Rabu, 21 Mei 2014

MELURUSKAN SEJARAH TRENGGALEK PENGHASIL GAPLEK



PENGANTAR
            Tulisan ini bertujuan memberi urun rembug mengenai sejarah Trenggalek, salah satu kabupaten di Jawa Timur,  yang telah banyak ditulis baik secara resmi maupun tidak resmi.  Berbagai tulisan yang muncul tersebut, ternyata tidak menunjukkan simpulan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga versi sejarah Trenggalek beraneka ragam. 
            Sejauh yang bisa penulis gali, tulisan-tulisan tersebut didasarkan pada cerita tutur yang pangkal sejarahnya ialah Menak Sopal (1498-1568), tokoh Agama Islam di Trenggalek pada zaman Kerajaan Pajang dipimpin Sultan Hadiwijoyo (1549-1582).  Kisah ini diinterpretasi oleh banyak pihak menggunakan berbagai versi dan menjadi simpang siur.  Pemerintah Kabupaten Trenggalek sendiri juga “kurang peka” pada situasi ini sehingga sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Trenggalek hanya berpatokan pada cerita dongeng sebagai pedoman menetapkan sejarah Trenggalek.  Padepokan Dewadaru menjelaskan kata Trenggalek sebagai lintang trenggono yang hilang dan jatuh di wilayah Trenggalek. 
            Satu-satunya buku sumber yang memiliki bobot ilmiah cukup ialah Babon Sejarah Trenggalek yang disusun pada 1982 oleh tim penyusun sejarah Trenggalek bersama-sama konsultan sejarah dari IKIP Malang.  Babon Sejarah Trenggalek ini memuat keterangan yang akurat pada sisi tertentu.  Secara panjang lebar, penulis sejarah Trenggalek, termasuk Pemkab Trenggalek, blogger, dan penulis lain mendasarkan pada uraian tersebut.  Dengan bangga, mereka mengutip deskripsi sejarah Trenggalek dikelompokkan ke dalam tiga periodisasi: pra-sejarah, perdikan, dan keemasan. 
            Trenggalek dibanggakan sebagai daerah yang cukup tua dalam sejarah tetapi para penulis menjadi tidak kritis ketika Trenggalek disebut sebagai daerah “di bawah naungan” wilayah lain.  Penulis yang dengan bangga menyebut Trenggalek sebagai bagian Tulungagung ialah yang menyebut dirinya Siwi Sang.  Penulis lain akhirnya cukup mengamini saja bahwa sejarah Trenggalek “tidak mandiri” tetapi menjadi bagian dari Tulungagung. 
            Tulisan ini sengaja dibuat dalam beberapa bagian agar isinya tidak terlalu padat.  Tulisan dimulai dari fakta sejarah tentang keberadaan Trenggalek, dan pelurusan beberapa pernyataan yang bisa menjadi stikma.  Diharapkan pemangku kebijakan bisa menyusun alur sejarah Trenggalek yang baku agar cerita yang disusun setelahnya oleh siapapun tidak simpang siur dan tidak membingungkan generasi penerus.      

