MELURUSKAN SEJARAH
TRENGGALEK PENGHASIL GAPLEK
(Bagian I)
Teguh Budiharso
Available at:
budiharsoteguh.blogspot.com
PENGANTAR
Tulisan ini bertujuan untuk
memberi urun rembug mengenai sejarah Trenggalek, salah satu kabupaten di Jawa
Timur, yang telah banyak ditulis baik
secara resmi maupun tidak resmi.
Berbagai tulisan yang muncul tersebut, ternyata tidak menunjukkan
simpulan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga versi sejarah
Trenggalek beraneka ragam.
Sejauh yang bisa penulis
gali, tulisan-tulisan tersebut didasarkan pada cerita tutur yang pangkal
sejarahnya ialah Menak Sopal (1498-1568),
tokoh Agama Islam di Trenggalek pada zaman Kerajaan Pajang dipimpin Sultan Hadiwijoyo (1549-1582). Kisah ini diinterpretasi oleh banyak pihak
menggunakan berbagai versi dan menjadi simpang siur. Pemerintah
Kabupaten Trenggalek sendiri juga “kurang peka” pada situasi ini sehingga
sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Trenggalek hanya berpatokan pada cerita
dongeng sebagai pedoman menetapkan sejarah Trenggalek. Padepokan Dewadaru menjelaskan kata
Trenggalek sebagai lintang trenggono yang hilang dan jatuh di wilayah
Trenggalek.
Satu-satunya buku sumber
yang memiliki bobot ilmiah cukup ialah Babon Sejarah Trenggalek yang
disusun pada 1982 oleh tim penyusun sejarah Trenggalek bersama-sama konsultan
sejarah dari IKIP Malang. Babon Sejarah
Trenggalek ini memuat keterangan yang akurat pada sisi tertentu. Secara panjang lebar, penulis sejarah
Trenggalek, termasuk Pemkab Trenggalek,
blogger, dan penulis lain mendasarkan pada uraian tersebut. Dengan bangga, mereka mengutip deskripsi
sejarah Trenggalek dikelompokkan ke dalam tiga periodisasi: pra-sejarah,
perdikan, dan keemasan.
Trenggalek dibanggakan
sebagai daerah yang cukup tua dalam sejarah tetapi para penulis menjadi tidak
kritis ketika Trenggalek disebut sebagai daerah “di bawah naungan” wilayah
lain. Penulis yang dengan bangga
menyebut Trenggalek sebagai bagian Tulungagung ialah yang menyebut dirinya Siwi Sang. Penulis lain akhirnya cukup mengamini saja
bahwa sejarah Trenggalek “tidak
mandiri” tetapi menjadi bagian dari Tulungagung.
Tulisan ini sengaja dibuat
dalam beberapa bagian agar isinya tidak terlalu padat. Tulisan dimulai dari fakta sejarah tentang
keberadaan Trenggalek, dan pelurusan beberapa pernyataan yang bisa menjadi
stikma. Diharapkan pemangku kebijakan
bisa menyusun alur sejarah Trenggalek yang baku agar cerita yang disusun
setelahnya oleh siapapun tidak simpang siur dan tidak membingungkan generasi
penerus.
TRENGGALEK PENGHASIL GAPLEK
Bagaimanakah asal-usul
kata Trenggalek? Kata Trenggalek sejauh
ini dianggap berasal dari kata “terang” dan “gale”, diartikan sebagai terang ing galih. Trenggalek dianggap sebagai daerah yang
memperoleh karunia melalui hati yang jernih, dan Tulungagung dianggap sebagai
orang yang “memberi pertolongan besar”. Menurut
manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, kata Trenggalek secara sederhana ialah
kota gaplek. Daerah penghasil
gaplek. Nama itu sudah muncul pada zaman
Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928). Kata Trenggalek digunakan untuk menunjukkan
daerah penghasil gaplek, ketela pohon yang dikeringkan. Gaplek pada zaman itu merupakan makanan rakyat
jelata tetapi sekaligus hidangan khusus di kraton. Gaplek
diolah menjadi karak, dimasak seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama
dengan air gula merah. Jenis gaplek yang
digunakan ialah gaplek yang “terang” berwarna putih bersih. Daerah penghasil gaplek jenis ini ialah
kecamatan Bendungan, Kampak,
Munjungan, Panggul, Pule, dan Watulimo. Di antara daerah tersebut, gaplek dari Bendungan di lereng gunung Wilis dianggap yang paling unggul. Dari
sebutan gaplek yang berasal dari ketela yang “terang” lama-lama berubah menjadi
“Trenggalek”. Kata Trenggalek kemudian
dipopulerkan di antaranya dalam tembang dan wangsalan, seperti: “Pohung garing, ayo mampir menyang Trenggalek.”
Pohong garing artinya gaplek (Purwadi, 2009:23).
Sri Susuhunan Pakubuwana II, raja terakhir Kasunanan Kartasura (1726–1742) dan raja pertama Kasunanan Surakarta (1745–1749), ialah raja yang
berjasa menggunakan nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan. Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga
zaman Sinuwun Paku Buwono II masih
terus ditradisikan. Pada 2014 ini, menu karak gaplek Bendungan juga masih digunakan
dalam jamuan khusus, disertai dengan kopi asli Bendungan dan gula kelapa dari
Watulimo.
Asal-usul kata Trenggalek
yang lain diperoleh melalui cerita tutur. Pertama,
cerita tutur ketika Penembahan Batoro
Katong menjadi Adipati Ponorogo pada
1489-1532, juga menyebutkan Trenggalek sebagai daerah penghasil gaplek. Dikisahkan, Menak Sopal melakukan kesalahan
dan mendapat hukuman agar bermukim di daerah penghasil gaplek mengabdi pada Ki Ageng Joko Lengkoro di daerah Bagong
Kecamatan Ngantru Trenggalek kota sekarang.
Kedua, versi lain mengenai asal-usul kota Trenggalek diperoleh dari
cerita tutur dari pinisepuh yang tinggal di Trenggalek. Menurut pinisepuh tersebut, kata Trenggalek
berasal dari kata “sugal” yang berarti kasar dan “elek”. Sugal-elek
menghasilkan kata galek; yang berkonotasi masyarakat Trenggalek suka
berperilaku “kurang baik” atau jelek. Sejak
zaman raja-raja, Trenggalek ialah bagian dari Wengker bagian Timur, yang
terkenal sebagai tempat para pertapa, dan kumpulan black magic. Daerah Kampak,
Munjungan, Panggul, Prigi, Bendungan dianggap representasi makna tersebut
walaupun sekarang mengalami penurunan makna.
Uraian di atas menunjukkan
bahwa kata Trenggalek, yang lebih dekat diartikan dengan daerah penghasil
gaplek. Asal-usul nama atau toponimi biasanya
diperoleh secara praktis. Contoh lain,
ketika Sinuwun Paku Buwono II (1726-1749) dikejar pasukan Sunan Kuning beliau melarikan diri ke arah Ponorogo. Ketika sampai di suatu tempat, beliau merasa
haus dan minta air kepada seorang penduduk.
Setelah minum air tersebut, beliau berkenan dan menanyakan kepada si
pemberi: “Air apa ini kok rasanya
segar?”. “Ini air badeg Gusti” jawab
penduduk tersebut. “Kalau begitu, daerah
ini saya beri nama Badegan”, lanjut Sinuwun. Badegan ialah daerah kecamatan di wilayah
Sumoroto Ponorogo barat perbatasan dengan Purwantoro Wonogiri.
Makna kata Trenggalek
menurut penelusuran sejarah ini juga mengingatkan bahwa sejak semula Trenggalek
ialah penghasil gaplek. Artinya daerah berbasis pertanian ketela. Karena itu, ada baiknya Trenggalek
merevitalisasi lagi potensi ekonomi gaplek tersebut. Mengenai makna yang dikaitkan dengan terange penggalih, begitu juga “sugal dan elek” karena tidak
memiliki akar sejarah, cukup dijadikan penjelasan tambahan mengenai cerita
asal-usul kata Trenggalek.
