain akhirnya cukup mengamini saja bahwa sejarah Trenggalek “tidak mandiri” tetapi menjadi bagian dari Tulungagung. 
            Tulisan ini sengaja dibuat dalam beberapa bagian agar isinya tidak terlalu padat.  Tulisan dimulai dari fakta sejarah tentang keberadaan Trenggalek, dan pelurusan beberapa pernyataan yang bisa menjadi stikma.  Diharapkan pemangku kebijakan bisa menyusun alur sejarah Trenggalek yang baku agar cerita yang disusun setelahnya oleh siapapun tidak simpang siur dan tidak membingungkan generasi penerus.      

TRENGGALEK PENGHASIL GAPLEK
            Bagaimanakah asal-usul kata Trenggalek?  Kata Trenggalek sejauh ini dianggap berasal dari kata “terang” dan “gale”, diartikan sebagai terang ing galih.  Trenggalek dianggap sebagai daerah yang memperoleh karunia melalui hati yang jernih, dan Tulungagung dianggap sebagai orang yang “memberi pertolongan besar”.     Menurut manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, kata Trenggalek secara sederhana ialah kota gaplek.  Daerah penghasil gaplek.  Nama itu sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928).  Kata Trenggalek digunakan untuk menunjukkan daerah penghasil gaplek, ketela pohon yang dikeringkan.  Gaplek pada zaman itu merupakan makanan rakyat jelata tetapi sekaligus hidangan khusus di kraton.  Gaplek diolah menjadi karak, dimasak seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama dengan air gula merah.  Jenis gaplek yang digunakan ialah gaplek yang “terang” berwarna putih bersih.  Daerah penghasil gaplek jenis ini ialah kecamatan Bendungan, Kampak, Munjungan, Panggul, Pule, dan Watulimo. Di antara daerah tersebut, gaplek dari Bendungan di lereng gunung Wilis dianggap yang paling unggul. Dari sebutan gaplek yang berasal dari ketela yang “terang” lama-lama berubah menjadi “Trenggalek”.  Kata Trenggalek kemudian dipopulerkan di antaranya dalam tembang dan wangsalan, seperti: “Pohung garing, ayo mampir menyang Trenggalek.” Pohong garing artinya gaplek (Purwadi, 2009:23). 
Sri Susuhunan Pakubuwana II, raja terakhir Kasunanan Kartasura (17261742) dan raja pertama Kasunanan Surakarta (17451749), ialah raja yang berjasa menggunakan nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan.  Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga zaman Sinuwun Paku Buwono II masih terus ditradisikan. Pada 2014 ini, menu karak gaplek Bendungan juga masih digunakan dalam jamuan khusus, disertai dengan kopi asli Bendungan dan gula kelapa dari Watulimo. 
            Asal-usul kata Trenggalek yang lain diperoleh melalui cerita tutur. Pertama, cerita tutur ketika Penembahan Batoro Katong menjadi Adipati Ponorogo pada 1489-1532, juga menyebutkan Trenggalek sebagai daerah penghasil gaplek.  Dikisahkan, Menak Sopal melakukan kesalahan dan mendapat hukuman agar bermukim di daerah penghasil gaplek mengabdi pada Ki Ageng Joko Lengkoro di daerah Bagong Kecamatan Ngantru Trenggalek kota sekarang.
            Kedua, versi lain mengenai asal-usul kota Trenggalek diperoleh dari cerita tutur dari pinisepuh yang tinggal di Trenggalek.  Menurut pinisepuh tersebut, kata Trenggalek berasal dari kata “sugal” yang berarti kasar dan “elek”.  Sugal-elek menghasilkan kata galek; yang berkonotasi masyarakat Trenggalek suka berperilaku “kurang baik” atau jelek.  Sejak zaman raja-raja, Trenggalek ialah bagian dari Wengker bagian Timur, yang terkenal sebagai tempat para pertapa, dan kumpulan black magic.  Daerah Kampak, Munjungan, Panggul, Prigi, Bendungan dianggap representasi makna tersebut walaupun sekarang mengalami penurunan makna.
            Uraian di atas menunjukkan bahwa kata Trenggalek, yang lebih dekat diartikan dengan daerah penghasil gaplek.  Asal-usul nama atau toponimi biasanya diperoleh secara praktis.  Contoh lain, ketika Sinuwun Paku Buwono II (1726-1749) dikejar pasukan Sunan Kuning beliau melarikan diri ke arah Ponorogo.  Ketika sampai di suatu tempat, beliau merasa haus dan minta air kepada seorang penduduk.  Setelah minum air tersebut, beliau berkenan dan menanyakan kepada si pemberi: “Air apa ini kok rasanya segar?”.  “Ini air badeg Gusti” jawab penduduk tersebut. “Kalau begitu, daerah ini saya beri nama Badegan”, lanjut Sinuwun.  Badegan ialah daerah kecamatan di wilayah Sumoroto Ponorogo barat perbatasan dengan Purwantoro Wonogiri.
            Makna kata Trenggalek menurut penelusuran sejarah ini juga mengingatkan bahwa sejak semula Trenggalek ialah penghasil gaplek. Artinya daerah berbasis pertanian ketela.  Karena itu, ada baiknya Trenggalek merevitalisasi lagi potensi ekonomi gaplek tersebut.  Mengenai makna yang dikaitkan dengan terange penggalih,  begitu juga “sugal dan elek” karena tidak memiliki akar sejarah, cukup dijadikan penjelasan tambahan mengenai cerita asal-usul kata Trenggalek.  

                    
TRENGGALEK DAERAH PERDIKAN SEPANJANG ZAMAN
            Status Trenggalek sebagai daerah bebas pajak, atau sima swatantra atau daerah otonom, pertama kali muncul zaman Raja Sindok (929-947) yang dikukuhkan dalam Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak (929) dan diakui lagi oleh Raja Airlangga (1019-1045) melalui Prasasti Baru (1030), Raja Kediri Prabu Srenggo (1182-1222) dalam Prasasti Kamulan (1194), dan raja Majapahit Prabu Wikramawardhana (1390-1428) melalui piagam yang dipahatkan di arca dwarapala yang ditemukan di Bendungan, Prasasti Surondakan dan Candi Brongkah di Kedunglurah sekarang. 
Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak yang dikeluarkan Raja Sindok pada 929 menetapkan daerah Kampak sebagai daerah sima swatantra. Wilayah daerah perdikan Kampak meliputi: Dongko, Munjungan, Panggul, Watulimo, Prigi dengan pusat pemerintahan di Desa Gandusari Sekarang. Selain wilayah Kampak merupakan tempat peribadatan memuja Dewa karena berdekatan dengan Laut Selatan, wilayah Kampak juga disebut sebagai daerah penghasil gaplek.
Dr. Brandes antara lain mengatakan bahwa prasasti ini merupakan batu besar ujung atasnya bulat, kemudian kiri kanannya melebar, berwarna abu-abu dari batu andesit dan sangat rusak. Prasasti ini berhurup Jawa Kuno langgam Jawa Timur. Pada bagian depan terdapat 15 baris, pada bagian belakang terdapat 13 baris 1 baris dengan hurup yang tinggal separo. Pada bagian kiri terdapat 3 baris yang tidak dapat dibaca lagi, sedangkam di bagian kanan hanya terdapat 2 baris sebagai penutup dari prasasti itu. Tinggi prasati itu 89 cm tebal 22 cm dan lebar 93 cm.
Prasasti ini merupakan tanda pemberian hadiah dan mendapatkan hak istimewa bagi tanah yang diberikan tadi. Tanah yang sangat dimuliakan ialah tanah dari Bharata i Sang Hyang Prasada Kabhaktian i Pangarumbing yang i Kampak. Pada prasasti ini terdapat kata-kata mangraksa kadatuan Cri Maharaja i Ndang i Bhumi Mataram. Sehingga dapat diperkirakan bahwa prasasti itu ditulis pada tahun 851 caka atau 929 Masehi. Ada baiknya  bila beberapa kata pada bagian dari prasasti itu dikemukakan, antara lain baris ke 6-9 dan baris ke 13 yang berbunyi:

6.      (ring ra) hina ring wngi addenge a ---------------- samaya sapatha sumpah pamangmang mami ri kita hiyang kabeh. Yawat ika nang ngwangduracara, tan magam tanmakmit i
7.      Rikang saptha si hatan sa-----t kudur ----- hadyan hulun matuharare, laki-laki wadwan, wiku grahastha muang patih wahuta rama, nayaka parttaya
8.      --------- lahu(aha) ikeng lmah sawah ------ i kampak simainarpanakan dapungku i manapunjanma, i bhatara i sang hyang prasada kabhaktiyan i pangurumbigyan i
9.      Kampak wabakataya nguniweh da ---------- ta –sa(ng)hyang watu sima tasmat kabuataknanya, patyanantaya kamung hyang deyantatpatiya tattanoliha i wuntat
13.  ----- wuk k(i)dul kuluan waitan, wuangakan ringasalambitakan ing (h)yang kabaih, tibakan ri(ng) mahasamudra, klamakan ring dawuhan, alapan sang hyang ja 15

Mataram Kuno mengalami zaman keemasan ketika Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910) bertahta dengan pusat pemerintahan di Begelen, Purworejo, Daerah Kedu, Jawa Tengah. Wilayah kerajaan meliputi seluruh Jawa Tengah, seluruh Jawa Timur dan Bali.  Setelah Dyah Balitung mangkat, tahta diserahkan kepada putra mahkota Rakai Mpu Daksa (910-919).  Nah, pada zaman pemerintahan Mpu Daksa inilah intrik mulai terjadi. Menantu Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong (919-921) yang menikah dengan putri mahkota, berseteru dengan adik putra mahkota, yaitu Dyah Wawa.  Dyah Wawa dibantu Mpu Sindok yang waktu itu menjabat Rakai Halu berhasil menggulingkan Dyah Tulodong dan akhirnya Dyah Wawa berhasil naik tahta pada 924-928.  Prasasti Kinawe (928) yang ditemukan di daerah Kandangan Kediri menyebutkan raja yang memerintah Mataram ialah Rakai Dyah Wawa dan Empu Sindok disebut sebagai Mahapatih atau Rakai Hino. Prasasti Kinawe (928) ini hanya selisih satu tahun ketika Raja Sindok bertahta di Tembalang, Jombang (929) dan dikeluarkannya Prasasti Kampak (929).  Jadi sebelum mendirikan keraton di Jombang, raja-raja Mataram yang berkedudukan di Kedu dan Yogjakarta sudah mengetahui daerah Kampak dan sekitarnya.
Sejak pemerintahan Dyah Balitung, pengembangan wilayah ke Jawa Timur bahkan Bali sudah dilakukan.  Jadi, identifikasi daerah Kampak sebagai daerah penting dan kemudian dijadikan daerah perdikan bukanlah hal yang aneh.  Kiranya, alih kekuasaan dari Rakai Layang Dyah Tulodong ke tangan Dyah Wawa ditempuh melalui perebutan kekuasaan sehingga pusat kerajaan perlu dipindahkan ke Jawa Timur.  Waktu migrasi ke Jawa Timur itu Dyah Wawa mungkin terbunuh sehingga kekuasaan dilanjutkan oleh Empu Sindok yang maktu itu menjabat sebagai rakai hino, orang kedua di bawah raja dan berhak menggantikan raja. 
Patut dicermati juga, pada saat pemerintahan Rakai Layang Dyah Tulodong yang hanya 4 tahun itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu Kettuwijaya.  Nama ini memiliki kemiripan dengan Raja Wengker yang menggulingkan Teguh Darmawangsa pada peristiwa mahapralaya (1016) yang menyebabkan Airlangga melarikan diri ke Gunung Wonogiri menjalani hidup bersama pertapa. Kiranya, Mpu Kettuwijaya melarikan diri ke Wengker Ponorogo sekarang bersamaan saat Mpu Sindok memindahkan kerajaan ke Tembalang di Jombang Jawa Timur. 
Kembali ke Trenggalek sebagai daerah perdikan.  Periode kedua wilayah Trenggalek diberi kedudukan daerah sima swatantra ialah pada zaman Raja Airlangga. Pemberian ini tercatat dalam Prasasti Baru (1030).  Desa Baruharjo, kecamatan Durenan Trenggalek diberi status sima karena masyarakat telah memberi penginapan dan membantu raja dan pasukannya ketika akan menyerang raja Hasin. Hasin sekarang ialah Ngasinan, Desa Kelutan Kabupaten Trenggalek. 
Perdikan ketiga diberikan oleh Raja Srenggo dari Kediri yang memberi status otonom desa Kamulan (1194).  Prasasti itu jelas menyebutkan wilayah Kamulan meliputi lereng gunung Wilis mulai dari lereng Kalang Barat (Kalangbret), gunung rajeg wesi, Semarum, Durenan, bukit Tumpak Uyel, Setono, desa Parakan, Pogalan, Bendo, Ngetal, Tugu, Tenggaran Pule, dan Tangkil kecamatan Dongko.  Prasasti ini menjelaskan bahwa perbukitan di wilayah Tulungagung yang dijadikan makam para Bupati Tulungagung ialah wilayah perdikan Kamulan.  Jika digabung dengan wilayah dalam prasasti Kampak, hampir seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek tahun 2014 saat tulisan ini dibuat sudah merupakan wilayah perdikan Trenggalek.
Ketika Prabu Kertawardhana, menantu Prabu Hayam Wuruk dari Tumapel memerintah, terjadi perang Paregreg (1401-1406).  Perang ini terjadi antara Prabu Kertawardhana melawan Prabu Wirabumi di Blambangan, anak Hayam Wuruk dari selir. Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) memiliki dua anak: Kusumawardhani putri mahkota menikah dengan Wikramawardhana dari Tumapel.  Putra kedua ialah Wirabumi dari istri selir yang dijadikan raja di Blambangan Banyuwangi.  Wikramawardhana memerintah bersama-sama dengan Kusumawardani.  Namun Kusumawardhani wafat sehingga tahta Majapahit dipegang oleh Wikramawardhana. Wirabumi tidak terima Wikramawardhana diangkat menjadi raja karena Wikramawardhana ialah menantu. Menurut Wurabumi, dialah yang berhak menggantikan Hayam Wuruk karena dia ialah anak raja meskipun dari istri selir.  Persengketaan ini akhirnya menjadi perang yang meluas dan disebut Perang Paregreg, perang diam-diam antarkeluarga yang semakin meluas. Perang dimenangkan Prabu Wikramawardhana dan pertempuran terakhir mengalahkan pasukan Wirabhumi terjadi di Bendungan.  Sebagai penghargaan atas Bendungan, prabu Wikramawardhana menetapkan Bendungan sampai Tugu, Karangan dan Pule sebagai daerah sima swatantra.
Lempengan prasasti di patung yang sekarang ditempatkan di depan kantor kecamatan Bendungan menjelaskan bahwa daerah Bendungan, sampai wilayah Bagong ditetapkan sebagai daerah sima swatantra.  Kecamatan Bendungan ialah lereng gunung Wilis bagian barat, berbatasan dengan Kecamatan Palung Ponorogo.  Bendungan ialah penghasil gaplek, kopi, dan gula kelapa kesukaan para Raja Surakarta.  Jalur ini merupakan jalan pintas dari gunung Wilis menuju Wengker dan lewat jalur inilah Menak Sopal datang ke desa Bagong Trenggalek ketika diperintahkan oleh Panembahan Batoro Katong agar membantu Joko Lengkoro di Galek.  Joko Lengkoro kemudian terkenal juga sebagai Mbah Kawak.
Batoro Katong memerintah di Ponorogo pada 1489-1532, sejak Raden Patah Sultan Demak (1478-1518) sampai awal pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546).  Menak Sopal sendiri tercatat tahun meninggalnya di nisan pemakaman Bagong dengan candra sengkolo: “Sirnaning puspita cinatur wulan”, 1490 saka atau 1568 M.   Menak Sopal berusia 70 tahun karena ketika diajak menghadap Batoro Katong oleh gurunya beliau berusia  18 tahun, jadi Menak Sopal lahir pada 1498.  Menak Sopal hidup pada zaman pemerintahan Sultan Prawoto Demak (1546-1549) dan Sultan Hadiwijoyo di Pajang (1549-1582).  Siapa Joko Lengkoro?  Joko Lengkoro ialah anak Prabu Brawijaya V  Kertabumi dan adik Batoro Katong. Joko Lengkoro yang diberi daerah lungguh di perdikan Bagong, kemudian disebut Ki Ageng Galek yang ditugasi merawat Dewi Amisayu putra Brawijaya V yang terkena sakit berbau amis.  Dewi Amisayu kemudian disembuhkan oleh Menak Sopal.   
            Jika prasasti Kampak, prasasti Baru, prasasti Kamulan, prasasti Surodakan, dan lempeng arca di Bendungan digabungkan, maka seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah daerah perdikan sejak zaman Raja sindok.  Daerah sima parasima diberikan oleh raja bersifat turun-temurun dan hanya bisa dibatalkan apabila daerah tersebut memberontak kepada raja.  Daerah sima yang pernah diberikan oleh raja sebelumnya, dihormati sekali oleh raja berikutnya walaupun berbeda dinasti sehingga status sima swatantra, atau daerah otonom melekat terus. 
            Trenggalek sebagai daerah Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati, secara resmi digunakan pada zaman Sinuwun Paku Buwono II.  Saat itu, Sinuwun Baku Buwono II mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung Sumotaruna sebagai Bupati Trenggalek pertama pada 1743.  Sejak perjanjian Giyanti 1755 ketika Pangeran Mangkubumi memberontak wilayah kerajaan dibagi dua: wilayah kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Sunan Pakuwono dan wilayah kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono. Akibatnya, Kabupaten Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan Ponorogo, Pacitan, dan Tulungagung.  Inilah kiranya penyebab munculnya spekulasi bahwa Trenggalek diklaim sebagai bagian dari daerah Tulungagung.  Bagian ini akan dibahas khusus pada bab selanjutnya.  (Bersambung pada bagian kedua).