TRENGGALEK PENGHASIL GAPLEK
            Bagaimanakah asal-usul kata Trenggalek?  Kata Trenggalek sejauh ini dianggap berasal dari kata “terang” dan “gale”, diartikan sebagai terang ing galih.  Trenggalek dianggap sebagai daerah yang memperoleh karunia melalui hati yang jernih, dan Tulungagung dianggap sebagai orang yang “memberi pertolongan besar”.     Menurut manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, kata Trenggalek sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928).  Kata Trenggalek digunakan untuk menunjukkan daerah penghasil gaplek, telela pohon yang dikeringkan.  Gaplek pada zaman itu merupakan makanan khusus para kerabat kraton.  Gaplek diolah menjadi karak, dimasak seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama dengan air gula merah.  Jenis gaplek yang digunakan ialah gaplek yang “terang” berwarna putih bersih.  Daerah penghasil gaplek jenis ini ialah kecamatan Bendungan, Kampak, Munjungan, Panggul, Pule, dan Watulimo. Di antara daerah tersebut, gaplek dari Bendungan di lereng gunung Wilis dianggap yang paling unggul. Dari sebutan gaplek yang berasal dari ketela yang “terang” lama-lama berubah menjadi “Trenggalek”.  Kata Trenggalek kemudian dipopulerkan dalam tembang dan wangsalan, seperti: “Pohung garing, ayo mampir menyang Trenggalek.” Pohong garing artinya gaplek (Purwadi, 2009:23). 
Sri Susuhunan Pakubuwana II adalah raja terakhir Kasunanan Kartasura yang memerintah tahun 17261742 dan menjadi raja pertama Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 17451749. Beliau ialah yang berjasa menggunakan nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan.  Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga zaman Sinuwun Paku Buwono II masih terus ditradisikan. Pada 2014 ini, menu karak gaplek Bendungan juga masih digunakan dalam jamuan khusus, disertai dengan kopi asli Bendungan dan gula kelapa dari Watulimo. 
            Asal-usul kata Trenggalek yang lain diperoleh melalui cerita tutur. Pertama, cerita tutur ketika Penembahan Batoro Katong menjadi Adipati Ponorogo pada 1489-1532, juga menyebutkan Trenggalek sebagai daerah penghasil gaplek.  Dikisahkan, Menak Sopal melakukan kesalahan dan mendapat hukuman agar bermukim di daerah penghasil gaplek mengabdi pada Ki Ageng Joko Lengkoro di daerah Bagong Kecamatan Ngantru Trenggalek kota sekarang.
            Kedua, versi lain menganai asal-usul kota Trenggalek diperoleh dari cerita tutur dari pnisepuh yang tinggal di Trenggalek.  Menurut pinisepuh tersebut, kata Trenggalek berasal dari kata “sugal” yang berarti kasar dan “elek”.  Sugal-elek menghasilkan kata galek; yang berkonotasi masyarakat Trenggalek suka berperilaku “kurang baik” atau jelek.  Sejak zaman raja-raja, Trenggalek ialah bagian dari Wengker bagian Timur, yang terkenal sebagai tempat para pertapa, dan kumpulan black magic.  Daerah Kampak, Munjungan, Panggul, Prigi, Bendungan dianggap representasi makna tersebut walaupun sekarang mengalami penurunan makna.
            Uraian di atas menunjukkan bahwa kata Trenggalek, yang lebih dekat diartikan dengan daerah penghasil gaplek.  Asal-usul nama atau toponimi biasanya diperoleh secara praktis.  Contoh lain, ketika Sinuwun Paku Buwono II (1726-1749) dikejar pasukan Sunan Kuning beliau melarikan diri ke arah Ponorogo.  Ketika sampai di suatu tempat, beliau merasa haus dan minta air kepada seorang penduduk.  Setelah minum air tersebut, beliau berkenan dan menanyakan kepada si pemberi: “Air apa ini kok rasanya segar?”.  “Ini air badeg Gusti” jawab penduduk tersebut. “Kalau begitu, daerah ini saya beri nama Badegan”, lanjut Sinuwun.  Badegan ialah daerah kecamatan di wilayah Sumoroto Ponorogo barat perbatasan dengan Purwantoro Wonogiri.
            Makna kata Trenggalek menurut penelusuran sejarah ini juga mengingatkan bahwa sejak semula Trenggalek ialah penghasil gaplek. Artinya daerah berbasis pertanian ketela.  Karena itu, ada baiknya Trenggalek merevitalisasi lagi potensi ekonomi gaplek tersebut.  Mengenai makna yang dikaitkan dengan terange penggalih,  begitu juga “sugal dan elek” karena tidak memiliki akar sejarah, cukup dijadikan penjelasan tambahan mengenai cerita asal-usul kata Trenggalek.  