TRENGGALEK DAERAH PERDIKAN
SEPANJANG ZAMAN
Status Trenggalek sebagai
daerah bebas pajak, atau sima swatantra atau daerah otonom, pertama kali muncul
zaman Raja Sindok (929-947) yang dikukuhkan dalam Prasasti Kamsyaka atau
Prasasti Kampak (929) dan diakui lagi oleh Raja Airlangga (1019-1045) melalui
Prasasti Baru (1030), Raja Kediri Prabu Srenggo (1182-1222) dalam Prasasti
Kamulan (1194), dan raja Majapahit Prabu Wikramawardhana (1390-1428) melalui piagam
yang dipahatkan di arca dwarapala yang ditemukan di Bendungan, Prasasti
Surondakan dan Candi Brongkah di Kedunglurah sekarang.
Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak yang
dikeluarkan Raja Sindok pada 929 menetapkan daerah Kampak sebagai daerah sima
swatantra. Wilayah daerah perdikan Kampak meliputi: Dongko, Munjungan, Panggul,
Watulimo, Prigi dengan pusat pemerintahan di Desa Gandusari Sekarang. Selain
wilayah Kampak merupakan tempat peribadatan memuja Dewa karena berdekatan
dengan Laut Selatan, wilayah Kampak juga disebut sebagai daerah penghasil
gaplek.
Dr. Brandes antara lain mengatakan
bahwa prasasti ini merupakan batu besar ujung atasnya bulat, kemudian kiri
kanannya melebar, berwarna abu-abu dari batu andesit dan sangat rusak. Prasasti
ini berhurup Jawa Kuno langgam Jawa Timur. Pada bagian depan terdapat 15 baris,
pada bagian belakang terdapat 13 baris 1 baris dengan hurup yang tinggal
separo. Pada bagian kiri terdapat 3 baris yang tidak dapat dibaca lagi,
sedangkam di bagian kanan hanya terdapat 2 baris sebagai penutup dari prasasti
itu. Tinggi prasati itu 89 cm tebal 22 cm dan lebar 93 cm.
Prasasti ini merupakan tanda pemberian
hadiah dan mendapatkan hak istimewa bagi tanah yang diberikan tadi. Tanah yang
sangat dimuliakan ialah tanah dari Bharata
i Sang Hyang Prasada Kabhaktian i Pangarumbing yang i Kampak. Pada prasasti
ini terdapat kata-kata mangraksa
kadatuan Cri Maharaja i Ndang i
Bhumi Mataram. Sehingga dapat diperkirakan bahwa prasasti itu ditulis pada
tahun 851 caka atau 929 Masehi. Ada baiknya
bila beberapa kata pada bagian dari prasasti itu dikemukakan, antara
lain baris ke 6-9 dan baris ke 13 yang berbunyi:
6.
(ring ra) hina ring wngi addenge
a ---------------- samaya sapatha sumpah pamangmang mami ri kita hiyang kabeh.
Yawat ika nang ngwangduracara, tan magam tanmakmit i
7.
Rikang saptha si hatan sa-----t
kudur ----- hadyan hulun matuharare, laki-laki wadwan, wiku grahastha muang
patih wahuta rama, nayaka parttaya
8.
--------- lahu(aha) ikeng lmah
sawah ------ i kampak simainarpanakan dapungku i manapunjanma, i bhatara i sang
hyang prasada kabhaktiyan i pangurumbigyan i
9.
Kampak wabakataya nguniweh da
---------- ta –sa(ng)hyang watu sima tasmat kabuataknanya, patyanantaya kamung
hyang deyantatpatiya tattanoliha i wuntat
13.
----- wuk k(i)dul kuluan
waitan, wuangakan ringasalambitakan ing (h)yang kabaih, tibakan ri(ng) mahasamudra,
klamakan ring dawuhan, alapan sang hyang ja 15
Mataram Kuno mengalami zaman keemasan ketika Maharaja
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910) bertahta dengan pusat pemerintahan di Begelen,
Purworejo, Daerah Kedu, Jawa Tengah. Wilayah kerajaan meliputi seluruh Jawa
Tengah, seluruh Jawa Timur dan Bali. Setelah
Dyah Balitung mangkat, tahta diserahkan kepada putra mahkota Rakai Mpu Daksa
(910-919). Nah, pada zaman pemerintahan
Mpu Daksa inilah intrik mulai terjadi. Menantu Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah
Tulodong (919-921) yang menikah dengan putri mahkota, berseteru dengan adik
putra mahkota, yaitu Dyah Wawa. Dyah
Wawa dibantu Mpu Sindok yang waktu itu menjabat Rakai Halu berhasil
menggulingkan Dyah Tulodong dan akhirnya Dyah Wawa berhasil naik tahta pada
924-928. Prasasti Kinawe (928) yang
ditemukan di daerah Kandangan Kediri menyebutkan raja yang memerintah Mataram
ialah Rakai Dyah Wawa dan Empu Sindok disebut sebagai Mahapatih atau Rakai
Hino. Prasasti Kinawe (928) ini hanya selisih satu tahun ketika Raja Sindok
bertahta di Tembalang, Jombang (929) dan dikeluarkannya Prasasti Kampak (929). Jadi sebelum mendirikan keraton di Jombang,
raja-raja Mataram yang berkedudukan di Kedu dan Yogjakarta sudah mengetahui
daerah Kampak dan sekitarnya.
Sejak pemerintahan Dyah Balitung, pengembangan
wilayah ke Jawa Timur bahkan Bali sudah dilakukan. Jadi, identifikasi daerah Kampak sebagai
daerah penting dan kemudian dijadikan daerah perdikan bukanlah hal yang
aneh. Kiranya, alih kekuasaan dari Rakai
Layang Dyah Tulodong ke tangan Dyah Wawa ditempuh melalui perebutan kekuasaan
sehingga pusat kerajaan perlu dipindahkan ke Jawa Timur. Waktu migrasi ke Jawa Timur itu Dyah Wawa
mungkin terbunuh sehingga kekuasaan dilanjutkan oleh Empu Sindok yang maktu itu
menjabat sebagai rakai hino, orang kedua di bawah raja dan berhak menggantikan
raja.
Patut dicermati juga, pada saat pemerintahan Rakai
Layang Dyah Tulodong yang hanya 4 tahun itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu
Kettuwijaya. Nama ini memiliki kemiripan
dengan Raja Wengker yang menggulingkan Teguh Darmawangsa pada peristiwa
mahapralaya (1016) yang menyebabkan Airlangga melarikan diri ke Gunung Wonogiri
menjalani hidup bersama pertapa. Kiranya, Mpu Kettuwijaya melarikan diri ke
Wengker Ponorogo sekarang bersamaan saat Mpu Sindok memindahkan kerajaan ke
Tembalang di Jombang Jawa Timur.
Kembali ke Trenggalek sebagai daerah
perdikan. Periode kedua wilayah
Trenggalek diberi kedudukan daerah sima swatantra ialah pada zaman Raja
Airlangga. Pemberian ini tercatat dalam Prasasti Baru (1030). Desa Baruharjo, kecamatan Durenan Trenggalek
diberi status sima karena masyarakat telah memberi penginapan dan membantu raja
dan pasukannya ketika akan menyerang raja Hasin. Hasin sekarang ialah Ngasinan,
Desa Kelutan Kabupaten Trenggalek.
