PENGANTAR
Tulisan ini bertujuan
memberi urun rembug mengenai sejarah Trenggalek, salah satu kabupaten di Jawa
Timur, yang telah banyak ditulis baik
secara resmi maupun tidak resmi.
Berbagai tulisan yang muncul tersebut, ternyata tidak menunjukkan
simpulan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga versi sejarah
Trenggalek beraneka ragam.
Sejauh yang bisa penulis
gali, tulisan-tulisan tersebut didasarkan pada cerita tutur yang pangkal
sejarahnya ialah Menak Sopal (1498-1568),
tokoh Agama Islam di Trenggalek pada zaman Kerajaan Pajang dipimpin Sultan Hadiwijoyo (1549-1582). Kisah ini diinterpretasi oleh banyak pihak
menggunakan berbagai versi dan menjadi simpang siur. Pemerintah
Kabupaten Trenggalek sendiri juga “kurang peka” pada situasi ini sehingga
sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Trenggalek hanya berpatokan pada cerita
dongeng sebagai pedoman menetapkan sejarah Trenggalek. Padepokan Dewadaru menjelaskan kata
Trenggalek sebagai lintang trenggono yang hilang dan jatuh di wilayah
Trenggalek.
Satu-satunya buku sumber
yang memiliki bobot ilmiah cukup ialah Babon Sejarah Trenggalek yang
disusun pada 1982 oleh tim penyusun sejarah Trenggalek bersama-sama konsultan
sejarah dari IKIP Malang. Babon Sejarah
Trenggalek ini memuat keterangan yang akurat pada sisi tertentu. Secara panjang lebar, penulis sejarah
Trenggalek, termasuk Pemkab Trenggalek,
blogger, dan penulis lain mendasarkan pada uraian tersebut. Dengan bangga, mereka mengutip deskripsi
sejarah Trenggalek dikelompokkan ke dalam tiga periodisasi: pra-sejarah,
perdikan, dan keemasan.
Trenggalek dibanggakan
sebagai daerah yang cukup tua dalam sejarah tetapi para penulis menjadi tidak
kritis ketika Trenggalek disebut sebagai daerah “di bawah naungan” wilayah
lain. Penulis yang dengan bangga
menyebut Trenggalek sebagai bagian Tulungagung ialah yang menyebut dirinya Siwi Sang. Penulis lain akhirnya cukup mengamini saja
bahwa sejarah Trenggalek “tidak
mandiri” tetapi menjadi bagian dari Tulungagung.
Tulisan ini sengaja dibuat
dalam beberapa bagian agar isinya tidak terlalu padat. Tulisan dimulai dari fakta sejarah tentang
keberadaan Trenggalek, dan pelurusan beberapa pernyataan yang bisa menjadi
stikma. Diharapkan pemangku kebijakan
bisa menyusun alur sejarah Trenggalek yang baku agar cerita yang disusun
setelahnya oleh siapapun tidak simpang siur dan tidak membingungkan generasi
penerus.
TRENGGALEK PENGHASIL GAPLEK
Bagaimanakah asal-usul
kata Trenggalek? Kata Trenggalek sejauh
ini dianggap berasal dari kata “terang” dan “gale”, diartikan sebagai terang ing galih. Trenggalek dianggap sebagai daerah yang
memperoleh karunia melalui hati yang jernih, dan Tulungagung dianggap sebagai
orang yang “memberi pertolongan besar”. Menurut
manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, kata Trenggalek sudah muncul pada zaman
Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928). Kata Trenggalek digunakan untuk menunjukkan
daerah penghasil gaplek, telela pohon yang dikeringkan. Gaplek pada zaman itu merupakan makanan
khusus para kerabat kraton. Gaplek diolah menjadi karak, dimasak
seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama dengan air gula merah. Jenis gaplek yang digunakan ialah gaplek yang
“terang” berwarna putih bersih. Daerah
penghasil gaplek jenis ini ialah kecamatan Bendungan, Kampak, Munjungan, Panggul, Pule, dan Watulimo. Di antara daerah
tersebut, gaplek dari Bendungan di
lereng gunung Wilis dianggap yang
paling unggul. Dari sebutan gaplek yang berasal dari ketela yang “terang”
lama-lama berubah menjadi “Trenggalek”. Kata
Trenggalek kemudian dipopulerkan dalam tembang dan wangsalan, seperti: “Pohung garing, ayo mampir menyang Trenggalek.”