TULUNGAGUNG ADALAH BAGIAN TRENGGALEK
DAN BUKAN SEBALIKNYA
(Bagian II)

Teguh Budiharso
Available at: budiharsoteguh.blogspot.com


PENGANTAR
Jika Bung Karno Presiden Pertama RI mengatakan Jasmerah! Jangan Melupakan sejarah,  para ahli sejarah mengatakan: “Untuk menghancurkan suatu bangsa, lakukanlah tiga hal: Pertama, kaburkan sejarahnya; Kedua, hancurkan peninggalan sejarah yang ada; dan Ketiga: putuskan hubungan generasi sekarang dengan leluhurnya.” Hakikat pesan tersebut ialah, bangsa yang tidak mencintai sejarah akan melalaikan riwayat perjuangan pahlawan dan leluhurnya.  
            Sejauh ini, kaberadaan Trenggalek telah dianggap sebagai hadiah dari Tulungagung sebagai “kemurahan hati” melalui “pitulungan agung” sesuai makna Tulungagung sebagai “murah hati dan memberi pertolongan yang maha luas.”    
            Klaim tersebut nampaknya diterima saja secara aklamasi dan tidak ada upaya pembuktian benar salahnya klaim tersebut.  Tulisan ini telah membuktikan penelusuran sejarah sejak Mataram Kuno sampai Surakarta bahwa Trenggalek sepenuhnya ialah daerah otonom.  Bahkan belum ada kota atau wilayah lain yang mendapat status sima-parasima atau daerah otonom untuk seluruh daerah yang merupakan wilayah kota.  Daerah Trenggalek 100% sejak zaman sejarah kuno memperoleh status daerah bebas pajak atau daerah otonom.  Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa Tulungagung sekarang sebagian wilayahnya ialah pemberian dari Trenggalek, Blitar, dan Nganjuk. 
            Dalam sejarah Indonesia, status otonom untuk suatu desa atau daerah swatantra diberikan oleh raja karena masyarakat daerah tersebut telah berjasa luar biasa kepada raja.  Daerah otonom diberikan secara turun temurun dan tidak bisa dibatalkan kecuali daerah tersebut melawan raja.  Fungsi daerah otonom pada umumnya ialah daerah yang terkait dengan pemujaan para dewa, pertahanan, dan memuliakan leluhur raja.  Daerah sima diberi kewenangan mengelola sendiri pajak bumi, pajak perdagangan, dan pajak lain untuk digunakan oleh masyarakat di wilayah daerah otonom tersebut.  Dengan demikian, Trenggalek telah menjadi daerah merdeka dan mandiri sejak zaman Raja Sindok. 
            Fakta ini membuktikan bahwa Trenggalek sudah mandiri sejak zaman Kuno, sehingga tidak benar bahwa Trenggalek merupakan wilayah pemberian daerah lain. Justru wilayah Trenggalek tetap bersatu utuh walaupun dalam politik telah dipecah-pecah beberapa kali.  Barangkali tuah daerah sima-parasima yang diberikan raja-raja besar antara lain: Raja Sindok, Raja Airlangga, Raja Srenggo, Raja Wikramawardana dan Raja-Raja Surakarta tetap menjadi pengikat yang amat kuat.