Perdikan ketiga diberikan oleh Raja Srenggo dari
Kediri yang memberi status otonom desa Kamulan (1194). Prasasti itu jelas menyebutkan wilayah
Kamulan meliputi lereng gunung Wilis mulai dari lereng Kalang Barat
(Kalangbret), gunung rajeg wesi, Semarum, Durenan, bukit Tumpak Uyel, Setono,
desa Parakan, Pogalan, Bendo, Ngetal, Tugu, Tenggaran Pule, dan Tangkil
kecamatan Dongko. Prasasti ini
menjelaskan bahwa perbukitan di wilayah Tulungagung yang dijadikan makam para
Bupati Tulungagung ialah wilayah perdikan Kamulan. Jika digabung dengan wilayah dalam prasasti
Kampak, hampir seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek tahun 2014 saat tulisan ini
dibuat sudah merupakan wilayah perdikan Trenggalek.
Ketika Prabu Kertawardhana, menantu Prabu Hayam
Wuruk dari Tumapel memerintah, terjadi perang Paregreg (1401-1406). Perang ini terjadi antara Prabu Kertawardhana
melawan Prabu Wirabumi di Blambangan, anak Hayam Wuruk dari selir. Prabu Hayam
Wuruk (1350-1389) memiliki dua anak: Kusumawardhani putri mahkota menikah
dengan Wikramawardhana dari Tumapel. Putra
kedua ialah Wirabumi dari istri selir yang dijadikan raja di Blambangan
Banyuwangi. Wikramawardhana memerintah
bersama-sama dengan Kusumawardani. Namun
Kusumawardhani wafat sehingga tahta Majapahit dipegang oleh Wikramawardhana. Wirabumi
tidak terima Wikramawardhana diangkat menjadi raja karena Wikramawardhana ialah
menantu. Menurut Wurabumi, dialah yang berhak menggantikan Hayam Wuruk karena dia
ialah anak raja meskipun dari istri selir.
Persengketaan ini akhirnya menjadi perang yang meluas dan disebut Perang
Paregreg, perang diam-diam antarkeluarga yang semakin meluas. Perang
dimenangkan Prabu Wikramawardhana dan pertempuran terakhir mengalahkan pasukan
Wirabhumi terjadi di Bendungan. Sebagai
penghargaan atas Bendungan, prabu Wikramawardhana menetapkan Bendungan sampai
Tugu, Karangan dan Pule sebagai daerah sima swatantra.
Lempengan prasasti di patung yang sekarang
ditempatkan di depan kantor kecamatan Bendungan menjelaskan bahwa daerah
Bendungan, sampai wilayah Bagong ditetapkan sebagai daerah sima swatantra. Kecamatan Bendungan ialah lereng gunung Wilis
bagian barat, berbatasan dengan Kecamatan Palung Ponorogo. Bendungan ialah penghasil gaplek, kopi, dan
gula kelapa kesukaan para Raja Surakarta.
Jalur ini merupakan jalan pintas dari gunung Wilis menuju Wengker dan
lewat jalur inilah Menak Sopal datang ke desa Bagong Trenggalek ketika
diperintahkan oleh Panembahan Batoro Katong agar membantu Joko Lengkoro di
Galek. Joko Lengkoro kemudian terkenal juga
sebagai Mbah Kawak.
Batoro Katong memerintah di Ponorogo pada
1489-1532, sejak Raden Patah Sultan Demak (1478-1518) sampai awal pemerintahan
Sultan Trenggono (1521-1546). Menak
Sopal sendiri tercatat tahun meninggalnya di nisan pemakaman Bagong dengan
candra sengkolo: “Sirnaning puspita
cinatur wulan”, 1490 saka atau 1568 M.
Menak Sopal berusia 70 tahun
karena ketika diajak menghadap Batoro Katong oleh gurunya beliau berusia 18 tahun, jadi Menak Sopal lahir pada
1498. Menak Sopal hidup pada zaman
pemerintahan Sultan Prawoto Demak (1546-1549) dan Sultan Hadiwijoyo di Pajang
(1549-1582). Siapa Joko Lengkoro? Joko Lengkoro ialah anak Prabu Brawijaya V Kertabumi dan adik Batoro Katong. Joko
Lengkoro yang diberi daerah lungguh di perdikan Bagong, kemudian disebut Ki
Ageng Galek yang ditugasi merawat Dewi Amisayu putra Brawijaya V yang terkena
sakit berbau amis. Dewi Amisayu kemudian
disembuhkan oleh Menak Sopal.
Jika prasasti Kampak,
prasasti Baru, prasasti Kamulan, prasasti Surodakan, dan lempeng arca di
Bendungan digabungkan, maka seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah daerah
perdikan sejak zaman Raja sindok. Daerah
sima parasima diberikan oleh raja bersifat turun-temurun dan hanya bisa
dibatalkan apabila daerah tersebut memberontak kepada raja. Daerah sima yang pernah diberikan oleh raja
sebelumnya, dihormati sekali oleh raja berikutnya walaupun berbeda dinasti
sehingga status sima swatantra, atau daerah otonom melekat terus.
Trenggalek sebagai daerah
Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati, secara resmi digunakan pada zaman
Sinuwun Paku Buwono II. Saat itu,
Sinuwun Baku Buwono II mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung Sumotaruna sebagai
Bupati Trenggalek pertama pada 1743. Sejak
perjanjian Giyanti 1755 ketika Pangeran Mangkubumi memberontak wilayah kerajaan
dibagi dua: wilayah kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Sunan Pakuwono dan
wilayah kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono.
Akibatnya, Kabupaten Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan
Ponorogo, Pacitan, dan Tulungagung.
Inilah kiranya penyebab munculnya spekulasi bahwa Trenggalek diklaim
sebagai bagian dari daerah Tulungagung.
Bagian ini akan dibahas khusus pada bab selanjutnya. (Bersambung
pada bagian kedua).
TULUNGAGUNG ADALAH BAGIAN
TRENGGALEK
DAN BUKAN SEBALIKNYA
(Bagian II)
Teguh Budiharso
Available at:
budiharsoteguh.blogspot.com
PENGANTAR
Jika Bung Karno Presiden Pertama RI mengatakan
Jasmerah! Jangan Melupakan sejarah, para
ahli sejarah mengatakan: “Untuk menghancurkan suatu bangsa, lakukanlah
tiga hal: Pertama, kaburkan sejarahnya; Kedua, hancurkan peninggalan sejarah
yang ada; dan Ketiga: putuskan hubungan generasi sekarang dengan leluhurnya.”
Hakikat pesan tersebut ialah, bangsa yang tidak mencintai sejarah akan
melalaikan riwayat perjuangan pahlawan dan leluhurnya.
Sejauh ini, kaberadaan
Trenggalek telah dianggap sebagai hadiah dari Tulungagung sebagai “kemurahan
hati” melalui “pitulungan agung” sesuai makna Tulungagung sebagai “murah hati
dan memberi pertolongan yang maha luas.”
Klaim tersebut nampaknya
diterima saja secara aklamasi dan tidak ada upaya pembuktian benar salahnya
klaim tersebut. Tulisan ini telah
membuktikan penelusuran sejarah sejak Mataram Kuno sampai Surakarta bahwa Trenggalek
sepenuhnya ialah daerah otonom. Bahkan
belum ada kota atau wilayah lain yang mendapat status sima-parasima atau daerah
otonom untuk seluruh daerah yang merupakan wilayah kota. Daerah Trenggalek 100% sejak zaman sejarah
kuno memperoleh status daerah bebas pajak atau daerah otonom. Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa
Tulungagung sekarang sebagian wilayahnya ialah pemberian dari Trenggalek,
Blitar, dan Nganjuk.
Dalam sejarah Indonesia,
status otonom untuk suatu desa atau daerah swatantra diberikan oleh raja karena
masyarakat daerah tersebut telah berjasa luar biasa kepada raja. Daerah otonom diberikan secara turun temurun
dan tidak bisa dibatalkan kecuali daerah tersebut melawan raja. Fungsi daerah otonom pada umumnya ialah
daerah yang terkait dengan pemujaan para dewa, pertahanan, dan memuliakan
leluhur raja. Daerah sima diberi
kewenangan mengelola sendiri pajak bumi, pajak perdagangan, dan pajak lain
untuk digunakan oleh masyarakat di wilayah daerah otonom tersebut. Dengan demikian, Trenggalek telah menjadi
daerah merdeka dan mandiri sejak zaman Raja Sindok.
