Selasa, 20 Mei 2014

SAUSSURE PELOPOR LINGUISTIK MODERN

Teguh Budiharso


            F. de Saussure sejajar dengan Sigmund Freud dan Emile Durkheim, pelopor psikologi dan sosiologi modern. Hasil pemikiranya di bidang linguistik telah “menjungkir balikkan” kebenaran paradigma lama yang didasarkan pada konsep Newton dan Darwin. Pemikiran Saussure dikembangkan oleh ahli lain seperti Chomsky dan Bloomfield, walaupun tidak banyak yang secara kritis mengkaji bahwa bermula dari pikiran Saussure-lah, paradigma linguistik modern dikembangkan. Tulisan ini mencoba mengkaji komentar para ahli mengenai pandangan Saussure  dari tiga sisi: riwayat hidup, pandangan Saussure dan komentar terhadap teori Saussure.

RIWAYAT HIDUP
            Mongin-Ferdinan de Saussure lahir di Genewa pada 26 November 1857 dari keluarga protestan Perancis (Huguneot). Usia 15 tahun menulis essay ”Essay sur les languages” dan pada 1874 mulai belajar bahasa Sansakerta. Mula-mula ia belajar fisika dan kimia di Universitas Jenewa, kemudian belajar bahasa di Leipzig pada 1876-1878 dan di Berlin pada 1878-1879 dari tokoh besar linguistik Brugmann dan Hubchmann. Ketekunan belajar linguistik dari ahli bahasa sebelumnya ini, dikatakan Kridalaksana (1988:2) sebagai awal yang cemerlang untuk mengembangkan teorinya. Misalnya, pandangan Saussure nampak jelas terpengaruh oleh karya linguis Amerika, William Dwight Whitney (1875) yang berjudul “The Life And Growth of Language: An Outline Of Linguistic Science. Usia 21 (1878) ia menerbitkan artikel berjudul ”catatan tentang sistem vokal purba dalam bahasa Indo-Eropa”. Dua tahun kemudian (1880) memperoleh gelar doctor dari Universitas Leipzig dengan disertasi berjudul ”De I’emploi Du Gentif Absole En Sanserit”. Usia 24, ia mengajar di Paris untuk mata kuliah bahasa Sansakerta, Gotik, dan Jerman Tinggi Kuno. Pada 1891, ia pindah ke Jenewa dan mengajar bahasa Sansakerta, linguistik historis kompratif, dan linguistik umum sampai meninggal pada 22 Februari 1913. Konsep-konsep yang diajarkan mencakup (1) perbedaan antara languge dan parole, (2) penyelidikin asosiatif dan sintagmatik, dan (3) hakikat isi dan bentuk. Saussure sendiri tidak pernah menulis buku. Tiga seri kuliahnya dikumpulkan oleh mahasiswa kemudian diterbitkan pada tahun 1916 dengan judul “general course in linguistics”