KRONOLOGIS  TRENGGALEK
            Sejarah Trenggalek zaman kerajaan Mataram Kuno sampai kerajaan Kartasura dan Surakarta sekilas sudah dibahas pada bagian pertama.  Bagian ini akan memberi penekanan pada hal-hal yang terkait dengan penjelasan berikutnya.
            Penelusuran Prasasti sejak Raja Sindok, Raja Airlangga, Raja Srenggo, dan Raja Kertawardana dengan tegas menunjukkan bahwa secara yuridis formal, wilayah Trenggalek seluruhnya seperti yang ada sekarang ini ialah wilayah sima parasima,  daerah bebas pajak yang dipimpin oleh Mentri Ketandan. Raja Sindok (929) memberi status Perdikan Kampak, Raja Airlangga (1032) memberi daerah Perdikan Baruharjo kecamatan Durenan, Raja Srenggo (1194) memberi status perdikan Kamulan, dan Raja Wikramawardhana (1406) memberi status Perdikan Bendungan. 
Zaman Raja Sindok menegaskan bahwa wilayah Trenggalek sudah diperhitungkan sejak zaman Mataram Kuno berpusat di Kedu dan Yogyakarta sebagai bagian dari Wengker Ponorogo.  Zaman Airlangga sebagai generasi terakhir Raja Sindok, menegaskan wilayah Trenggalek sebagai daerah penting.  Zaman Raja Srenggo di Kediri, menegaskan bahwa Trenggalek ialah wilayah penting Kediri sehingga daerah sepanjang lereng Gunung Wilis mulai lereng gunung Kalang Barat, Rajed Wesi, Kamulan, Semarum, Pogalan, Ngetal, Karangan, dan daerah kota Trenggalek merupakan daerah otonom.  Prabu Kertawardhana raja Majapahit setelah Prabu Hayam Wuruk mangkat melanjutkan kebijakan ini dengan memberi hak otonomi bagi daerah Bendungan lereng Gunung Wilis bagian Barat yang perbatasan dengan Kecamatan Palung, Wengker, Ponorogo. Wilayahnya meliputi: kecamatan Tugu, Kecamatan Pule, dan Tangkil perbatasan dengan Pacitan.  Data empiris ini menegaskan bahwa wilayah Trenggalek telah ada secara terus-menerus dari pemerintahan Mataram, Kahuripan, Kediri, Singasari, Majapahit, Mataram, Pajang, dan Surakarta.  Wilayah itu memiliki keunggulan penghasil gaplek, sehingga disebut Galek atau Trenggalek.  Sebutan itu sudah ada sejak Raja Sindok menjadi Raja Medang yang berkedudukan di Jombang (929).
Secara resmi, kata Trenggalek digunakan dalam administrasi pemerintahan dilakukan oleh Sinuwun Pakubuwono II raja Kartasura dan raja Surakarta, saat beliau mengangkat KRT Sumotaruno sebagai adipati pertama di Trenggalek pada 1743.    Dalam administrasi pemerintahan modern, Trenggalek ditetapkan hari jadinya berdasarkan Prasasti Kamulan yang dikeluarkan Raja Srenggo Kediri, yaitu: Rabu Kliwon, 31 Agustus 1194.  Jadi, hingga 2014, Trenggalek sudah berusia 820 tahun.  Jika dihitung berdasarkan Prasasti Kampak (929) Trenggalek pada 2014 sudah berusia 1.085 tahun.  Kronologis peristiwa sejarah Trenggalek disajikan pada Tabel 1. 

PENGGABUNGAN TRENGGALEK DENGAN TULUNGAGUNG
Status dan wilayah Trenggalek mengalami pemisahan dan penggabungan, karena itu, Trenggalek dianggap lebih muda dari Tulungagung.  Pernyataan itu tidak tepat, karena Trenggalek sudah ada jauh sebelum Tulungagung tercatat dalam prasasti. Namun secara politik, Trenggalek mengalami pasang surut bahkan sempat dimasukkan dalam wilayah Tulungagung dan wilayah Pacitan. 
Pada 1743, ketika KRT Sumotaruno diangkat Bupati Pertama di Trenggalek, wilayah Trenggalek meliputi wilayah yang sekarang. KRT Sumataruno ialah putra Adipati Ponorogo yang berjasa mendampingi Sinuwun Paku Buwono II selama di pengasingan di Ponorogo saat pemberontakan Sunan Kuning meletus. Saat di pengasingan itu, Sinuwun Paku Buwono II juga mendapat perlindungan dari Kyai Kasan Besari pimpinan pondok pesantren di Tegal Sari, Jetis Ponorogo Selatan. Pada 1755, ketika perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Sunan Pakubuwono II, VOC dan Pangeran Mangkubumi, Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya sebagian diberikan ke Kabupaten Ngrowo, Pacitan, dan Ponorogo.  Dalam penentuan wilayah mancanegara untuk pembagian wilayah Kasunanan Solo dan Kasultanan Yogjakarta, Trenggalek tidak disebutkan. Yang ada ialah Ponorogo karena Trenggalek dianggap sebagai bagian dari Ponorogo.  Pembagian wilayah mancanegara menurut Perjanjian Giyanti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1.  Kronologis Sejarah Trenggalek sejak zaman kerajaan.
No
Tahun
Peristiwa Sejarah
1
929
Prasasti Kamsyaka/Kampak dikeluarkan Raja Sindok. Mengesahkan daerah Kampak, Munjungan, Panggul, Watulimo sebagai daerah otonom bebas pajak.
2
1032
Prasasti Baru dikeluarkan Raja Airlangga; prasasti memberi status sima parasima untuk Desa Baruharjo Durenan sekarang karena masyarakat membantu pasukan raja saat menyerbu ke Raja Hasin di Ngasinan, Kelutan.
3
1194
Prasasti Kamulan dikeluarkan Raja Srenggo Kediri; prasasti memberi status daerah otonom di Kamulan, Lereng Gunung Cilik Kalangbret, Semarum, Pogalan, Parakan, Tugu, Pule dan Tangkil perbatasan Pacitan.
4
1478-1489
R Joko Lengkoro atau Mbah Kawak adik Betoro Katong putra Brawijaya V diberi daerah lungguh di desa Bagong Trenggalek.
5
1528
Batoro Katong memberi gelar Demang untuk Ki Aeng Posong di Pacitan, Demang Surohandoko di lereng Wilis dekat Bandungan, dan Menak Sopal di Bagong membantu Joko Lengkoro.
6
1743
Sinuwun Paku Buwono II mengangkat KRT Sumotaruno sebagai Bupati I Trenggalek.
7
1755
Nama Kabupaten Trenggalek dicatat sebagai daerah Mancanegara Kasunanan Surakarta.
8
1755-1830
Trenggalek digabung wilayahnya dengan Ponorogo dan Pacitan; Trenggalek dipimpin “pengageng Trenggelek” keturunan Joko Lengkoro bernama Singonegoro.
9
1845
Trenggalek dikembalikan sebagai daerah otonom berdasarkan SK Gubernur Jendral Hindia Belanda di bawah pengawasan Asisten Residen Trenggalek.
10
1885
Keluar Staatsblad van Nederlandsch dan SK Gubernur Hindia Belanda 30 Mei 1885 tentang batas wilayah Trenggalek dan Toelong Ahoeng. Kabupaten Ngrowo dan Kabupaten Kalangbret disatukan menjadi Toeloeng Ahoeng.
11
1885-1932
Trenggalek dipimpin Bupati dan Patih; wilayah yang digabung dengan Pnorogoro dan Pacitan disatukan kembali.
12
1933
Bupati Poesponegoro wafat dan Trenggalek dihapuskan untuk digabungkan dengan Tulungagung.
13
1950
Trenggalek dijadikan daerah otonom lagi dan semua wilayah dikembalikan lagi seperti sekarang.