Fakta ini membuktikan
bahwa Trenggalek sudah mandiri sejak zaman Kuno, sehingga tidak benar bahwa
Trenggalek merupakan wilayah pemberian daerah lain. Justru wilayah Trenggalek
tetap bersatu utuh walaupun dalam politik telah dipecah-pecah beberapa
kali. Barangkali tuah daerah
sima-parasima yang diberikan raja-raja besar antara lain: Raja Sindok, Raja
Airlangga, Raja Srenggo, Raja Wikramawardana dan Raja-Raja Surakarta tetap
menjadi pengikat yang amat kuat.
KRONOLOGIS TRENGGALEK
Sejarah Trenggalek zaman
kerajaan Mataram Kuno sampai kerajaan Kartasura dan Surakarta sekilas sudah
dibahas pada bagian pertama. Bagian ini
akan memberi penekanan pada hal-hal yang terkait dengan penjelasan berikutnya.
Penelusuran Prasasti sejak
Raja Sindok, Raja Airlangga, Raja Srenggo, dan Raja Kertawardana dengan tegas
menunjukkan bahwa secara yuridis formal, wilayah Trenggalek seluruhnya seperti
yang ada sekarang ini ialah wilayah sima parasima, daerah bebas pajak yang dipimpin oleh Mentri
Ketandan. Raja Sindok (929) memberi status Perdikan Kampak, Raja Airlangga
(1032) memberi daerah Perdikan Baruharjo kecamatan Durenan, Raja Srenggo (1194)
memberi status perdikan Kamulan, dan Raja Wikramawardhana (1406) memberi status
Perdikan Bendungan.
Zaman Raja Sindok menegaskan bahwa wilayah
Trenggalek sudah diperhitungkan sejak zaman Mataram Kuno berpusat di Kedu dan
Yogyakarta sebagai bagian dari Wengker Ponorogo. Zaman Airlangga sebagai generasi terakhir
Raja Sindok, menegaskan wilayah Trenggalek sebagai daerah penting. Zaman Raja Srenggo di Kediri, menegaskan
bahwa Trenggalek ialah wilayah penting Kediri sehingga daerah sepanjang lereng
Gunung Wilis mulai lereng gunung Kalang Barat, Rajed Wesi, Kamulan, Semarum,
Pogalan, Ngetal, Karangan, dan daerah kota Trenggalek merupakan daerah
otonom. Prabu Kertawardhana raja
Majapahit setelah Prabu Hayam Wuruk mangkat melanjutkan kebijakan ini dengan
memberi hak otonomi bagi daerah Bendungan lereng Gunung Wilis bagian Barat yang
perbatasan dengan Kecamatan Palung, Wengker, Ponorogo. Wilayahnya meliputi:
kecamatan Tugu, Kecamatan Pule, dan Tangkil perbatasan dengan Pacitan. Data empiris ini menegaskan bahwa wilayah Trenggalek
telah ada secara terus-menerus dari pemerintahan Mataram, Kahuripan, Kediri,
Singasari, Majapahit, Mataram, Pajang, dan Surakarta. Wilayah itu memiliki keunggulan penghasil
gaplek, sehingga disebut Galek atau Trenggalek.
Sebutan itu sudah ada sejak Raja Sindok menjadi Raja Medang yang
berkedudukan di Jombang (929).
Secara resmi, kata Trenggalek digunakan dalam
administrasi pemerintahan dilakukan oleh Sinuwun Pakubuwono II raja Kartasura dan
raja Surakarta, saat beliau mengangkat KRT Sumotaruno sebagai adipati pertama
di Trenggalek pada 1743. Dalam
administrasi pemerintahan modern, Trenggalek ditetapkan hari jadinya
berdasarkan Prasasti Kamulan yang dikeluarkan Raja Srenggo Kediri, yaitu: Rabu
Kliwon, 31 Agustus 1194. Jadi, hingga
2014, Trenggalek sudah berusia 820 tahun.
Jika dihitung berdasarkan Prasasti Kampak (929) Trenggalek pada 2014
sudah berusia 1.085 tahun. Kronologis
peristiwa sejarah Trenggalek disajikan pada Tabel 1.
PENGGABUNGAN TRENGGALEK
DENGAN TULUNGAGUNG
Status dan wilayah Trenggalek mengalami pemisahan
dan penggabungan, karena itu, Trenggalek dianggap lebih muda dari
Tulungagung. Pernyataan itu tidak tepat,
karena Trenggalek sudah ada jauh sebelum Tulungagung tercatat dalam prasasti. Namun
secara politik, Trenggalek mengalami pasang surut bahkan sempat dimasukkan
dalam wilayah Tulungagung dan wilayah Pacitan.
Pada 1743, ketika KRT Sumotaruno diangkat Bupati
Pertama di Trenggalek, wilayah Trenggalek meliputi wilayah yang sekarang. KRT
Sumataruno ialah putra Adipati Ponorogo yang berjasa mendampingi Sinuwun Paku
Buwono II selama di pengasingan di Ponorogo saat pemberontakan Sunan Kuning
meletus. Saat di pengasingan itu, Sinuwun Paku Buwono II juga mendapat
perlindungan dari Kyai Kasan Besari pimpinan pondok pesantren di Tegal Sari,
Jetis Ponorogo Selatan. Pada 1755, ketika perjanjian Giyanti ditandatangani
oleh Sunan Pakubuwono II, VOC dan Pangeran Mangkubumi, Trenggalek dihapuskan
dan wilayahnya sebagian diberikan ke Kabupaten Ngrowo, Pacitan, dan
Ponorogo. Dalam penentuan wilayah mancanegara
untuk pembagian wilayah Kasunanan Solo dan Kasultanan Yogjakarta, Trenggalek tidak
disebutkan. Yang ada ialah Ponorogo karena Trenggalek dianggap sebagai bagian
dari Ponorogo. Pembagian wilayah
mancanegara menurut Perjanjian Giyanti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Kronologis Sejarah Trenggalek
sejak zaman kerajaan.
No
|
Tahun
|
Peristiwa Sejarah
|
1
|
929
|
Prasasti Kamsyaka/Kampak dikeluarkan Raja Sindok. Mengesahkan daerah
Kampak, Munjungan, Panggul, Watulimo sebagai daerah otonom bebas pajak.
|
2
|
1032
|
Prasasti Baru dikeluarkan Raja Airlangga; prasasti memberi status sima
parasima untuk Desa Baruharjo Durenan sekarang karena masyarakat membantu
pasukan raja saat menyerbu ke Raja Hasin di Ngasinan, Kelutan.
|
3
|
1194
|
Prasasti Kamulan dikeluarkan Raja Srenggo Kediri; prasasti memberi status
daerah otonom di Kamulan, Lereng Gunung Cilik Kalangbret, Semarum, Pogalan,
Parakan, Tugu, Pule dan Tangkil perbatasan Pacitan.
|
4
|
1478-1489
|
R Joko Lengkoro atau Mbah Kawak adik Betoro Katong putra Brawijaya V
diberi daerah lungguh di desa Bagong Trenggalek.
|
5
|
1528
|
Batoro Katong
memberi gelar Demang untuk Ki Aeng Posong di Pacitan, Demang Surohandoko di
lereng Wilis dekat Bandungan, dan Menak Sopal di Bagong membantu Joko
Lengkoro.
|
6
|
1743
|
Sinuwun Paku
Buwono II mengangkat KRT Sumotaruno sebagai Bupati I Trenggalek.
|
7
|
1755
|
Nama Kabupaten
Trenggalek dicatat sebagai daerah Mancanegara Kasunanan Surakarta.