                    
TRENGGALEK DAERAH PERDIKAN SEPANJANG ZAMAN
            Status Trenggalek sebagai daerah bebas pajak, atau sima swatantra, diperoleh mulai zaman Raja Sindok (929-947) yang dikukuhkan dalam Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak (929), zaman Raja Airlangga (1019-1045) melalui Prasasti Baru (1030), zaman Raja Kediri Prabu Srenggo (1182-1222) dalam Prasasti Kamulan (1194), dan zaman raja Majapahit Prabu Wikramawardhana (1390-1428) melalui lempeng di arca di Bendungan, Prasasti Surondakan dan Candi Brongkah di Kedunglurah sekarang. 
Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak yang dikeluarkan Raja Sindok pada 929 menetapkan daerah Kampak sebagai daerah sima swatantra. Wilayah daerah perdikan Kampak meliputi: Munjungan, Panggul, Watulimo, dengan pusat pemerintahan di Desa Gandusari Sekarang. Selain wilayah Kampak merupakan tempat peribadatan memuja Dewa karena berdekatan dengan Laut Selatan, wilayah Kampak juga disebut sebagai daerah penghasil gaplek.
Dr. Brandes antara lain mengatakan bahwa prasasti ini merupakan batu besar ujung atasnya bulat, kemudian kiri kanannya melebar, berwarna abu-abu dari batu andesit dan sangat rusak. Prasasti ini berhurup Jawa Kuno langgam Jawa Timur. Pada bagian depan terdapat 15 baris, pada bagian belakang terdapat 13 baris 1 baris dengan hurup yang tinggal separo. Pada bagian kiri terdapat 3 baris yang tidak dapat dibaca lagi, sedangkam di bagian kanan hanya terdapat 2 baris sebagai penutup dari prasasti itu. Tinggi prasati itu 89 cm tebal 22 cm dan lebar 93 cm.
Prasasti ini merupakan tanda pemberian hadiah dan mendapatkan hak istimewa bagi tanah yang diberikan tadi. Tanah yang sangat dimuliakan ialah tanah dari Bharata i Sang Hyang Prasada Kabhaktian i Pangarumbing yang i Kampak. Pada prasasti ini terdapat kata-kata mangraksa kadatuan Cri Maharaja i Ndang i Bhumi Mataram. Sehingga dapat diperkirakan bahwa prasasti itu ditulis pada tahun 851 caka atau 929 Masehi. Ada baiknya  bila beberapa kata pada bagian dari prasasti itu dikemukakan, antara lain baris ke 6-9 dan baris ke 13 yang berbunyi:

6.      (ring ra) hina ring wngi addenge a ---------------- samaya sapatha sumpah pamangmang mami ri kita hiyang kabeh. Yawat ika nang ngwangduracara, tan magam tanmakmit i
7.      Rikang saptha si hatan sa-----t kudur ----- hadyan hulun matuharare, laki-laki wadwan, wiku grahastha muang patih wahuta rama, nayaka parttaya
8.      --------- lahu(aha) ikeng lmah sawah ------ i kampak simainarpanakan dapungku i manapunjanma, i bhatara i sang hyang prasada kabhaktiyan i pangurumbigyan i
9.      Kampak wabakataya nguniweh da ---------- ta –sa(ng)hyang watu sima tasmat kabuataknanya, patyanantaya kamung hyang deyantatpatiya tattanoliha i wuntat
13.  ----- wuk k(i)dul kuluan waitan, wuangakan ringasalambitakan ing (h)yang kabaih, tibakan ri(ng) mahasamudra, klamakan ring dawuhan, alapan sang hyang ja 15