Data pata Tabel 2 menunjukkan bahwa pembagian wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tidak berurutan dan tampak kacau.  Misalnya, Blitar masuk Surakarta tetapi Tulungagung masuk Yogyakarta.  Madiun, Magetan, Caruban ialah wilayah mancanegara Yogyakarta; Ponorogo, Nganjuk, Kediri masuk Surakarta tetapi Kertosono masuk Yogyakarta.  Pembagian ini didasarkan pada politik pecah belah (divide et impera) agar persatuan kerajaan sulit dipelihara.  Sejak  Pangeran Mangkubumi mendapat wilayah Kasultanan Yogyakarta, Belanda menentukan bahwa setiap pengangkatan raja atau adipati harus mendapat izin dan persetujuan Belanda.  Zaman Paku Buwono II itu juga terjadi perpindahan kraton yang semula berada di Pajang Kartasura dipindahkan ke Surakarta sampai sekarang. 
Tabel 2.  Wilayah Mancanegara Kasunanan Kartasura dan Kasultanan Yogyakarta

No
Kasunanan Kartasura
Kasultanan Yogyakarta
1
Negara Gung/Kota Raja
Negara Gung/Kota Raja
2
Jagaraga (Ngawi)
Madiun
3
Ponorogo
Magetan
4
Separoh Pacitan
Caruban
5
Kediri
Separoh Pacitan
6
Blitar
Kertosono
7
Srengat
Kalangbret
8
Lodoyo
Ngrowo
9
Pace (Nganjuk)
Japan (Mojokerto)
10
Wirasaba (Mojoagung)
Jipang (Bojonegoro)
11
Blora
Teraskaras (Ngawen Semarang)
12
Kaduwang
Selowarung (Wonogiri)
13
Banyumas
Grobogan
Sumber: Perjanjian Giyanti 1755

Akibat perjanjian tersebut, nama Trenggalek dihapuskan.  Daerahnya dimasukkan wilayah  Mancanegara Kasunan Surakarta dan wilayahnya dibagi menjadi dua, bagian timur masuk daerah Ngrowo dan bagian selatan dan barat masuk kabupaten Pacitan.
Pada 1830 Belanda mengambil alih wilayah Surakarta dan Yogjakarta. Pada 1842 nama Kabupaten Trenggalek secara jelas disebutkan dalam arsip nasional. Dijelaskan Bupati Trenggalek Mangunnagoro wafat pada 1842 dan digantikan oleh Ariyo Kusumoadinoto (1842-1843). 
Pada 1845 wilayah Trenggalek disatukan kembali oleh Belanda.  Pada 1883 Mangunnagoro I diangkat bupati Trenggalek berdasarkan SK Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 10 Januari 1883, tentang wilayah perkebunan di  Trenggalek.  Berdasarkan SK tersebut wilayah Trenggalek yang sebelumnya masuk wilayah Ngrowo dikembalikan ke wilayah Trenggalek lagi.
Pada 1885, ditentukan batas-batas wilayah kabupaten oleh Gubernur Hindia Belanda berdasarkan Statsblad van Nederlanch Indie No, 107, tanggal 4 Juni 1885 dan SK Gubernur Jendral tanggal 30 Mei 1885 No. 4/C tentang batas-batas Toelong Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek, dan Kertosono.  Wilayah Trenggalek yang dikembalikan meliputi: 
1.          Kecamatan Wonocoyo, Kecamatan Dongko dan Kecamatan Gepok. Wilayah tersebut dimasukkan dalam Kawedanan Panggul. 
2.          Kecamatan Ngrayung (sebelumnya masuk Kawedanan Lorok Ponorogo, dan Bendungan (sebelumnya masuk Kawedanan Pulung Pacitan), disatukan ke dalam Kawedanan Trenggalek. 

Sebelumnya Trenggalek berada di bawah kepemimpinan Asisten Residen Ngrowo.  Berdasarkan SK tersebut,  pengawasan Trenggalek tidak lagi digabung dengan Kabupaten Ngrowo, tetapi langsung di bawah pimpinan Asisten Residen Trenggalek.  Saat itu, wilayah Trenggalek dibagi ke dalam 6 distrik dan dipimpin 6 Wedono. 
  1. Distrik Trenggalek, wilayahnya: Ngantru, Pogalan, Sumurup, Bendungan
  2. Distrik Ngasinan, wilayahnya: Karangan, Ngetal, Pucanganak, Winong, Jombok.
  3. Distrik Pakis, wilayahnya: Durenan, Jongke, Kamulan
  4. Distrik Kampak, wilayahnya: Bendo, Wonorejo, Watulimo, Ketawang
  5. Distrik Ngrayun, wilayahnya: Ngrayun, Pule, Cepoko
  6. Distrik Panggul, wilayahnya:  Panggul, Munjungan, Dongko, Tangkil

Ternyata penggabungan tersebut belum berakhir. Pada masa RT Partowidjojo (1896-1901) menjabat Bupati Tulungagung, dilakukan penggabungan dan penghapusan Trenggalek. Pertimbangan geografis dan kondisi alam menjadi alasan utama penggabungan tersebut.  Saat itu Tulungagung sering dilanda banjir. Belanda memerintahkan agar Kabupaten Blitar menyumbang daerah Ngunut untuk dimasukkan ke wilayah Tulungagung, Kabupaten Ponorogo menyumbangkan daerah Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan menyumbangkan daerah pantai di antaranya Ngrayun, Panggul dan Jombok. 
Kebijakan ini menyebabkan Trenggalek dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Tulungagung. Setelah Bupati Trenggalek KRT Poesponegoro wafat pada 1934 kabupaten Trenggalek dihapus lagi dan  wilayahnya diberikan ke kabupaten Tulungagung dan Pacitan.  Jika konteks ini dirujuk, definisi “pitulungan agung” (pertolongan besar) justru diberikan untuk Tulungagung, bukan Tulungagung yang pemurah dan memberi pertolongan. Selain itu, pemaknaan Trenggalek sebagai “teranging galih” (hati nurani yang bersih) juga tidak cocok dengan konteks.  Bersambung pada bagian 3 pada budiharsoteguh.blogspot.com.




MENGUJI AKURASI KERAJAAN LODOYONG DI TULUNGAGUNG
(Bagian Terakhir)

Teguh Budiharso
Available at: budiharsoteguh.blogspot.com


PENGANTAR
            Siwi Sang yang mengaku sebagai penulis novel sejarah, dengan bangga menyebutkan pada akhir pemerintahan Raja Airlangga 1042 terdapat kerajaan di Selatan Sungai Brantas yang merdeka dan bebas dari pengaruh Kerajaan Panjalu dan Jenggala.  Kerajaan itu disebut Lodoyong atau Kamal Pandak atau Tulungagung sekarang dan rajanya seorang wanita bergelar Ratu Dyah Tulodong. Dyah Tulodong menikah dengan kerabat Raja Airlangga dan mendapat gelar Rakai Halu Dyah Tumambong.   Bak membaca novel, alur cerita tulisan Siwi Sang yang dimuat di blog tersebut terasa begitu mulus sampai akhirnya terlupakan sumber dan rujukannya. 
            Jika artikel itu dicermati, agaknya terdapat spekulasi imajinatif untuk mengidentifikasi wilayah Tulungagung sebagai daerah bebas merdeka.  Menurut Siwi Sang, Tulungagung memiliki peran besar dalam panggung sejarah dan memiliki wilayah yang sangat luas, mulai dari perbatasan Turen Malang dengan Lodoyo di Blitar sampai pegunungan Kampak, Munjungan, Dongko, dan Panggul. Jadi, wilayah Tulungagung meliputi Blitar, seluruh Tulungagung dan Trenggalek jika dideskripsikan untuk wilayah sekarang atau tahun 2014 saat tulisan ini dibuat. Siwi Sang menulis:
             
“Pada masalalu, yang dinamakan wilayah brangkidul Tulungagung adalah daerah di selatan sungai Brantas, mulai alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan Turen atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan Trenggalek, termasuk Kampak dan Karangan- sampai tahun 1950M, Karangan dan Kampak masuk Tulungagung”.