|
8
|
1755-1830
|
Trenggalek digabung wilayahnya dengan Ponorogo dan Pacitan; Trenggalek
dipimpin “pengageng Trenggelek” keturunan Joko Lengkoro bernama Singonegoro.
|
9
|
1845
|
Trenggalek
dikembalikan sebagai daerah otonom berdasarkan SK Gubernur Jendral Hindia
Belanda di bawah pengawasan Asisten Residen Trenggalek.
|
10
|
1885
|
Keluar
Staatsblad van Nederlandsch dan SK Gubernur Hindia Belanda 30 Mei 1885
tentang batas wilayah Trenggalek dan Toelong Ahoeng. Kabupaten Ngrowo dan
Kabupaten Kalangbret disatukan menjadi Toeloeng Ahoeng.
|
11
|
1885-1932
|
Trenggalek dipimpin Bupati dan Patih; wilayah yang digabung dengan
Pnorogoro dan Pacitan disatukan kembali.
|
12
|
1933
|
Bupati Poesponegoro wafat dan Trenggalek dihapuskan untuk digabungkan
dengan Tulungagung.
|
13
|
1950
|
Trenggalek dijadikan daerah otonom lagi dan semua wilayah dikembalikan
lagi seperti sekarang.
|
Data pata Tabel 2 menunjukkan bahwa pembagian
wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tidak berurutan dan tampak
kacau. Misalnya, Blitar masuk Surakarta
tetapi Tulungagung masuk Yogyakarta.
Madiun, Magetan, Caruban ialah wilayah mancanegara Yogyakarta; Ponorogo,
Nganjuk, Kediri masuk Surakarta tetapi Kertosono masuk Yogyakarta. Pembagian ini didasarkan pada politik pecah
belah (divide et impera) agar persatuan kerajaan sulit dipelihara. Sejak
Pangeran Mangkubumi mendapat wilayah Kasultanan Yogyakarta, Belanda
menentukan bahwa setiap pengangkatan raja atau adipati harus mendapat izin dan
persetujuan Belanda. Zaman Paku Buwono
II itu juga terjadi perpindahan kraton yang semula berada di Pajang Kartasura
dipindahkan ke Surakarta sampai sekarang.
Tabel 2. Wilayah Mancanegara
Kasunanan Kartasura dan Kasultanan Yogyakarta
No
|
Kasunanan Kartasura
|
Kasultanan Yogyakarta
|
1
|
Negara Gung/Kota Raja
|
Negara Gung/Kota Raja
|
2
|
Jagaraga (Ngawi)
|
Madiun
|
3
|
Ponorogo
|
Magetan
|
4
|
Separoh Pacitan
|
Caruban
|
5
|
Kediri
|
Separoh Pacitan
|
6
|
Blitar
|
Kertosono
|
7
|
Srengat
|
Kalangbret
|
8
|
Lodoyo
|
Ngrowo
|
9
|
Pace (Nganjuk)
|
Japan (Mojokerto)
|
10
|
Wirasaba (Mojoagung)
|
Jipang (Bojonegoro)
|
11
|
Blora
|
Teraskaras (Ngawen Semarang)
|
12
|
Kaduwang
|
Selowarung (Wonogiri)
|
13
|
Banyumas
|
Grobogan
|
Sumber: Perjanjian Giyanti 1755
Akibat perjanjian tersebut, nama Trenggalek
dihapuskan. Daerahnya dimasukkan
wilayah Mancanegara Kasunan Surakarta
dan wilayahnya dibagi menjadi dua, bagian timur masuk daerah Ngrowo dan bagian
selatan dan barat masuk kabupaten Pacitan.
Pada 1830 Belanda mengambil alih wilayah Surakarta
dan Yogjakarta. Pada 1842 nama Kabupaten Trenggalek secara jelas disebutkan
dalam arsip nasional. Dijelaskan Bupati Trenggalek Mangunnagoro wafat pada 1842
dan digantikan oleh Ariyo Kusumoadinoto (1842-1843).
Pada 1845 wilayah Trenggalek disatukan kembali oleh
Belanda. Pada 1883 Mangunnagoro I diangkat
bupati Trenggalek berdasarkan SK Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 10
Januari 1883, tentang wilayah perkebunan di
Trenggalek. Berdasarkan SK
tersebut wilayah Trenggalek yang sebelumnya masuk wilayah Ngrowo dikembalikan
ke wilayah Trenggalek lagi.
Pada 1885, ditentukan batas-batas wilayah
kabupaten oleh Gubernur Hindia Belanda berdasarkan Statsblad van Nederlanch Indie No, 107, tanggal 4 Juni 1885 dan SK
Gubernur Jendral tanggal 30 Mei 1885 No. 4/C tentang batas-batas Toelong Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek, dan
Kertosono. Wilayah Trenggalek yang
dikembalikan meliputi:
1.
Kecamatan
Wonocoyo, Kecamatan Dongko dan Kecamatan Gepok. Wilayah tersebut dimasukkan dalam
Kawedanan Panggul.
2.
Kecamatan
Ngrayung (sebelumnya masuk Kawedanan Lorok Ponorogo, dan Bendungan (sebelumnya
masuk Kawedanan Pulung Pacitan), disatukan ke dalam Kawedanan Trenggalek.
Sebelumnya Trenggalek berada di bawah kepemimpinan
Asisten Residen Ngrowo. Berdasarkan SK
tersebut, pengawasan Trenggalek tidak
lagi digabung dengan Kabupaten Ngrowo, tetapi langsung di bawah pimpinan
Asisten Residen Trenggalek. Saat itu,
wilayah Trenggalek dibagi ke dalam 6 distrik dan dipimpin 6 Wedono.
- Distrik Trenggalek, wilayahnya: Ngantru, Pogalan, Sumurup, Bendungan
- Distrik Ngasinan, wilayahnya: Karangan, Ngetal, Pucanganak, Winong, Jombok.
- Distrik Pakis, wilayahnya: Durenan, Jongke, Kamulan
- Distrik Kampak, wilayahnya: Bendo, Wonorejo, Watulimo, Ketawang
- Distrik Ngrayun, wilayahnya: Ngrayun, Pule, Cepoko
- Distrik Panggul, wilayahnya: Panggul, Munjungan, Dongko, Tangkil
Ternyata penggabungan tersebut belum berakhir. Pada
masa RT Partowidjojo (1896-1901) menjabat Bupati Tulungagung, dilakukan penggabungan
dan penghapusan Trenggalek. Pertimbangan geografis dan kondisi alam menjadi
alasan utama penggabungan tersebut. Saat
itu Tulungagung sering dilanda banjir. Belanda memerintahkan agar Kabupaten
Blitar menyumbang daerah Ngunut untuk dimasukkan ke wilayah Tulungagung,
Kabupaten Ponorogo menyumbangkan daerah Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan
menyumbangkan daerah pantai di antaranya Ngrayun, Panggul dan Jombok.
Kebijakan ini menyebabkan Trenggalek dimasukkan
sebagai bagian dari wilayah Tulungagung. Setelah Bupati Trenggalek KRT Poesponegoro
wafat pada 1934 kabupaten Trenggalek dihapus lagi dan wilayahnya diberikan ke kabupaten Tulungagung
dan Pacitan. Jika konteks ini dirujuk,
definisi “pitulungan agung”
(pertolongan besar) justru diberikan untuk Tulungagung, bukan Tulungagung yang
pemurah dan memberi pertolongan. Selain itu, pemaknaan Trenggalek sebagai “teranging galih” (hati nurani yang
bersih) juga tidak cocok dengan konteks.
Bersambung pada bagian 3 pada
budiharsoteguh.blogspot.com.