Mataram Kuno mengalami zaman keemasan ketika Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910) bertahta dengan pusat pemerintahan di Begelen, Purworejo, Daerah Kedu, Jawa Tengah. Wilayah kerajaan meliputi seluruh Jawa Tengah, seluruh Jawa Timur dan Bali.  Setelah Dyah Balitung mangkat, tahta diserahkan kepada putra mahkota Rakai Mpu Daksa (910-919).  Nah, pada zaman pemerintahan Mpu Daksa inilah intrik mulai terjadi. Menantu Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong (919-921) yang menikah dengan putri mahkota, berseteru dengan adik putra mahkota, yaitu Dyah Wawa.  Dyah Wawa dibantu Mpu Sindok yang waktu itu menjabat Rakai Halu berhasil menggulingkan Dyah Tulodong dan akhirnya Dyah Wawa berhasil naik tahta pada 924-928.  Prasasti Kinawe (928) yang ditemukan di daerah Kandangan Kediri menyebutkan raja yang memerintah Mataram ialah Rakai Dyah Wawa dan Empu Sindok disebut sebagai Mahapatih atau Rakai Hino. Prasasti Kniawe (928) ini hanya selisih satu tahun ketika Raja Sindok bertahta di Tembalang (929) dan dikeluarkannya Prasasti Kampak (929).  Jadi sebelum mendirikan keraton di Jombang, raja-raja Mataram yang berkedudukan di Kedu dan Yogjakarta sudah mengetahui daerah Kampak dan sekitarnya.
Sejak pemerintahan Dyah Balitung, pengembangan wilayah ke Jawa Timur bahkan Bali sudah dilakukan.  Jadi, identifikasi daerah Kampak sebagai daerah penting dan kemudian dijadikan daerah perdikan bukanlah hal yang aneh.  Kiranya, ketika terjadi alih kekuasaan dari Rakai Layang Dyah Tulodong ke tangan Dyah Wawa telah terjadi perebutan kekuasaan sehingga pusat kerajaan perlu dipindahkan ke Jawa Timur.  Waktu migrasi ke Jawa Timur itu Dyah Wawa mungkin terbunuh sehingga kekuasaan dilanjutkan oleh Empu Sindok yang maktu itu menjabat sebagai rakai hino, orang kedua di bawah raja dan berhak menggantikan raja. 
Patut dicermati juga, pada saat pemerintahan Rakai Layang Dyah Tulodong yang hanya 4 tahun itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu Kettuwijaya.  Nama ini terkait dengan Raja Wengker yang menggulingkan Teguh Darmawangsa pada peristiwa mahapralaya (1016) yang menyebabkan Airlangga melarikan diri ke Gunung Wonogiri menjalani hidup bersama pertapa. Kiranya, Mpu Kettuwijaya melarikan diri ke Wengker Ponorogo sekarang bersamaan saat Mpu Sindok memindahkan kerajaan ke Tembalang di Jombang Jawa Timur. 
Kembali ke Trenggalek sebagai daerah perdikan.  Periode kedua wilayah Trenggalek diberi kedudukan daerah sima swatantra ialah pada zaman Raja Airlangga. Pemberian ini tercatat dalam Prasasti Baru (1030).  Desa Baruharjo diberi status sima karena masyarakat telah memberi penginapan dan membantu raja dan pasukannya ketika akan menyerang raja Hasin. Hasin sekarang ialah Ngasinan, Desa Kelutan Kabupaten Trenggalek. 
Perdikan ketiga diberikan oleh Raja Srenggo dari Kediri yang memberi status perdikan desa Kamulan (1194).  Dalam prasasti itu jelas disebutkan wilayah Kamulan meliputi lereng gunung Wilis mulai dari lereng Kalangbret, Semarum, Durenan, bukit Tumpak Uyel, Setono, desa Parakan, Pogalan, Bendo, Ngetal, Tugu, Tenggaran Pule, dan Tangkil kecamatan Dongko.  Prasasti ini menjelaskan bahwa perbukitan di wilayah Tulungagung yang dijadikan makam para Bupati Tulungagung ialah wilayah perdikan Kamulan.  Jika digabung dengan wilayah dalam prasasti Kampak, hampir seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek tahun 2014 saat tulisan ini dibuat sudah merupakan wilayah perdikan Trenggalek.