            Kajian ulang terhadap Prasasti Terep, Prasasti Pucangan, dan penelitian untuk disertasi oleh Dr. Ninie Susanti (2010) serta ulasan oleh Dr. Aris Munandar (2013) dan Prof. Dr. Slamet Mulyono (2006) tidak ditemukan raja Lodoyong dan identifikasi wilayah selatan sebagai Tulungagung.  Selain Panjalu dan Janggala, pada saat itu tidak cukup bukti bahwa terdapat kerajaan merdeka yang bernama kerajaan Lodoyong.  Apalagi ada raja wanita di kerajaan Lodoyong yang bergelar Ratu Dyah Tulodong yang kemudian diangkat menjadi petinggi kerajaan oleh Airlangga karena perkawinan dan mendapat gelar Rakai Halu Dyah Tumambong.  
            Sejauh mana akurasi “fiksi sejarah” tersebut untuk digunakan sebagai landasan “Babon Sejarah Tulungagung” akan kita uji dalam deskripsi berikut ini. 

TULUNGAGUNG JAUH LEBIH MUDA DIBANDING TRENGGALEK
            Kata Tulungagung yang menunjukkan wilayah kebupaten baru digunakan pada 1885, dengan sebutan Toelong Ahoeng.  Tulungagung dibentuk berdasarkan SK Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 4 Juni 1885 dan SK Gubernur Jendral tanggal 30 Mei 1885 No. 4/C tentang batas-batas Toelong Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek, dan Kertosono.  Sebelum itu, kabupaten Tulungagung disebut dengan Kabupaten Ngrowo di Campurdarat dan Kabupaten Kalangbret di Kalangbret sekarang.  Kedua daerah ini wilayahnya terdiri dari rawa-rawa sehingga ketika keduanya digabung menjadi Kabupaten Tulungagung, diperlukan bantuan wilayah dari Blitar, Trenggalek dan Kediri. 
            Kebijakan ala Belanda ini berlanjut sampai tahun 1950 setelah zaman kemerdekaan.  Embrio permasalahan terjadi pada 1933 setelah bupati terakhir kabupaten Trenggalek, KRT Poesponegoro sebagai Bupati yang diangkat Belanda wafat.  Data ini bisa dibaca dari naskah nasional berupa SK dan Dokumen Belanda yang tersimpan di museum nasional Jakarta.  Berdasarkan dokumen tersebut kita bisa mengetahui bahwa intrik politik ini terjadi akibat intervensi Belanda yang akan masuk lagi menjajah Indonesia dan pergolakan politik sebelum pecahnya pemberontakan PKI. 
            Sebelumnya juga telah diuraikan bagaimana “pergolakan” kepentingan “memperlakukan” Trenggalek dalam kancah politik sejak zaman perpecahan dinasti Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, dan Kasunanan dengan Mangkunegaran di Surakarta, serta Kasultanan dengan Pakualaman di Yogyakarta.  Kesempatan dalam kesempitan Belanda mengambil alih kekuasaan dan mengatur wilayah mancanegara kedua kerajaan utama dinasti Mataram tersebut agar menguntungkan Belanda. 
            Apakah wilayah Lodoyong membentang sedemikian luas dari Turen sampai Kampak yang melintasi seluruh pesisir kidul di Trenggalek?  Tidak cukup bukti untuk mengklaim seperti itu.  
            Kata Lawadan daerah Campurdarat baru tercatat dalam Prasasti Raja Srenggo pada 1205, yang berarti 11 tahun lebih muda dibanding Prasasti Kamulan yang dikeluarkan juga oleh Raja Srenggo pada 1194.  Karena Lawadan ada di Campurdarat, bisa dipastikan bahwa daerah itu masuk dalam Kabupaten Ngrowo.  Pada zaman Singasari (1222-1292) Ayahanda Prabu Rajasa didarmakan di Kalang Barat. Prasasti Mula Malurung baris ke-enam menyebutkan:

“ di. Muwah ri kala kapratista nira yuyut-ira. nkane san hyan dharmma ri kalang bret. San pranaraja pinaka pura”

            “juga ketika pendirian bangunan suci untuk buyut lelaki sang prabu, ia yang
didarmakan di Kalangbret, sang pranaraja sebagai ... “

Kutipan di atas ialah penjelasan mengenai leluhur Prabu Seminingrat atau Prabu Jaya Wisnu Wardhana (1248-1254) anak Anusapati. Kutipan tersebut menjelaskan buyut beliau yang dicandikan di Kalang Bret.  Buyut yang dimaksud ialah Ayahanda Ken Angrok atau Raja Rajasa. Seseorang yang diberi penghormatan untuk dicandikan hanyalah raja atau kerabat dekat raja.  Jadi Ayahanda Ken Angrok ialah raja atau kerabat dekat raja.  Karena zaman itu hanya ada kerajaan Kediri, bisa disimpulkan Ayahanda Prabu Rajasa ialah raja atau kerabat dekat raja di Kediri.  Kalang Bret zaman Singosari ialah bagian dari wilayah Doho Kadiri dan disebut Kalang Barat.  Secara geografis, Kalang Barat dan Trenggalek menjadi satu wilayah dilihat dari lereng Wilis bagian Barat dan Selatan, mulai dari Gunung Rajeg Wesi sampai Bendungan dan Palung Ponorogo.  Kalang Barat dimasukkan menjadi wilayah Tulungagung pada 1885 ketika Belanda menetapkan batas wilayah Trenggalek, Toloeng Ahoeng, Nganjoek, dan Kertosono.  Itulah sebabnya Prasasti Penampihan diidentifikasi sebagai Prasasti yang ditemukan di Kediri, bukan Tulungagung walaupun sekarang lokasi candi Penampihan masuk dalam wilayah Tulungagung.    
Di Wilayah Desa Turi Kecamatan Sendang Tulungagung terdapat candi Penampihan yang diperkirakan didirikan padazaman Raja Dyah Tulodong.  Tapi Wilayah candi Penampihan ini sejak Mataram Kuno termasuk wilayah kerajaan Kediri.  Dari berbagai prasasti Mataram Kuno kita mengetahui bahwa perhatian ke wilayah Kediri sudah terjadi sejak awal kerajaan Mataram karena Kediri merupakan daerah penting dalam rute perjalanan ke Hujung Galuh menuju Bali.  Selain itu, Kediri ialah kota kuno sejak zaman itu karena kesejarahan Gunung Wilis.  Kesejarahan gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Arjuno, Gunung Mahameru, dan anak pegunungan di Wengker, Kampak, Pacitan,  dalam mitologi Hindu memiliki peranan amat penting dalam perjalanan pemerintahan. Gunung Lawu ialah pusarnya tanah Jawa dan dianggap sebagai tempat berkumpulnya pada dewa. Gunung Lawu ada di tiga kabupaten sekarang: wilayah selatan masuk Karanganyar Jawa Tengah, bagian Timur masuk Magetan, dan utara masuk Ngawi. Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Prabu Brawijaya.    
Penyebutan yang lebih kemudian mengenai daerah Tulungagung baik dengan nama Ngrowo atau Kalang Bret terdapat dalam Negarakartagama yang dikeluarkan pada zaman Prabu Hayam Wuruk  (1350-1389). Disebutkan bahwa Prabu Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Pantai Selatan melewati hutan Lodoyo. “Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan sepanjang jalan, mendaki kayu-kayu mengering kekurangan air tak sedap dipandang, maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal di sana, tertegun pada keindahan pantai laut dijelajahi menyisir pantai” (Negarakartagama, 241).  
Pada zaman raja Srenggo di Kediri melalui Prasasti Kamulan (1194) kita tahu bahwa wilayah lereng gunung di Kalangbret termasuk bagian dari perdikan Kamulan Trenggalek.  Pada zaman Majapahit akhir, Demak, Pajang, Mataram dan Kasunanan Surakarta, Tulungagung masih disebut dengan Ngrowo dan Kalangbret.  Berdasarkan bukti-bukti ini bisa ditegaskan bahwa daerah di kota Tulungagung yang tercatat pertama kali dalam prasasti Raja Srenggo Kediri pada 1205 ialah Lawadan di Campurdarat.   
            Uraian di atas cukuplah kiranya untuk membuktikan bahwa Lodoyong bukan Tulungagung.  Jika merujuk pada kemiripan nama, justru yang menyerupai nama Lodoyong ialah Lodoyo di Blitar.  Tidak cukup bukti bahwa Lodoyong ialah kerajaan di brang Kidul yang disebut Tulungagung.  Jika merujuk pada kondisi seluruh Wilayah Trenggalek yang sudah menerima status otonom sejak zaman Raja Sindok 929, kemungkinan kerajaan Brang Kidul itu justru ada di Trenggalek atau Lodoyo, Blitar.  Identifikasi Lodoyo dengan Lodoyong lebih dekat jika dirunut dalam cerita tutur lahirnya Dadak Merak dalam reyog Ponorogo.  Dadak merak yang berkepala singa dan merak itu menurut legenda terjadi akibat Raja Lodoyo yang berkepala singa disabda oleh Raja Kelono Sewandono dari Kerajaan Atas Angin di Wengker (Atas Angin sekarang di daerah Sumoroto, Ponorogo). Kisah ini dihubungkan dengan Raja Airlangga ketika di akhir pemerintahannya 1042 putri mahkota Airlangga, Sangramawijaya Tunggadewi atau Dewi Kilisuci dipersunting Raja Wengker dan Raja Brang Kidul Lodoyo. Kisah rebutan putri mahkota ini diabadikan dalam kisah Reyog Ponorogo ini.  Prabu Hayam Wuruk juga pernah menjelaskan bahwa beliau memiliki paman yang diberi daerah lungguh di Lodoyo dan merupakan kerabat dari Raja Wengker yang merupakan mertuanya, ayah Paduka Sori, permaisuri Sang Prabu setelah gagal menyunting Dyah Pitaloka putri Sunda akibat tragedi Bubat.
            Apakah wilayah Lodoyong Tulungagung meliputi perbatasan Turen Malang dengan Lodoyo sampai Kampak, Munjungan dan Panggul? Siwi Sang mengatakan:  
“Kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak. Mpu Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada daerah Kampak. Ini hampir bersamaan dengan dikeluarkannya Prasasti Anjukladang yang kelak menjadi landasan hari jadi kabupaten Nganjuk. Sebelum menjadi bagian Trenggalek, daerah Kampak masuk Tulungagung. Karenanya dapat dikatakan pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sindok, Tulungagung kembali tampil dalam pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja”.
Jawabannya ialah tidak ada dokumen atau keterangan yang menjelaskan Tulungagung memiliki wilayah sampai Kampak, Dongko, Munjungan, dan Panggul.  Munjungan dan Panggul perlu ditambahkan sekalian di sini karena Perdikan Kampak membawahi Munjungan dan Panggul.  Prasasti Raja Sindok (929) dan Prasasti Raja Srenggo (1194) menegaskan wilayah perdikan Trenggalek bahkan semakin meluas meliputi seluruh daerah Trenggalek sekarang.  Ini menegaskan bahwa Trenggalek adalah wilayah penting dari Kediri karena berada di lereng Gunung Wilis melalui Bendungan.  Selain itu, Lodoyo ialah daerah perdikan tersendiri dan menjadi bagian dari Blitar.  Jadi, Lodoyo bukan bagian dari Tulungagung.
Dalam pernyataan mengenai daerah merdeka yang diidentifikasi sebagai kerajaan yang otonom selain Tulungagung, Siwi Sang nampak kurang cermat.