MENGUJI AKURASI KERAJAAN
LODOYONG DI TULUNGAGUNG
(Bagian Terakhir)
Teguh Budiharso
Available at:
budiharsoteguh.blogspot.com
PENGANTAR
Siwi Sang yang mengaku sebagai
penulis novel sejarah, dengan bangga menyebutkan pada akhir pemerintahan Raja
Airlangga 1042 terdapat kerajaan di Selatan Sungai Brantas yang merdeka dan
bebas dari pengaruh Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Kerajaan itu disebut Lodoyong atau Kamal
Pandak atau Tulungagung sekarang dan rajanya seorang wanita bergelar Ratu Dyah
Tulodong. Dyah Tulodong menikah dengan kerabat Raja Airlangga dan mendapat
gelar Rakai Halu Dyah Tumambong. Bak membaca novel, alur cerita tulisan Siwi
Sang yang dimuat di blog tersebut terasa begitu mulus sampai akhirnya
terlupakan sumber dan rujukannya.
Jika artikel itu dicermati,
agaknya terdapat spekulasi imajinatif untuk mengidentifikasi wilayah
Tulungagung sebagai daerah bebas merdeka.
Menurut Siwi Sang, Tulungagung memiliki peran besar dalam panggung
sejarah dan memiliki wilayah yang sangat luas, mulai dari perbatasan Turen
Malang dengan Lodoyo di Blitar sampai pegunungan Kampak, Munjungan, Dongko, dan
Panggul. Jadi, wilayah Tulungagung meliputi Blitar, seluruh Tulungagung dan
Trenggalek jika dideskripsikan untuk wilayah sekarang atau tahun 2014 saat
tulisan ini dibuat. Siwi Sang menulis:
“Pada masalalu, yang dinamakan wilayah brangkidul Tulungagung adalah
daerah di selatan sungai Brantas, mulai alas Lodaya di timur, berbatasan
langsung dengan Turen atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis
dan pegunungan Trenggalek, termasuk Kampak dan Karangan- sampai tahun 1950M,
Karangan dan Kampak masuk Tulungagung”.
Kajian ulang terhadap Prasasti
Terep, Prasasti Pucangan, dan penelitian untuk disertasi oleh Dr. Ninie Susanti
(2010) serta ulasan oleh Dr. Aris Munandar (2013) dan Prof. Dr. Slamet Mulyono (2006)
tidak ditemukan raja Lodoyong dan identifikasi wilayah selatan sebagai
Tulungagung. Selain Panjalu dan
Janggala, pada saat itu tidak cukup bukti bahwa terdapat kerajaan merdeka yang
bernama kerajaan Lodoyong. Apalagi ada
raja wanita di kerajaan Lodoyong yang bergelar Ratu Dyah Tulodong yang kemudian
diangkat menjadi petinggi kerajaan oleh Airlangga karena perkawinan dan
mendapat gelar Rakai Halu Dyah Tumambong.
Sejauh mana akurasi “fiksi sejarah”
tersebut untuk digunakan sebagai landasan “Babon Sejarah Tulungagung” akan kita
uji dalam deskripsi berikut ini.
TULUNGAGUNG JAUH LEBIH MUDA DIBANDING TRENGGALEK
Kata Tulungagung yang menunjukkan
wilayah kebupaten baru digunakan pada 1885, dengan sebutan Toelong Ahoeng. Tulungagung dibentuk berdasarkan SK Gubernur
Jendral Hindia Belanda tanggal
4 Juni 1885 dan SK Gubernur Jendral tanggal 30 Mei 1885 No. 4/C tentang
batas-batas Toelong Ahoeng, Trenggalek,
Ngandjoek, dan Kertosono. Sebelum
itu, kabupaten Tulungagung disebut dengan Kabupaten Ngrowo di Campurdarat dan
Kabupaten Kalangbret di Kalangbret sekarang.
Kedua daerah ini wilayahnya terdiri dari rawa-rawa sehingga ketika
keduanya digabung menjadi Kabupaten Tulungagung, diperlukan bantuan wilayah
dari Blitar, Trenggalek dan Kediri.
Kebijakan ala Belanda ini
berlanjut sampai tahun 1950 setelah zaman kemerdekaan. Embrio permasalahan terjadi pada 1933 setelah
bupati terakhir kabupaten Trenggalek, KRT Poesponegoro sebagai Bupati yang
diangkat Belanda wafat. Data ini bisa
dibaca dari naskah nasional berupa SK dan Dokumen Belanda yang tersimpan di
museum nasional Jakarta. Berdasarkan
dokumen tersebut kita bisa mengetahui bahwa intrik politik ini terjadi akibat
intervensi Belanda yang akan masuk lagi menjajah Indonesia dan pergolakan
politik sebelum pecahnya pemberontakan PKI.
Sebelumnya juga telah
diuraikan bagaimana “pergolakan” kepentingan “memperlakukan” Trenggalek dalam
kancah politik sejak zaman perpecahan dinasti Mataram menjadi Surakarta dan
Yogyakarta, dan Kasunanan dengan Mangkunegaran di Surakarta, serta Kasultanan
dengan Pakualaman di Yogyakarta.
Kesempatan dalam kesempitan Belanda mengambil alih kekuasaan dan
mengatur wilayah mancanegara kedua kerajaan utama dinasti Mataram tersebut agar
menguntungkan Belanda.
Apakah wilayah Lodoyong
membentang sedemikian luas dari Turen sampai Kampak yang melintasi seluruh
pesisir kidul di Trenggalek? Tidak cukup
bukti untuk mengklaim seperti itu.
Kata Lawadan daerah
Campurdarat baru tercatat dalam Prasasti Raja Srenggo pada 1205, yang berarti
11 tahun lebih muda dibanding Prasasti Kamulan yang dikeluarkan juga oleh Raja
Srenggo pada 1194. Karena Lawadan ada di
Campurdarat, bisa dipastikan bahwa daerah itu masuk dalam Kabupaten
Ngrowo. Pada zaman Singasari (1222-1292)
Ayahanda Prabu Rajasa didarmakan di Kalang Barat. Prasasti Mula Malurung baris
ke-enam menyebutkan:
“ di. Muwah ri kala kapratista nira yuyut-ira.
nkane san hyan dharmma ri kalang bret. San pranaraja pinaka pura”
“juga ketika pendirian
bangunan suci untuk buyut lelaki sang prabu, ia yang
didarmakan di Kalangbret, sang pranaraja sebagai
... “
Kutipan di atas ialah penjelasan mengenai leluhur
Prabu Seminingrat atau Prabu Jaya Wisnu Wardhana (1248-1254) anak Anusapati. Kutipan
tersebut menjelaskan buyut beliau yang dicandikan di Kalang Bret. Buyut yang dimaksud ialah Ayahanda Ken Angrok
atau Raja Rajasa. Seseorang yang diberi penghormatan untuk dicandikan hanyalah
raja atau kerabat dekat raja. Jadi
Ayahanda Ken Angrok ialah raja atau kerabat dekat raja. Karena zaman itu hanya ada kerajaan Kediri,
bisa disimpulkan Ayahanda Prabu Rajasa ialah raja atau kerabat dekat raja di
Kediri. Kalang Bret zaman Singosari
ialah bagian dari wilayah Doho Kadiri dan disebut Kalang Barat. Secara geografis, Kalang Barat dan Trenggalek
menjadi satu wilayah dilihat dari lereng Wilis bagian Barat dan Selatan, mulai
dari Gunung Rajeg Wesi sampai Bendungan dan Palung Ponorogo. Kalang Barat dimasukkan menjadi wilayah
Tulungagung pada 1885 ketika Belanda menetapkan batas wilayah Trenggalek,
Toloeng Ahoeng, Nganjoek, dan Kertosono.
Itulah sebabnya Prasasti Penampihan diidentifikasi sebagai Prasasti yang
ditemukan di Kediri, bukan Tulungagung walaupun sekarang lokasi candi
Penampihan masuk dalam wilayah Tulungagung.