PANDANGAN SAUSSURE
            Teori Saussure dilihat dari perkembangan linguistik terbukti merupakan paradigma yang berhasil menjungkirbalikkan paradigma sebelumnya. Pertanyaan ontologis mengenai “apa sebenarnya hakekat bahasa?” tidak bisa dijawab oleh paradigma lama. Saussure menjawab pertanyaan tersebut dengan menunjukkan bahasa sebagai fakta sosial. Saussure mambagi bahasa dalam dikotomi: dyacronic vs synchronic, langue vs parole, form vs substance, signifier vs signified, paradigmatic vs syntacmatic. Konsep ini secara  umum menjelaskan bahwa studi bahasa tidaklah berfokus pada sejarah perbandingan bahasa semata, tetapi juga bentuk-bentuk bahasa yang digunakan pada saat tertentu. Bahasa diproses dalam pikiran dalam bentuk konsep sehingga merupakan linguistic competence dan diutarakan dalam bentuk ujaran. Karena itu, bahasa terdiri dari aturan-aturan bahasa yang membentuk ide dan isi dari ide yang akan disampaikan. Dalam hal ini, bentuk merupakan hal yang lebih penting dibandingkan isi. Selanjutnya, dalam kenyataan sosial, bahasa disampaikan dalam bentuk lambang yang akan ditangkap oleh penerima bahasa sesuai dengan kemampuan linguistiknya. Jika bahasa tersebut dianalisis formnya, akan terjadi hubungan substitusi antara kata satu dengan kata yang lain, dan berdasarkan bagaimana kata itu digunakan terhadap masyarakat penggunanya.
            Dalam paradigma sebelumnya, kajian terhadap bahasa didasarkan pada paradigma hukum fisika mekanistis dari Newton dan hukum biologi Darwin the origin of species. Karena itu, pikiran-pikiran Saussure ini terbukti merupakan paradigma baru bidang linguistik yang telah menjungkirbalikkan paradigma yang sebelumnya diakui kebenarannya. Wahab (1995), Culler (1974), dan Kridalaksana (1979) telah membuktikan bahwa paradigma linguistik sebelum abad 19 memang belum terbentuk. Saat itu, kajian bahasa ditekankan pada kajian bentuk-bentuk gramatika seperti nampak pada zaman Yunani kuno (500 SM). Studi-studi pada zaman ini dikemukakan oleh Wahab (1990:2-10) mencakup di antaranya Herodotus (dialek Yunani), Plato (anoma dan rhema), Plato perkembangan anoma dan rhema, konjugasi, artikel, tense), Zeno (300 SM), dan Dionusyus Thrax (gramatika tradisional). Seterusnya pada zaman pertengahan (13M), muncul kaum modistai melahirkan konsep modus, mode dan mood. Barulah setelah Jones mengkaji famili bahasa Yunani, Latin, dan Sansakerta dalam Maharadharmasasra, ide mengenai famili bahasa dikembangkan oleh para sarjana pada abad 19. Dengan demikian sejak zaman yunani kuno hingga abad 19, belum ada paradigma linguistik yang menjawab pertanyaan ontologis apa hakikat bahasa. Barulah setelah munculnya Saussure, paradigma linguistik itu dikemukakan.
 
KOMENTAR TEORI SAUSSURE
            Saussure  walaupun diakui sebagai tokok linguistik modern, pandangan-pandangannya yang merupakan paradigma linguistik modern kurang diperhatikan. Tokoh yang dianggap sebagai revolusioner di bidang linguistik disebut-sebut ialah Noam Chomsky (1928). Namun, pandangan seperti ini telah mengundang keprihatinan para sarjana. Wahab (1995) menyatakan bahwa konsep-konsep bahasa seperti “language competence, language performance, deep structure, surface structure, dalam terminologi ”generative transformational grammar,” telah dianggap murni temuan Chomsky. Padahal, lanjut Wahab (1995:18-19), Chomsky hanya mempopulerkan istilah-istilah yang sudah ada sebelumnya setelah mengkaji karya –karya Descartes (1596-1650), Juan Harte (1600), Humbolt (1776-1835) dan Port Royal Grammar (1660). Chomsky prihatin karena para cerdik pandai zaman itu begitu saja menerima aliran psikologi kefaalan, menganggap mesin lebih canggih dari pada intelektual manusia di bidang bahasa, dan menganggap benar seluruhnya kerangka Skinner mengenai hubungan rangsangan- tanggapan. Gagasan mentalisme, terutama kompetensi linguistik, segi kreatif pemakaian bahasa, struktur dalam dan struktur luar bahasa, diambil dari Descartes, Harte, Humbolt dan Port Royal Grammar.
            Teori Saussure tidak diragukan telah memberi sumbangan terutama di bidang sosiolongistik walaupun ada sarjana mutakhir mempertentangkan pendapat ini. Misalnya, dikotomi diakronis dan sinkronis tidak selamanya terpisah. Selama itu, Pike membuktikan bahwa bahasa bukan hanya sistem relasi (form), melainkan juga sistem satuan (substansi). Lebih dari itu menurut Kridalaksana (1988:23-24) jasa  Saussure memang tidak terletak  pada segi-segi yang terinci selain melahirkan pada dasar-dasar filosofis ilmu linguistik. Pandangan ini telah meletakkan prinsip teori tentang bahasa dan menyediakan kerangka bagi linguistik modern. Penyajian yang sugestif, merangsang dan tidak dogmatis membuka peluang luas untuk mengkaji linguistik sebagai ilmu yang kaya akan wawasan. Kata Bloomfield (1923:317-319): ”the value of the course lies in its clear and religious demonstration of fundamental principles…. .the essential point,….. is that de Saussure…has given us the theoretical basis for a science of human speech.”









Tidak ada komentar:

Posting Komentar