“Ketika Medang i Bhumi Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin”.
           
Letak Kerajaan Hasin yang tepat ialah di dusun Ngasinan, Desa Kelutan Trenggalek Kota.  Di Ngasinan terdapat sungai Ngasinan yang mengalir kearah timur dan berpangkal dari Gunung Wilis di Kecamatan Bendungan.  Hasin ada pada zaman Raja Airlangga (1019-1042) sedangkan Kamulan disebut dalam prasasti Kamulan (1194) pada zaman Raja Srenggo Kediri.  Jika Kamulan ada di Durenan, mengapa batas wilayah Lodoyong diklaim sampai ke Kampak?

RATU DYAH TULODONG
            Pernyataan bahwa ada Ratu di kerajaan Lodoyong bernama Dyah Tulodong sungguh menarik untuk dikaji.  Menurut Siwi Sang raja Lodoyong ialah ratu putri bernama Dyah Tulodong.  Dyah Tulodong dikalahkan Airlangga tetapi diberi pengampunan dan bahkan dinikahkan dengan kerabat Airlangga dan mendapat gelar Rakai Halu Dyah Tumambong.  Pasukan Lodoyong kemudian bersama-sama menyerang raja Wura-Wari di Cepu (Lwaram).  Beberapa kerajaan vasal atau haji (raja kecil semacam rakyan, akuwu, atau adipati) menggunakan kata Lwa, misalnya Lwa Arang untuk Lawang, Malang; Lewa untuk kerajaan vasal kerajaan Wengker.   
            Pembacaan prasasti Pucangan yang cukup cermat mengenai perjalanan Airlangga dalam menundukkan musuh-musuhnya antara 1029-1035 tidak mendukung deskripsi tersebut. Dr. Ninie Susanti (2010:98-99) menjelaskan:
  1. Tahun 1029, Airlangga mengalahkan Raja Wisnuprabhawa dari kerajaan Wuratan.  Raja ini disebut sebagai anak raja yang ikut menyerang Teguh Darmawangsa.
  2. Pada 1030, Raja Airlangga mengalahkan Raja Hasin di Trenggalek. Airlangga menganugerahkan Desa Baruharjo sebagai daerah sima. 
  3.  Tahun 1031, Airlangga mengalahkan haji Wengker (kerajaan vasal Wengker) di keraton Lewa bernama Raja Panuda.  Raja Panuda sempat melarikan diri tetapi dapat dikejar dan dihancurkan bersama-sama anak dan kratonnya pada tahun itu juga.
  4. Tahun 1032, Haji Wura-Wari dihancurkan juga oleh Airlangga dari arah Magetan. Saat yang sama,  Airlangga diserang Ratu Wanita yang kekuatannya seperti raksasa.  Airlangga kalah dan melarikan diri di desa Patakan Lamongan, tetapi Airlangga berhasil menuntut balas dan menghancurkan Raja Wanita tersebut pada tahun yang sama.  Atas kemenangan tersebut, Airlangga memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong dan diberi gelar tambahan Rakai Halu Dyah Tumambong. 
  5. Pada 1035 Raja Wijayawarma dari Wengker memberontak lagi tetapi bisa dibinasakan pada tahun yang sama.