Di Wilayah Desa Turi Kecamatan Sendang Tulungagung
terdapat candi Penampihan yang diperkirakan didirikan padazaman Raja Dyah
Tulodong. Tapi Wilayah candi Penampihan
ini sejak Mataram Kuno termasuk wilayah kerajaan Kediri. Dari berbagai prasasti Mataram Kuno kita
mengetahui bahwa perhatian ke wilayah Kediri sudah terjadi sejak awal kerajaan
Mataram karena Kediri merupakan daerah penting dalam rute perjalanan ke Hujung
Galuh menuju Bali. Selain itu, Kediri
ialah kota kuno sejak zaman itu karena kesejarahan Gunung Wilis. Kesejarahan gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung
Arjuno, Gunung Mahameru, dan anak pegunungan di Wengker, Kampak, Pacitan, dalam mitologi Hindu memiliki peranan amat
penting dalam perjalanan pemerintahan. Gunung Lawu ialah pusarnya tanah Jawa
dan dianggap sebagai tempat berkumpulnya pada dewa. Gunung Lawu ada di tiga
kabupaten sekarang: wilayah selatan masuk Karanganyar Jawa Tengah, bagian Timur
masuk Magetan, dan utara masuk Ngawi. Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat bersemayamnya
Prabu Brawijaya.
Penyebutan yang lebih kemudian mengenai daerah
Tulungagung baik dengan nama Ngrowo atau Kalang Bret terdapat dalam
Negarakartagama yang dikeluarkan pada zaman Prabu Hayam Wuruk (1350-1389). Disebutkan bahwa Prabu Hayam
Wuruk melakukan perjalanan ke Pantai Selatan melewati hutan Lodoyo. “Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan
sepanjang jalan, mendaki kayu-kayu mengering kekurangan air tak sedap
dipandang, maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal di sana, tertegun
pada keindahan pantai laut dijelajahi menyisir pantai” (Negarakartagama, 241).
Pada zaman raja Srenggo di Kediri melalui Prasasti
Kamulan (1194) kita tahu bahwa wilayah lereng gunung di Kalangbret termasuk
bagian dari perdikan Kamulan Trenggalek.
Pada zaman Majapahit akhir, Demak, Pajang, Mataram dan Kasunanan
Surakarta, Tulungagung masih disebut dengan Ngrowo dan Kalangbret. Berdasarkan bukti-bukti ini bisa ditegaskan
bahwa daerah di kota Tulungagung yang tercatat pertama kali dalam prasasti Raja
Srenggo Kediri pada 1205 ialah Lawadan di Campurdarat.
Uraian di atas cukuplah
kiranya untuk membuktikan bahwa Lodoyong bukan Tulungagung. Jika merujuk pada kemiripan nama, justru yang
menyerupai nama Lodoyong ialah Lodoyo di Blitar. Tidak cukup bukti bahwa Lodoyong ialah
kerajaan di brang Kidul yang disebut Tulungagung. Jika merujuk pada kondisi seluruh Wilayah
Trenggalek yang sudah menerima status otonom sejak zaman Raja Sindok 929,
kemungkinan kerajaan Brang Kidul itu justru ada di Trenggalek atau Lodoyo,
Blitar. Identifikasi Lodoyo dengan
Lodoyong lebih dekat jika dirunut dalam cerita tutur lahirnya Dadak Merak dalam
reyog Ponorogo. Dadak merak yang
berkepala singa dan merak itu menurut legenda terjadi akibat Raja Lodoyo yang
berkepala singa disabda oleh Raja Kelono Sewandono dari Kerajaan Atas Angin di
Wengker (Atas Angin sekarang di daerah Sumoroto, Ponorogo). Kisah ini
dihubungkan dengan Raja Airlangga ketika di akhir pemerintahannya 1042 putri
mahkota Airlangga, Sangramawijaya Tunggadewi atau Dewi Kilisuci dipersunting
Raja Wengker dan Raja Brang Kidul Lodoyo. Kisah rebutan putri mahkota ini
diabadikan dalam kisah Reyog Ponorogo ini. Prabu Hayam Wuruk juga pernah menjelaskan
bahwa beliau memiliki paman yang diberi daerah lungguh di Lodoyo dan merupakan
kerabat dari Raja Wengker yang merupakan mertuanya, ayah Paduka Sori, permaisuri
Sang Prabu setelah gagal menyunting Dyah Pitaloka putri Sunda akibat tragedi
Bubat.
Apakah wilayah Lodoyong Tulungagung
meliputi perbatasan Turen Malang dengan Lodoyo sampai Kampak, Munjungan dan
Panggul? Siwi Sang mengatakan:
“Kemenangan Mpu Sindok
atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak. Mpu Sindok
kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada daerah
Kampak. Ini hampir bersamaan dengan dikeluarkannya Prasasti Anjukladang yang
kelak menjadi landasan hari jadi kabupaten Nganjuk. Sebelum menjadi bagian
Trenggalek, daerah Kampak masuk Tulungagung. Karenanya dapat dikatakan
pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sindok, Tulungagung kembali tampil dalam
pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja”.
Jawabannya ialah tidak ada dokumen atau keterangan yang menjelaskan
Tulungagung memiliki wilayah sampai Kampak, Dongko, Munjungan, dan
Panggul. Munjungan dan Panggul perlu
ditambahkan sekalian di sini karena Perdikan Kampak membawahi Munjungan dan
Panggul. Prasasti Raja Sindok (929) dan
Prasasti Raja Srenggo (1194) menegaskan wilayah perdikan Trenggalek bahkan semakin
meluas meliputi seluruh daerah Trenggalek sekarang. Ini menegaskan bahwa Trenggalek adalah
wilayah penting dari Kediri karena berada di lereng Gunung Wilis melalui
Bendungan. Selain itu, Lodoyo ialah
daerah perdikan tersendiri dan menjadi bagian dari Blitar. Jadi, Lodoyo bukan bagian dari Tulungagung.
Dalam pernyataan mengenai daerah merdeka yang diidentifikasi sebagai
kerajaan yang otonom selain Tulungagung, Siwi Sang nampak kurang cermat.
“Ketika Medang i Bhumi Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya
seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong
berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga
daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin”.
Letak Kerajaan Hasin yang tepat ialah di dusun Ngasinan, Desa Kelutan
Trenggalek Kota. Di Ngasinan terdapat
sungai Ngasinan yang mengalir kearah timur dan berpangkal dari Gunung Wilis di
Kecamatan Bendungan. Hasin ada pada zaman
Raja Airlangga (1019-1042) sedangkan Kamulan disebut dalam prasasti Kamulan
(1194) pada zaman Raja Srenggo Kediri. Jika
Kamulan ada di Durenan, mengapa batas wilayah Lodoyong diklaim sampai ke
Kampak?
RATU DYAH TULODONG
Pernyataan
bahwa ada Ratu di kerajaan Lodoyong bernama Dyah Tulodong sungguh menarik untuk
dikaji. Menurut Siwi Sang raja Lodoyong
ialah ratu putri bernama Dyah Tulodong.
Dyah Tulodong dikalahkan Airlangga tetapi diberi pengampunan dan bahkan
dinikahkan dengan kerabat Airlangga dan mendapat gelar Rakai Halu Dyah Tumambong. Pasukan Lodoyong kemudian bersama-sama
menyerang raja Wura-Wari di Cepu (Lwaram).
Beberapa kerajaan vasal atau haji (raja kecil semacam rakyan, akuwu,
atau adipati) menggunakan kata Lwa, misalnya Lwa Arang untuk Lawang, Malang;
Lewa untuk kerajaan vasal kerajaan Wengker.
Pembacaan prasasti Pucangan
yang cukup cermat mengenai perjalanan Airlangga dalam menundukkan
musuh-musuhnya antara 1029-1035 tidak mendukung deskripsi tersebut. Dr. Ninie
Susanti (2010:98-99) menjelaskan:
- Tahun 1029, Airlangga mengalahkan Raja Wisnuprabhawa dari kerajaan Wuratan. Raja ini disebut sebagai anak raja yang ikut menyerang Teguh Darmawangsa.