Pohong garing artinya gaplek (Purwadi, 2009:23).
Sri Susuhunan Pakubuwana II adalah raja terakhir Kasunanan Kartasura
yang memerintah tahun 1726 – 1742 dan menjadi raja pertama Kasunanan Surakarta
yang memerintah tahun 1745 – 1749. Beliau ialah yang berjasa
menggunakan nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan. Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga
zaman Sinuwun Paku Buwono II masih
terus ditradisikan. Pada 2014 ini, menu karak gaplek Bendungan juga masih digunakan
dalam jamuan khusus, disertai dengan kopi asli Bendungan dan gula kelapa dari
Watulimo.
Asal-usul kata Trenggalek
yang lain diperoleh melalui cerita tutur. Pertama,
cerita tutur ketika Penembahan Batoro
Katong menjadi Adipati Ponorogo pada
1489-1532, juga menyebutkan Trenggalek sebagai daerah penghasil gaplek. Dikisahkan, Menak Sopal melakukan kesalahan
dan mendapat hukuman agar bermukim di daerah penghasil gaplek mengabdi pada Ki Ageng Joko Lengkoro di daerah Bagong
Kecamatan Ngantru Trenggalek kota sekarang.
Kedua, versi lain menganai asal-usul kota Trenggalek diperoleh dari
cerita tutur dari pnisepuh yang tinggal di Trenggalek. Menurut pinisepuh tersebut, kata Trenggalek
berasal dari kata “sugal” yang berarti kasar dan “elek”. Sugal-elek
menghasilkan kata galek; yang berkonotasi masyarakat Trenggalek suka
berperilaku “kurang baik” atau jelek. Sejak
zaman raja-raja, Trenggalek ialah bagian dari Wengker bagian Timur, yang
terkenal sebagai tempat para pertapa, dan kumpulan black magic. Daerah Kampak,
Munjungan, Panggul, Prigi, Bendungan dianggap representasi makna tersebut
walaupun sekarang mengalami penurunan makna.
Uraian di atas menunjukkan
bahwa kata Trenggalek, yang lebih dekat diartikan dengan daerah penghasil
gaplek. Asal-usul nama atau toponimi
biasanya diperoleh secara praktis. Contoh
lain, ketika Sinuwun Paku Buwono II (1726-1749) dikejar pasukan Sunan Kuning beliau melarikan diri ke
arah Ponorogo. Ketika sampai di suatu
tempat, beliau merasa haus dan minta air kepada seorang penduduk. Setelah minum air tersebut, beliau berkenan
dan menanyakan kepada si pemberi: “Air
apa ini kok rasanya segar?”. “Ini air
badeg Gusti” jawab penduduk tersebut. “Kalau
begitu, daerah ini saya beri nama Badegan”, lanjut Sinuwun. Badegan ialah daerah kecamatan di wilayah
Sumoroto Ponorogo barat perbatasan dengan Purwantoro Wonogiri.
Makna kata Trenggalek
menurut penelusuran sejarah ini juga mengingatkan bahwa sejak semula Trenggalek
ialah penghasil gaplek. Artinya daerah berbasis pertanian ketela. Karena itu, ada baiknya Trenggalek
merevitalisasi lagi potensi ekonomi gaplek tersebut. Mengenai makna yang dikaitkan dengan terange penggalih, begitu juga “sugal dan elek” karena tidak
memiliki akar sejarah, cukup dijadikan penjelasan tambahan mengenai cerita
asal-usul kata Trenggalek.
TRENGGALEK DAERAH PERDIKAN
SEPANJANG ZAMAN
Status Trenggalek sebagai
daerah bebas pajak, atau sima swatantra, diperoleh mulai zaman Raja Sindok
(929-947) yang dikukuhkan dalam Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak (929),
zaman Raja Airlangga (1019-1045) melalui Prasasti Baru (1030), zaman Raja
Kediri Prabu Srenggo (1182-1222) dalam Prasasti Kamulan (1194), dan zaman raja
Majapahit Prabu Wikramawardhana (1390-1428) melalui lempeng di arca di Bendungan,
Prasasti Surondakan dan Candi Brongkah di Kedunglurah sekarang.
Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak yang
dikeluarkan Raja Sindok pada 929 menetapkan daerah Kampak sebagai daerah sima
swatantra. Wilayah daerah perdikan Kampak meliputi: Munjungan, Panggul,
Watulimo, dengan pusat pemerintahan di Desa Gandusari Sekarang. Selain wilayah
Kampak merupakan tempat peribadatan memuja Dewa karena berdekatan dengan Laut
Selatan, wilayah Kampak juga disebut sebagai daerah penghasil gaplek.
Dr. Brandes antara lain mengatakan
bahwa prasasti ini merupakan batu besar ujung atasnya bulat, kemudian kiri
kanannya melebar, berwarna abu-abu dari batu andesit dan sangat rusak. Prasasti
ini berhurup Jawa Kuno langgam Jawa Timur. Pada bagian depan terdapat 15 baris,
pada bagian belakang terdapat 13 baris 1 baris dengan hurup yang tinggal
separo. Pada bagian kiri terdapat 3 baris yang tidak dapat dibaca lagi, sedangkam
di bagian kanan hanya terdapat 2 baris sebagai penutup dari prasasti itu.
Tinggi prasati itu 89 cm tebal 22 cm dan lebar 93 cm.
Prasasti ini merupakan tanda pemberian
hadiah dan mendapatkan hak istimewa bagi tanah yang diberikan tadi. Tanah yang
sangat dimuliakan ialah tanah dari Bharata
i Sang Hyang Prasada Kabhaktian i Pangarumbing yang i Kampak. Pada prasasti
ini terdapat kata-kata mangraksa
kadatuan Cri Maharaja i Ndang i
Bhumi Mataram. Sehingga dapat diperkirakan bahwa prasasti itu ditulis pada
tahun 851 caka atau 929 Masehi. Ada baiknya
bila beberapa kata pada bagian dari prasasti itu dikemukakan, antara
lain baris ke 6-9 dan baris ke 13 yang berbunyi:
6.
(ring ra) hina ring wngi addenge
a ---------------- samaya sapatha sumpah pamangmang mami ri kita hiyang kabeh.
Yawat ika nang ngwangduracara, tan magam tanmakmit i
7.
Rikang saptha si hatan sa-----t
kudur ----- hadyan hulun matuharare, laki-laki wadwan, wiku grahastha muang
patih wahuta rama, nayaka parttaya
8.
--------- lahu(aha) ikeng lmah
sawah ------ i kampak simainarpanakan dapungku i manapunjanma, i bhatara i sang
hyang prasada kabhaktiyan i pangurumbigyan i
9.
Kampak wabakataya nguniweh da
---------- ta –sa(ng)hyang watu sima tasmat kabuataknanya, patyanantaya kamung
hyang deyantatpatiya tattanoliha i wuntat
13.
----- wuk k(i)dul kuluan
waitan, wuangakan ringasalambitakan ing (h)yang kabaih, tibakan ri(ng)
mahasamudra, klamakan ring dawuhan, alapan sang hyang ja 15
Mataram Kuno mengalami zaman keemasan ketika Maharaja
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910) bertahta dengan pusat pemerintahan di Begelen,
Purworejo, Daerah Kedu, Jawa Tengah. Wilayah kerajaan meliputi seluruh Jawa
Tengah, seluruh Jawa Timur dan Bali. Setelah
Dyah Balitung mangkat, tahta diserahkan kepada putra mahkota Rakai Mpu Daksa
(910-919). Nah, pada zaman pemerintahan
Mpu Daksa inilah intrik mulai terjadi. Menantu Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah
Tulodong (919-921) yang menikah dengan putri mahkota, berseteru dengan adik
putra mahkota, yaitu Dyah Wawa. Dyah
Wawa dibantu Mpu Sindok yang waktu itu menjabat Rakai Halu berhasil
menggulingkan Dyah Tulodong dan akhirnya Dyah Wawa berhasil naik tahta pada
924-928. Prasasti Kinawe (928) yang
ditemukan di daerah Kandangan Kediri menyebutkan raja yang memerintah Mataram
ialah Rakai Dyah Wawa dan Empu Sindok disebut sebagai Mahapatih atau Rakai
Hino. Prasasti Kniawe (928) ini hanya selisih satu tahun ketika Raja Sindok
bertahta di Tembalang (929) dan dikeluarkannya Prasasti Kampak (929). Jadi sebelum mendirikan keraton di Jombang,
raja-raja Mataram yang berkedudukan di Kedu dan Yogjakarta sudah mengetahui
daerah Kampak dan sekitarnya.