Fakta di atas menunjukkan bahwa tidak cukup bukti untuk mengidentifikasi ratu perempuan di kerajaan Lodoyong bergelar Ratu Dyah Tulodong. Bahkan penyamaan Dyah Tulodong dengan Dyah Tumambong ialah spekulatif sekali. Prasasti tidak menyebutkan siapa raja wanita tersebut.  Yang jelas disebutkan ialah Airlangga memberi anugerah kepada Mapanji Tumanggala  yang dianggap sebagai adiknya dengan gelar Rakai Halu Dyah Tumambong.  Jadi keliru besar jika Rakai Halu Dyah Tumambong diidentifikasi sebagai gelar ratu wanita yang menyerang Airlangga dan diampuni lalu dinaikkan pangkatnya.
Menurut prasasti Lintakan (919) Dyah Tulodong ialah menantu Mpu Daksa yang menggantikan sebagai raja bergelar Rakai Layang Dyah Tulodong. Saat itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu Kettuwijaya dan Rakai Halu ialah Mpu Sindok.  Prasasti Sangguran tertanggal 2 Agustus 928 menyebut adanya raja baru bernama Rakai Sumba Dyah Wawa. Ia diyakini sebagai raja pengganti Dyah Tulodong. Prof. Buchori meyakini Dyah Wawa melakukan kudeta terhadap Dyah Tulodong dibantu dengan Mpu Sindok.  Diperkirakan Dyah Wawa terbunuh karena hanya berjarak satu tahun Mpu Sindok memindahkan kerajaan yang waktu itu berpusat di Kedu ke Tembalang Jombang (929) dan Mpu Sindok menjadi raja baru.  Fakta ini juga menegaskan bahwa telah terjadi salah identifikasi Dyah Tulodong raja Mataram menjadi Raja Lodoyong Tulungagung.  Jika di Tulungagung ada kerajaan yang rajanya bergelar Dyah, pastilah kerajaannya besar dan tercatat dalam sejarah, serta rajanya memiliki geneologi dengan raja yang menggunakan gelar sejenis.  Faktanya, raja-raja Mataram Kuno tidak ada yang membentuk koloni di Tulungagung. 
Sebelum perjanjian Giyanti, Tulungagung dan seluruh wilayah Jawa berada di bawah kekuasaan Raja Kasunanan Surakarta penerus dinasti Mataram. Setelah perjanjian itu Tulungagung menjadi wilayah Kasultanan Yogyakarta tetapi masih bernama kabupaten Ngrowo dan Kalangbret, dan dipimpin oleh bupati yang ditunjuk Sultan Yogyakarta atas persetujuan Belanda. Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Sinuwun Paku Buwono III, Pangeran Mangkubumi, dan VOC Belanda pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini merupakan  kesepakatan bahwa Pangeran Mangkubumi menghentikan pemberontakan karena mendapat separoh wilayah Mataram dan diangkat sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta bergelar Sultan Hamengku Buwono I. 

SIMPULAN
  1. Kata Trenggalek berasal dari daerah penghasil gaplek dan sebutan itu ada sejak pemerintahan Raja Dyah Wawa di Mataram Kuno (924-928). Penelusuran sejarah menunjukkan bahwa nama Trenggalek telah ada sejak Raja Sindok 929 dan seluruh wilayah Trenggalek sekarang mendapat status sima-parasima sampai zaman Majapahit dipimpin Prabu Kertawardhana.
  2. Penghapusan kabupaten Trenggalek atau penggabungan wilayah Trenggalek dengan Tulungagung, Pacitan, dan Ponorogo terjadi karena politis, yaitu sejak perjanjian Giyanti 1755 dan masa penjajahan Belanda. 
  3. Trenggalek tidak berubah namanya dari zaman Raja Sindok sampai sekarang. Kata Tulungagung baru muncul pada 1885 dan merupakan nama baru penggabungan Kabupaten Ngrowo dan Kalangbret. 
  4. Daerah dalam wilayah Tulungagung, yaitu Lawadan disebut dalam prasasti tertua yang dikeluarkan Raja Srenggo Kediri pada 1205; Kampak sebagai wilayah Trenggalek disebut dalam Prasasti Kampak pada 929 dan Baruharjo Durenan disebut dalam Prasasti Kamulan pada 1194. Jadi Trenggalek jauh lebih dulu disebutkan dalam prasasti dibanding Tulungagung. Makna pitulungan agung yang tepat ialah Tulungagung telah ditolong oleh Trenggalek, Kediri dan Blitar karena disumbang beberapa wilayah. 
  5. Berdasar kajian ini, terdapat informasi dan data yang tidak akurat mengenai Sejarah Tulungagung sehingga teks tersebut perlu direvisi. Sebaliknya Trenggalek sudah berusia 820 tahun atau 1085 tahun, tetapi belum cukup dewasa memperlakukan sejarahnya. 

DAFTAR PUSTAKA
Babad Tanah Jawi: Mulai Nabi Adam sampai Tahun 1647.  2012. Yogjakarta:
Penerbit Narasi. Alihbahasa oleh HR Sumarsono.
Badio, Sabjan. 2012.  Menelusuri Kesultanan di Tanah Jawa.  Yogjakarta: Penerbit
Aswaja Pressindo.
Bayu, Adji Krisna. 2012.  Raja-Raja Jawa dari Kalinga hingga Kasultanan
Yogyakarta. Yogjakarta: Penerbit Araska.
Budiharso, Teguh & Solikhah, Imroatus. 2014.  Rekonstruksi Sejarah Trenggalek.
Makalah. 
Manuskrip  Silsilah Keturunan Batoro Katong dan Adipati Trenggalek. 
Moentadhim, Martin. 2010.  Pajang: Pergolakan Spiritual, Politik dan Budaya.
Jakarta: Penerbit Genta Pustaka.
Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit.
Yogjakarta: Penerbit LeKdis.
Pemerintah Kabupaten Trenggalek. 1982.  Sejarah Kabupaten Trenggalek.
Purwadi. 2008.  Babad Giyanti: Konflik Kerajaan Mataram menjadi Surkarta dan
Yogjakarta.  Yogyakarta: Penerbit Media Abadi.
Purwadi. 2010. Sejarah Sastra Jawa Klasik.  Yogyakarta: Panji Pustaka.
Samroni, dkk.  2010.  Daerah Istimewa Surakarta.  Yogyakarta: Penerbit Pura
Pustaka.
Sujarweni, Wiratna. 2012.  Jelajah Candi Kuno Nusantara. Yogjakarta: DIVA Press.
            Susanti, Ninie. 2010.  Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta:
                        Penerbit Komunitas Bambu.
            Suwardono. 2013.  Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok.  Yogyakarta: Penerbit
                        Ombak.
            Riana, Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa
Keemasan Majapahit.  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
           



5 komentar:

  1. Bapak Teguh Budiharso, Yth.
    Terimakasih atas share tulisan hasil kajian Bapak mengenai Sejarah Trenggalek, kami yng muda menjadi tambah wawasannya. Mohon ijin untuk share ulang di akun fb kami (Smaneska Trenggalek) Bapak?. Terimakasih atas ijinnya (Mujiono Leo/admin)

    BalasHapus
  2. Dengan senang hati saya mempersilakan artikel ini dishare ke siapa saja. Jika ada isi yang kurang pas atau salah, saya juga dengan senang hati untuk mengoreksi. Saya sedang mempersiapkan lagi naskah lain tentang Trenggalek yang lebih komprehensif tapi datanya masih dikonrifmasi dengan data-dta di Belanda, Inggris dan New York, Mohon doanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Atas Konfirmasinya Bapak, Semoga Sukses selalu dalam beraktivitas bersama keluarga tercinta. Aamiin..dan kami tunggu Naskah Tentang Trenggalek selanjutnya cepat selesai..

      Hapus
  3. Luar Biasa. Tulisan seperti tulisan Bapak Teguh ini sudah sangat sulit ditemukan di jaman sekarang, apalagi disampaikan secara ilmiah.

    BalasHapus
  4. Bapak Teguh Budiharso Yth. Klo boleh sedikit koreksi mengenai geplak yang terbuat dari "ketela pohon (singkong)". Menurut sejarah yang sy baca juga singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Portugis sekitar tahun 1810 Masehi.

    BalasHapus