- Pada 1030, Raja Airlangga mengalahkan Raja Hasin di Trenggalek. Airlangga menganugerahkan Desa Baruharjo sebagai daerah sima.
- Tahun 1031, Airlangga mengalahkan haji Wengker (kerajaan vasal Wengker) di keraton Lewa bernama Raja Panuda. Raja Panuda sempat melarikan diri tetapi dapat dikejar dan dihancurkan bersama-sama anak dan kratonnya pada tahun itu juga.
- Tahun 1032, Haji Wura-Wari dihancurkan juga oleh Airlangga dari arah Magetan. Saat yang sama, Airlangga diserang Ratu Wanita yang kekuatannya seperti raksasa. Airlangga kalah dan melarikan diri di desa Patakan Lamongan, tetapi Airlangga berhasil menuntut balas dan menghancurkan Raja Wanita tersebut pada tahun yang sama. Atas kemenangan tersebut, Airlangga memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong dan diberi gelar tambahan Rakai Halu Dyah Tumambong.
- Pada 1035 Raja Wijayawarma dari Wengker memberontak lagi tetapi bisa dibinasakan pada tahun yang sama.
Fakta di atas menunjukkan bahwa tidak cukup bukti
untuk mengidentifikasi ratu perempuan di kerajaan Lodoyong bergelar Ratu Dyah
Tulodong. Bahkan penyamaan Dyah Tulodong dengan Dyah Tumambong ialah spekulatif
sekali. Prasasti tidak menyebutkan siapa raja wanita tersebut. Yang jelas disebutkan ialah Airlangga memberi
anugerah kepada Mapanji Tumanggala yang
dianggap sebagai adiknya dengan gelar Rakai Halu Dyah Tumambong. Jadi keliru besar jika Rakai Halu Dyah
Tumambong diidentifikasi sebagai gelar ratu wanita yang menyerang Airlangga dan
diampuni lalu dinaikkan pangkatnya.
Menurut prasasti Lintakan (919) Dyah
Tulodong ialah menantu Mpu Daksa yang menggantikan sebagai raja bergelar Rakai
Layang Dyah Tulodong. Saat itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu Kettuwijaya
dan Rakai Halu ialah Mpu Sindok. Prasasti Sangguran tertanggal
2 Agustus
928 menyebut adanya
raja baru bernama Rakai Sumba Dyah Wawa. Ia diyakini sebagai
raja pengganti Dyah Tulodong. Prof. Buchori meyakini Dyah Wawa melakukan kudeta
terhadap Dyah Tulodong dibantu dengan Mpu Sindok. Diperkirakan Dyah Wawa terbunuh karena hanya
berjarak satu tahun Mpu Sindok memindahkan kerajaan yang waktu itu berpusat di
Kedu ke Tembalang Jombang (929) dan Mpu Sindok menjadi raja baru. Fakta ini juga menegaskan bahwa telah terjadi
salah identifikasi Dyah Tulodong raja Mataram menjadi Raja Lodoyong
Tulungagung. Jika di Tulungagung ada
kerajaan yang rajanya bergelar Dyah, pastilah kerajaannya besar dan tercatat
dalam sejarah, serta rajanya memiliki geneologi dengan raja yang menggunakan
gelar sejenis. Faktanya, raja-raja
Mataram Kuno tidak ada yang membentuk koloni di Tulungagung.
Sebelum perjanjian Giyanti, Tulungagung
dan seluruh wilayah Jawa berada di bawah kekuasaan Raja Kasunanan Surakarta
penerus dinasti Mataram. Setelah perjanjian itu Tulungagung menjadi wilayah
Kasultanan Yogyakarta tetapi masih bernama kabupaten Ngrowo dan Kalangbret, dan
dipimpin oleh bupati yang ditunjuk Sultan Yogyakarta atas persetujuan Belanda. Perjanjian
Giyanti ditandatangani oleh Sinuwun Paku Buwono III, Pangeran Mangkubumi, dan
VOC Belanda pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini merupakan kesepakatan bahwa Pangeran Mangkubumi
menghentikan pemberontakan karena mendapat separoh wilayah Mataram dan diangkat
sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
SIMPULAN
- Kata Trenggalek berasal dari daerah penghasil gaplek dan sebutan itu ada sejak pemerintahan Raja Dyah Wawa di Mataram Kuno (924-928). Penelusuran sejarah menunjukkan bahwa nama Trenggalek telah ada sejak Raja Sindok 929 dan seluruh wilayah Trenggalek sekarang mendapat status sima-parasima sampai zaman Majapahit dipimpin Prabu Kertawardhana.
- Penghapusan kabupaten Trenggalek atau penggabungan wilayah Trenggalek dengan Tulungagung, Pacitan, dan Ponorogo terjadi karena politis, yaitu sejak perjanjian Giyanti 1755 dan masa penjajahan Belanda.
- Trenggalek tidak berubah namanya dari zaman Raja Sindok sampai sekarang. Kata Tulungagung baru muncul pada 1885 dan merupakan nama baru penggabungan Kabupaten Ngrowo dan Kalangbret.
- Daerah dalam wilayah Tulungagung, yaitu Lawadan disebut dalam prasasti tertua yang dikeluarkan Raja Srenggo Kediri pada 1205; Kampak sebagai wilayah Trenggalek disebut dalam Prasasti Kampak pada 929 dan Baruharjo Durenan disebut dalam Prasasti Kamulan pada 1194. Jadi Trenggalek jauh lebih dulu disebutkan dalam prasasti dibanding Tulungagung. Makna pitulungan agung yang tepat ialah Tulungagung telah ditolong oleh Trenggalek, Kediri dan Blitar karena disumbang beberapa wilayah.
- Berdasar kajian ini, terdapat informasi dan data yang tidak akurat mengenai Sejarah Tulungagung sehingga teks tersebut perlu direvisi. Sebaliknya Trenggalek sudah berusia 820 tahun atau 1085 tahun, tetapi belum cukup dewasa memperlakukan sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Babad
Tanah Jawi: Mulai Nabi Adam sampai Tahun 1647. 2012. Yogjakarta:
Penerbit Narasi.
Alihbahasa oleh HR Sumarsono.
Badio, Sabjan. 2012. Menelusuri
Kesultanan di Tanah Jawa.
Yogjakarta: Penerbit
Aswaja Pressindo.
Bayu, Adji Krisna. 2012. Raja-Raja
Jawa dari Kalinga hingga Kasultanan
Yogyakarta. Yogjakarta: Penerbit Araska.
Budiharso, Teguh & Solikhah,
Imroatus. 2014. Rekonstruksi Sejarah Trenggalek.
Makalah.
Manuskrip Silsilah Keturunan Batoro Katong dan Adipati
Trenggalek.
Moentadhim, Martin. 2010. Pajang:
Pergolakan Spiritual, Politik dan Budaya.
Jakarta: Penerbit
Genta Pustaka.
Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan
Majapahit.
Yogjakarta:
Penerbit LeKdis.
Pemerintah Kabupaten Trenggalek.
1982. Sejarah Kabupaten Trenggalek.
Purwadi. 2008. Babad
Giyanti: Konflik Kerajaan Mataram menjadi Surkarta dan
Yogjakarta. Yogyakarta:
Penerbit Media Abadi.
Purwadi. 2010. Sejarah Sastra Jawa Klasik.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
Samroni, dkk. 2010. Daerah Istimewa Surakarta. Yogyakarta:
Penerbit Pura
Pustaka.
Sujarweni, Wiratna. 2012. Jelajah
Candi Kuno Nusantara. Yogjakarta: DIVA Press.
Susanti, Ninie. 2010. Airlangga:
Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta:
Penerbit Komunitas
Bambu.
Suwardono. 2013. Tafsir
Baru Kesejarahan Ken Angrok.
Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Riana, Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara
Krtagama: Masa
Keemasan Majapahit. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.