Sejak pemerintahan Dyah Balitung, pengembangan
wilayah ke Jawa Timur bahkan Bali sudah dilakukan. Jadi, identifikasi daerah Kampak sebagai
daerah penting dan kemudian dijadikan daerah perdikan bukanlah hal yang
aneh. Kiranya, ketika terjadi alih
kekuasaan dari Rakai Layang Dyah Tulodong ke tangan Dyah Wawa telah terjadi
perebutan kekuasaan sehingga pusat kerajaan perlu dipindahkan ke Jawa
Timur. Waktu migrasi ke Jawa Timur itu
Dyah Wawa mungkin terbunuh sehingga kekuasaan dilanjutkan oleh Empu Sindok yang
maktu itu menjabat sebagai rakai hino, orang kedua di bawah raja dan berhak
menggantikan raja.
Patut dicermati juga, pada saat pemerintahan Rakai
Layang Dyah Tulodong yang hanya 4 tahun itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu
Kettuwijaya. Nama ini terkait dengan
Raja Wengker yang menggulingkan Teguh Darmawangsa pada peristiwa mahapralaya
(1016) yang menyebabkan Airlangga melarikan diri ke Gunung Wonogiri menjalani
hidup bersama pertapa. Kiranya, Mpu Kettuwijaya melarikan diri ke Wengker
Ponorogo sekarang bersamaan saat Mpu Sindok memindahkan kerajaan ke Tembalang
di Jombang Jawa Timur.
Kembali ke Trenggalek sebagai daerah
perdikan. Periode kedua wilayah
Trenggalek diberi kedudukan daerah sima swatantra ialah pada zaman Raja
Airlangga. Pemberian ini tercatat dalam Prasasti Baru (1030). Desa Baruharjo diberi status sima karena
masyarakat telah memberi penginapan dan membantu raja dan pasukannya ketika akan
menyerang raja Hasin. Hasin sekarang ialah Ngasinan, Desa Kelutan Kabupaten
Trenggalek.
Perdikan ketiga diberikan oleh Raja Srenggo dari
Kediri yang memberi status perdikan desa Kamulan (1194). Dalam prasasti itu jelas disebutkan wilayah
Kamulan meliputi lereng gunung Wilis mulai dari lereng Kalangbret, Semarum,
Durenan, bukit Tumpak Uyel, Setono, desa Parakan, Pogalan, Bendo, Ngetal, Tugu,
Tenggaran Pule, dan Tangkil kecamatan Dongko.
Prasasti ini menjelaskan bahwa perbukitan di wilayah Tulungagung yang
dijadikan makam para Bupati Tulungagung ialah wilayah perdikan Kamulan. Jika digabung dengan wilayah dalam prasasti
Kampak, hampir seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek tahun 2014 saat tulisan ini
dibuat sudah merupakan wilayah perdikan Trenggalek.
Ketika Prabu Kertawardhana, menantu Prabu Hayam
Wuruk dari Tumapel memerintah, terjadi perang Paregreg (1401-1406). Perang ini terjadi melawan Prabu Wirabumi di
Blambangan, anak Hayam Wuruk dari selir. Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) memiliki
dua anak: Kusumawardhani putri mahkota menikah dengan Wikramawardhana dari
Tumapel. Putra kedua ialah Wirabumi dari
istri selir dijadikan raja di Blambangan Banyuwangi. Wikramawardhana memerintah bersama-sama
dengan Kusumawardani. Namun
Kusumawardhani wafat sehingga tahta Majapahit dipegang oleh Wikramawardhana. Wirabumi
tidak terima Wikramawardhana diangkat menjadi raja karena Wikramawardhana ialah
menantu. Menurut Wurabumi, dialah yang berhak menggantikan Hayam Wuruk karena dia
ialah anak raja meskipun dari istri selir.