Ketika Prabu Kertawardhana, menantu Prabu Hayam Wuruk dari Tumapel memerintah, terjadi perang Paregreg (1401-1406).  Perang ini terjadi melawan Prabu Wirabumi di Blambangan, anak Hayam Wuruk dari selir. Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) memiliki dua anak: Kusumawardhani putri mahkota menikah dengan Wikramawardhana dari Tumapel.  Putra kedua ialah Wirabumi dari istri selir dijadikan raja di Blambangan Banyuwangi.  Wikramawardhana memerintah bersama-sama dengan Kusumawardani.  Namun Kusumawardhani wafat sehingga tahta Majapahit dipegang oleh Wikramawardhana. Wirabumi tidak terima Wikramawardhana diangkat menjadi raja karena Wikramawardhana ialah menantu. Menurut Wurabumi, dialah yang berhak menggantikan Hayam Wuruk karena dia ialah anak raja meskipun dari istri selir.  Persengketaan ini akhirnya menjadi perang yang meluas dan disebut Perang Paregreg, perang diam-diam antarkeluarga yang semakin meluas.
Lempengan prasasti di patung yang sekarang ditempatkan di depan kantor kecamatan Bendungan ini menjelaskan bahwa daerah Bendungan, sampai wilayah Bagong ditetapkan sebagai daerah sima swatantra.  Kecamatan Bendungan ialah lereng gunung Wilis bagian barat, berbatasan dengan Kecamatan Palung Ponorogo.  Bendungan ialah penghasil gaplek, kopi, dan gula kelapa kesukaan para Raja Surakarta.  Jalur ini merupakan jalan pintas dari gunung Wilis menuju Wengker dan lewat jalur inilah Menak Sopal datang ke desa Bagong Trenggalek ketika diperintahkan oleh Panembahan Batoro Katong agar membantu Joko Lengkoro di Galek.  Joko Lengkoro kemudian terkenal juga sebagai Mbah Kawak.
Batoro Katong memerintah di Ponorogo pada 1489-1532, sejak Raden Patah Sultan Demak (1478-1518) sampai awal pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546).  Menak Sopal sendiri tercatat tahun meninggalnya di nisan pemakaman Bagong dengan candra snegkolo: “Sirnaning puspita cinatur wulan”, 1490 saka atau 1568 M.   Menak Sopal berusia 70 tahun karena ketika diajak menghadap Batoro Katong oleh gurunya berusia  18 tahun, jadi Menak Sopal lahir pada 1498.  Menak Sopal hidup pada zaman pemerintahan Sultan Prawoto Demak (1546-1549) dan Sultan Hadiwijoyo di Pajang (1549-1582).  Siapa Joko Lengkoro?  Joko Lengkoro ialah anak Prabu Brawijaya V  Kertabumi dan Batoro Katong yang diberi daerah lungguh di perdikan Bagong.  Joko Lengkoro kemudian disebut Ki Ageng Galek yang ditugasi merawat Dewi Amisayu putra Brawijaya V yang terkena sakit berbau amis.  Dewi Amisayu kemudian disembuhkan oleh Menak Sopal.   
            Jika prasasti Kampak, prasasti Baru, prasasti Kamulan, prasasti Surodakan, dan lempeng arca di Bendungan digabungkan, maka seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah daerah perdikan sejak zaman Raja sindok.  Daerah sima parasima diberikan oleh raja bersifat turun-temurun dan hanya bisa dibatalkan apabila daerah tersebut memberontak kepada raja.  Daerah sima yang pernah diberikan oleh raja sebelumnya, dihormati sekali oleh raja berikutnya walaupun berbeda dinasti sehingga status sima swatantra, atau daerah otonom melekat terus. 
            Trenggalek sebagai daerah Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati, secara resmi digunakan pada zaman Sinuwun Paku Buwono II bertahta (17.  Saat itu, Sinuwun Baku Buwono II mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung Sumotaruna sebagai Bupati Trenggalek pertama pada 1743.  Sejak perjanjian Giyanti 1755 ketika Pangeran Mangkubumi memberontak wilayah kerajaan dibagi dua: wilayah kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Sunan Pakuwono dan wilayah kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono. Akibatnya, Kabupaten Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan Ponorogo, Pacitan, dan Tulungagung.  Inilah kiranya penyebab munculnya spekulasi bahwa Trenggalek diklaim sebagai bagian dari daerah Tulungagung.  Bagian ini akan dibahas khusus pada bab selanjutnya.  (Bersambung pada bagian kedua).

2 komentar:

  1. Keren, Pak.
    Mohon maaf jika baru membuka blog Bapak. Dikarenakan kesibukan saya sebagai mahasiswa. Jadi tidak sempat membuka email.
    Tapi ini bagian keduanya mana, Pak?
    Dan Bapak memperoleh buku-buku sumbernya darimana?
    Mohon bimbingannya
    Terimakasih, pak

    BalasHapus