Persengketaan ini akhirnya menjadi perang yang meluas dan disebut Perang
Paregreg, perang diam-diam antarkeluarga yang semakin meluas.
Lempengan prasasti di patung yang sekarang
ditempatkan di depan kantor kecamatan Bendungan ini menjelaskan bahwa daerah
Bendungan, sampai wilayah Bagong ditetapkan sebagai daerah sima swatantra. Kecamatan Bendungan ialah lereng gunung Wilis
bagian barat, berbatasan dengan Kecamatan Palung Ponorogo. Bendungan ialah penghasil gaplek, kopi, dan
gula kelapa kesukaan para Raja Surakarta.
Jalur ini merupakan jalan pintas dari gunung Wilis menuju Wengker dan
lewat jalur inilah Menak Sopal datang ke desa Bagong Trenggalek ketika
diperintahkan oleh Panembahan Batoro Katong agar membantu Joko Lengkoro di
Galek. Joko Lengkoro kemudian terkenal
juga sebagai Mbah Kawak.
Batoro Katong memerintah di Ponorogo pada
1489-1532, sejak Raden Patah Sultan Demak (1478-1518) sampai awal pemerintahan
Sultan Trenggono (1521-1546). Menak
Sopal sendiri tercatat tahun meninggalnya di nisan pemakaman Bagong dengan
candra snegkolo: “Sirnaning puspita
cinatur wulan”, 1490 saka atau 1568 M.
Menak Sopal berusia 70 tahun
karena ketika diajak menghadap Batoro Katong oleh gurunya berusia 18 tahun, jadi Menak Sopal lahir pada
1498. Menak Sopal hidup pada zaman
pemerintahan Sultan Prawoto Demak (1546-1549) dan Sultan Hadiwijoyo di Pajang
(1549-1582). Siapa Joko Lengkoro? Joko Lengkoro ialah anak Prabu Brawijaya V Kertabumi dan Batoro Katong yang diberi daerah
lungguh di perdikan Bagong. Joko Lengkoro
kemudian disebut Ki Ageng Galek yang ditugasi merawat Dewi Amisayu putra
Brawijaya V yang terkena sakit berbau amis.
Dewi Amisayu kemudian disembuhkan oleh Menak Sopal.
Jika prasasti Kampak,
prasasti Baru, prasasti Kamulan, prasasti Surodakan, dan lempeng arca di
Bendungan digabungkan, maka seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah daerah
perdikan sejak zaman Raja sindok. Daerah
sima parasima diberikan oleh raja bersifat turun-temurun dan hanya bisa
dibatalkan apabila daerah tersebut memberontak kepada raja. Daerah sima yang pernah diberikan oleh raja
sebelumnya, dihormati sekali oleh raja berikutnya walaupun berbeda dinasti
sehingga status sima swatantra, atau daerah otonom melekat terus.
Trenggalek sebagai daerah
Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati, secara resmi digunakan pada zaman
Sinuwun Paku Buwono II bertahta (17.
Saat itu, Sinuwun Baku Buwono II mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung
Sumotaruna sebagai Bupati Trenggalek pertama pada 1743. Sejak perjanjian Giyanti 1755 ketika Pangeran
Mangkubumi memberontak wilayah kerajaan dibagi dua: wilayah kerajaan Surakarta
di bawah pemerintahan Sunan Pakuwono dan wilayah kasultanan Yogyakarta di bawah
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono. Akibatnya, Kabupaten Trenggalek dihapuskan
dan wilayahnya digabungkan dengan Ponorogo, Pacitan, dan Tulungagung. Inilah kiranya penyebab munculnya spekulasi
bahwa Trenggalek diklaim sebagai bagian dari daerah Tulungagung. Bagian ini akan dibahas khusus pada bab
selanjutnya. (Bersambung pada bagian kedua).
Keren, Pak.
BalasHapusMohon maaf jika baru membuka blog Bapak. Dikarenakan kesibukan saya sebagai mahasiswa. Jadi tidak sempat membuka email.
Tapi ini bagian keduanya mana, Pak?
Dan Bapak memperoleh buku-buku sumbernya darimana?
Mohon bimbingannya
Terimakasih, pak
menambah wawasan......
BalasHapus